Jihan baru saja sampai di apartemennya. Gadis itu dengan ekspresi yang masih datar menatap keluarganya yang sedang berkumpul di depan pintu. "Darimana kamu?" Tanya Ayah menahan emosi. "Dari luar." Jawabnya langsung membuka pintu dan bergegas masuk.
"Begini kerjaan kamu selama ini?" Tanyanya sembari menghamburkan sesuatu dari amplop coklat. Jihan menatap satu foto yang jatuh di depan kakinya. Ia menghela napas karena ternyata Ayahnya masih memata matainya. Terbukti dari jepretan foto itu terlihat Ia sedang mabuk di club'. "Aku sudah bilang berhenti untuk mengikutiku." Kata gadis itu sembari membalikkan badan menatap semua. "Dek. Keterlaluan kamu. Bikin malu keluarga. Mau ditaro dimana harga diri ini. Kita dari keluarga baik baik tapi kamu malah mabuk di tempat seperti ini." Ujar Jaafar kemudian menutup mulutnya. Pemuda itu baru sadar jika kata katanya begitu menusuk hati adiknya. Jihan terkekeh. "Siapa yang tau aku keluarga kalian? Tidak ada yang tau bukan? jadi kenapa harus malu? Beruntung bukan kalian membuangku? selamat. Itu keputusan yang tepat." Jihan berkata dengan tenang. "Dek.."Bunda mulai menangis. "Kenapa? memang benar. Aku tidak memiliki siapapun setelah nenek meninggal." Ia berbicara dengan nada yang lebih tinggi. "Plak...." Suara tamparan membuat mereka terkejut. Jihan menegapkan pandangannya dengan pipi memar dan sudut bibir berdarah. Telapak tangan Ayahnya mendarat mulus di pipi gadis itu dengan kencang beberapa detik yang lalu. "Dek..." Ayah merutuki kebodohannya. "Keluar." Jawab Jihan dengan dingin. "Dek. Maafkan Ayah." Lirih pria itu meneteskan air mata sementara Bunda sudah menangis dalam dekapan putranya. "Keluar aku bilang. Aku hanya ingin sendiri dan tenang. Bisakah kalian menjauh." Ucap Jihan melangkah memasuki kamarnya. "Kalian egois." Bunda berlalu pergi meninggalkan mereka.
Beberapa hari berlalu. Jihan benar benar menutup aksesnya dari keluarga. Gadis itu sebisa mungkin menghindar ketika keluarganya mencari. Kini pagi pagi sekali Ia sudah berada di depan rumah Meta. "Astaga." Kaget Meta ketika membuka pintu. "Mana Lita?" Tanyanya menerobos masuk tanpa dipersilahkan. "Kakak." Teriak gadis kecil itu berhambur menyambut kedatangan Jihan. "Pagi pagi sudah muncul. Kaya tukang sayur." Meta mencibir. "Biarin. Ayo siap siap." Kata Jihan membuat keduanya saling pandang.
Meta menatap takjub mobil di depannya. Mereka tadi berjalan cukup jauh ke tempat Jihan memarkirkan mobil. "Ini mobil kakak?" Tanya Lita. "Mobil rental." Jawabnya sembarangan sambil membuka pintu mempersilahkan keduanya masuk. "Silakan Nyonya." Candanya membuat Meta mendengus sebal.
Mobil telah terparkir mulus di basment apartemen. Jihan dan Meta turun sembari membawa belanjaan memasuki lift. "Ngakunya makan pake tahu. Kamu tinggalnya di apartemen mewah begini." Sindir Meta. "Apartemen pinjem." Jawab Jihan sambil terkekeh.
"Wah..." Meta dan Lita begitu takjub saat memasuki apartemen mewah dengan dominasi warna abu abu milik Jihan. "Nggak usah bengong begitu. Ayo masuk." Ajaknya untuk ke ruang tengah. "Kalian disini dulu ya. Anggap aja rumah sendiri. Aku mau masak dulu." Kata Jihan sembari menghidupkan layar televisinya.
Meta menghampiri Jihan yang sedang sibuk di dapur. "Aku bantuin ya." Tawarnya namun dengan cepat Jihan menolak. "Nanti keasinan. Nggak usah." Jawabnya membuat Meta mendengus sebal. "Makasih udah bawa aku pulang ke rumahmu. Kalo nggak mungkin aku jadi tontonan." Ucapnya sambil terkekeh. "Santai aja." Jawab meta sembari tersenyum. Gadis baik, Namun sayang Ia tak bahagia. Batin meta sembari mengamati gerak gerik Jihan.
Ketiganya makan bersama setelah masakan siap. "Kamu mau kerja seperti itu terus?" Tanya Jihan membuat Meta tersenyum. "Tidak. Aku ingin hidup yang lebih baik untuk putriku. Agar ketika dewasa nanti dia tidak akan malu dengan pekerjaan Ibunya. Jadi apapun aku mau. Asal tidak di tempat haram seperti itu." Jawab Meta. "Bekerjalah di tempatku." ucap Jihan membuat wanita itu mengangkat pandangan. "Aku punya restoran sederhana. Bekerjalah disana jika kau mau." Tawarnya. "Aku tidak enak terus merepotkan mu." Jujur Meta merasa tidak enak hati karena kebaikan Jihan. "Santai saja. Aku tidak merasa direpotkan sama sekali." Ia mengulas senyum sembari menatap teman barunya.
"Maaf Mas. Mbak Jihan sudah beberapa hari tidak ke restoran. Mbak Jihan hanya memberi kami instruksi lewat grup chat saja." Jawab seorang pramusaji pada Riza. Ia sedang mencari Jihan untuk membicarakan sesuatu. "Mbak tau alamatnya? Atau kemana dia biasa pergi?" Riza mencoba menggali informasi. "Apartemennya saya tau Mas. Kemarin Saya mengantarkan laporan keuangan kesana. Tapi kata security Mbak Jihan keluar." Jawabnya jujur. "Kemarin Saya kesana juga tidak ada." Riza tidak bertanya lagi kemudian segera berpamitan setelah mendapat nomor ponsel Jihan.
Riza sudah masuk ke dalam mobil menghubungi nomor Jihan berkali kali namun tidak diangkat. Ia menghela napas kemudian memasukkan ponselnya ke saku celana. Laki laki itu menghidupkan mesin mobilnya kemudian melajukan perlahan meninggalkan parkiran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Gila,belonjuga masalah selesai,malah udah menambah masalah lagi, Benar2 Keluarga yg gak tau diri..😡😡😡
2024-04-20
0
Markoneng
ayo mas Riza, kejar Jihan
2022-05-18
1
Adreena
Keluarganya TDK merasa bersalah sekalipun...terkesan Jihan yg salah dsni
2022-05-08
1