Trik Vs Realita...

“Maaf, Mas Adit. Saya tidak bisa menerima tawaran kemarin.”

Sebuah pesan Sastri kirimkan untuk Adit setelah tiga hari memikirkan berbagai kemungkinan jika ia menerima tawaran tersebut. Alhasil, Adit kembali menjumpainya namun kali ini ia memilih tempat di sebuah pantai. Sastri tidak perlu lagi bertemu dengan Adit di kelab The One. Ia sudah menemukan cara lain yang lebih sempurna tanpa takut ketahuan oleh mantan sahabatnya.

“Tempat yang indah untuk menenangkan diri,” ucap Adit begitu sampai di tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat.

“Sudah sampai, Mas. Mari, silakan duduk! Mau minum apa?”

Sastri memanggil pelayan lalu keduanya memesan minuman untuk menemani pembicaraan yang menurut Sastri akan menarik. Sementara itu, Adit sendiri sudah terpesona lebih dulu ketika sampai di sana. Dari kejauhan ia melihat Sastri yang sangat cantik menggunakan baju terusan dengan motif garis-garis lengkap dengan kaca mata.

“Kamu sangat cantik dengan penampilan seperti ini.”

Sastri tersenyum menatap Adit yang juga tengah menatapnya.

“Apa Mas sekarang sudah merubah profesi dari manajer menjadi perayu?”

“Aku sedang berkata jujur. Kamu memang cantik dan sebenarnya dari pertama bertemu aku memang sudah berpikiran begitu. Tapi, kamu lebih cantik saat berpakaian seperti ini.”

“Terima kasih…”

“Karena kita sudah tidak ada sangkut paut urusan pekerjaan, jadi bolehkan jika aku kita bicara tentang personal masing-masing? Jujur saja, aku ingin tahu banyak tentang pribadimu seperti –“

“Aku sudah punya pacar?” jawab Sastri menyela perkataan Adit.

“Benar sekali, kalau kamu tidak keberatan.”

“Kalau sudah, aku tidak akan di sini sendirian.”

Kedua anak manusia saling menatap lekat seraya menyembunyikan tujuan masing-masing.

Ehemmm…

Sastri memutus kontak mata lebih dulu membuat Adit salah tingkah. “Jangan terlalu lama memandang nanti susah melupakan.”

Keduanya benar-benar saling membicarakan hal-hal sepele tentang kehidupan pribadi dan tentunya penuh dengan kebohongan. Hingga akhirnya, Adit menanyakan kembali alasan Sastri menolak tawaran Star Agency.

“Terlalu berisiko, Mas. Kalau di luar semua sudah dipersiapkan secara matang. Dan para artis-artis yang bernaung tidak sebebas di sini baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Jadi, berita-berita buruk itu tidak akan keluar dengan mudah. Makanya, saya katakan kalau di sini terlalu berisiko.”

“Kamu bisa membuat keadaan seperti  di luar. Aku akan bicara langsung pada pimpinan Star Agency setelah ini.”

“Mas Adit ini ada-ada saja. Mana mau pimpinan sekelas Star Agency mendengarkan Mas Adit yang hanya seorang manajer. Sudah ah, Mas. Biarkan mereka cari cara sendiri! Ngapain Mas ikut ambil bagian. Mas fokus saja ke Mbak Melisa! Bagaimana keadaanya sekarang? Dia pasti sedih banget kan?” Sastri berakting sangat cerdas hingga membuat Adit tidak sedikitpun menaruh curiga padanya.

“Tenang saja, Bang Bonar sudah mengurus semuanya. Dia hanya perlu mendata semuanya dan kalaupun dihukum mungkin hanya hukuman kota. Pasti ada keringanan lah, karena dia juga masih terika kontrak sama pihak lain. Para petugas pajak sialan itu juga bisa dituntut oleh mereka karena mereka dan Melisa sudah terikat kontrak.”

Sastri menganggukkan kepala sambil bergumam, “Petugas pajak sialan.”

Pembicaraan mereka terus berlanjut hingga tidak terasa waktu semakin sore. Sastri menatap indahnya laut sengan cahaya matahari yang mulai tenggelam. “Mas ada pekerjaan lain setelah ini?”

“Tidak, kenapa?”

“Mau temani saya makan malam?”

Tawaran yang tak pernah Adit harapkan sebelumya, “Dimana?”

“Di sini. Saya nginap di sini.”

Adit tersenyum lebar dan tanpa Sastri duga, ia ikut menyewa sebuah kamar tepat di samping kamar Sastri. Mereka menikmati makan malam di depan kamar dengan pemandangan pantai yang diterangi lampu-lampu kecil.

Dari kajauhan, beberapa pasangan terlihat berdansa menikmati api unggun dengan alunan suara musik romantis.

“Bagaimana kalau kita ke sana? Sepertinya seru.”

Sastri mengangguk kecil seraya tersenyum. Keduanya berjalan menyusuri pasir lalu ikut berdansa bersama. Sastri mulai merasakan sesak di dadanya saat tangan Adit menyentuh pinggang menekan lembut hingga dada mereka saling bertabrakan. Kilasan demi kilasan malam kelam itu kembali muncul hingga membuat Sastri dipenuhi rasa gelisah yang amat dalam.

Sastri bahkan tidak mampu menatap wajah Adit yang terus menatapnya dengan senyuman khas laki-laki penggoda. Sastri terjebak dengan rencananya sendiri hingga –

Cup…

Adit berhasil mencium bibirnya dan sontak saja Sastri terkejut. Ia langsung melepaskan diri dari Adit lalu berlari menuju kamarnya. Adit ikut terkejut dengan reaksi Sastri sesaat lalu ia kembali tersadar dan langsung mengejar Sastri.

“Lisa, maafkan aku! Aku tidak sanggup menahan diri. Maafkan aku! Tolong katakan sesuatu!” Adit berbicara di depan kamar Sastri. Tidak ada jawaban dari dalam kamar hingga Adit pun memutuskan untuk membuka pintu kamar tersebut. Sastri sedang berdiri di jendela terbuka seraya menatap ke arah pantai.

“Maafkan aku. Pukul aku jika itu bisa membuatmu tenang!”

Adit dengan rasa bersalahnya memutar tubuh Sastri supaya menghadapnya. Ia mengambil sebelah tangan Sastri lalu memukulkan ke wajahnya.

“Stop, Mas.”

“Maaf, aku sungguh minta maaf. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”

Adit terus meminta maaf dengan penuh penyesalan, “Saya juga minta maaf karena saya tidak terbiasa dengan itu.”

Adit tersenyum lalu ia memeluk Sastri dengan rasa bahagia. Kilasan itu kembali terngiang di kepala Sastri hingga ia melepaskan diri dari pelukan Adit.

“Maaf!”

Adit kembali sadar saat Sastri tidak ingin dipeluk olehnya.

“Maaf, Mas. Saya butuh waktu. Ada ingatan buruk di sini setiap kali saya berdekatan dengan laki-laki,” ucap Sastri sambil menujuk ke kepalanya.

“Aku juga minta maaf karena sudah melakukannya tanpa izin lebih dulu.”

“Mas mau minum?”

Keduanya menghabiskan malam di kamar dengan bercerita banyak hal sambil menikmati minuman tanpa alkohol yang menjadi kesukaan Sastri tentunya.

“Kamu tidak minum?” tanya Adit penasaran saat melihat jenis minuman di atas meja Sastri.

“Tidak, Mas. Aku tidak suka hilang kesadaran. Menikmati sesuatu tanpa kesadaran mana enak. Tidak ada kenangan yang tertinggal kan?”

Malam semakin larut, Sastri merebahkan di ranjang meninggalkan Adit yang masih betah menatap laut dari balik jendela.

“Istirahatlah! Aku akan keluar.”

Adit maletakkan gelas hendak meninggalkan kamar Sastri namun langkahnya kembali terhenti, “Apa Mas keberatan kalau menemani saya tidur?”

Adit langsung membalikkan badan seraya tersenyum. Berdua dalam selimut tentu menyakitkan bagi Adit tapi justru menyenangkan untuk Sastri saat keduanya larut dalam pembicaraan panjang yang tanpa sadar semakin malam semakin menarik apalagi ditambah dengan beberapa lelucon serta sentuhan serta kata-kata yang menurut Adit sangat ambigu.

“Mbak Melisa pasti marah kalau tahu Mas lagi di sini sementara dia lagi kesusahan.”

“Mas juga butuh ketenangan.”

Dreettt…

“Kamu dimana?”

Isi pesan dari Delia tentu saja berhasil menghentikan perkataan Sastri. “Delia itu lebih cocok jadi pacar kamu deh Mas.”

“Abaikan saja.”

***

Terpopuler

Comments

Aida Fitriah

Aida Fitriah

sastri kereeeeen

2022-05-31

1

Hary Nengsih

Hary Nengsih

lanjut

2022-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!