...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
...Happy Reading...
...💖...
Dian duduk di kursi selasar rumah sakit, pikirannya bercabang kali ini, bukan cuma Ares yang menjadi korban di dalam kebakaran restoran itu. Akan tetapi, salah satu koki senior yang merupakan teman kerja Ares, menderita luka lebih parah dari adiknya itu.
Pembicaraan bersama dengan Romi baru saja, masih terngiang di dalam pikiranya, sepupunya itu menerangkan semua kejadian yang terjadi di sana, juga menyampaikan hasil olah TKP yang dilakukan polisi.
"Semuanya sudah tidak bisa diselamatkan, apa lagi bagian dapur dan penyimpanan stok bahan makanan, kondisi di sana adalah yang paling parah."
Ucapan Romi terus terngiang, restoran yang baru saja ia buka selama satu tahun belakangan, kini telah habis tak bersisa, kerugian besar pun ada di depan mata. Ditambah dengan para pekerja yang pastinya harus ia berhentikan sementara waktu.
Tidak akan mudah dan pastinya membutuhkan banyak uang untuk memulai restoran itu lagi, sedangkan semua dana sudah ia persiapkan untuk pembangunan hotel baru di Bandung.
Belum lagi biaya perawatan korban dan pesangon untuk para karyawan, itu sudah pasti menjadi tanggungan dirinya.
Hufffhhh!
Dian menghembuskan napas berat, memikirkan banyaknya beban yang saat ini dia tanggung, menemban tugas sebagai pemilik dari hotel dan restoran yang sedang berkembang bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi dengan dirinya yang harus bersembunyi di balik status sebagai sekretaris.
"Tidak ada korban yang serus, hanya Ares dan satu orang koki yang mengalami luka paling serius, sepertinya dia memiliki luka lebih parah dari Ares. Sekarang dia juga dirawat di rumah sakit yang sama, kamu mau mencoba menemuinya?"
"Tidak, biar besok pagi saja kita ke sana bersama," jawab Dian, saat Romi memberikannya nomor kamar koki itu.
Dian tidak mungkin ke sana sekarang, sedangkan dirinya hanya berperan sebagai seorang sekretaris. Itu akan terlihat tidak sopan, jika penanggungjawab yang mereka tahu tidak datang langsung untuk meminta maaf.
Untung saja, tidak ada pengunjung yang mengalami cedera, karena memang restoran itu tidak terlalu tertutup, hingga saat kejadian Mereka dengan leluasa menyelamatkan diri.
Hanya para pekerja yang saat itu sedang berada di dapur dan terkena semburan api, ada juga yang terjatuh dan mengalami luka-luka ringan. Ares dan koki senior yang berada di sampingnya yang memiliki luka paling parah diantara semuanya.
"Kenapa kamu tidak masuk?" seorang lelaki yang tadi masuk bersama dengan ayahnya duduk di sampingnya.
Dian terperanjat, dia tersadar dari berbagai pikiran yang membuatnya tak sadar akan keadaan di sekitarnya.
Menoleh sekilas pada asal suara lalu kembali memandang lurus ke depan, di mana hanya ada tembok rumah sakit di sana. "Untuk apa kamu kembali?"
Bukannya menjawab pertanyaan lelaki itu, Dian malah bertanya kembali. Dia tetap tidak suka dengan keberadaan lelaki asing yang sepertinya ingin masuk lebih dalam, di kehidupannya. Walaupun tak dapat ia pungkiri, kalau lelaki itu sudah banyak membantunya.
Gio, ya ... lelaki itu yang kini sudah berada di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang selalu sulit untuk ia terjemahkan. Sorot mata hitam itu begitu rumit, hingga ia sendiri tak bisa membedakan kejujuran dan kebohongan yang terucap dari bibir lelaki itu.
"Aku khawatir padamu, tadi aku menelepon Romi, katanya dia tidak bisa ke sini, jadi aku bawakan makanan dan baju ganti," jawab Gio.
"Terima kasih. Tapi, sepertinya itu tidak perlu, seperti yang kamu lihat, aku sudah mengganti baju dan aku juga tidak lapar," ujar, Dian.
Gio menatap wajah lelah Dian, terselip rasa prihatin melihat perempuan di sampingnya itu, ada kesamaan dia antara mereka, di mana Dian juga harus memiliki tanggung jawab yang besar karena suatu wasiat dari seseorang yang telah meninggal.
Dian sama sepertinya, walau awal masalah mereka tidak sama, Gio pun masih mencri tahu lebih dalam lagi mengenai kehidupan Dian yang memang begitu tertutup dan terkesan misterius hingga lumayan susah untuk mendapatkan informasi tentang perempuan itu.
Yang beredar di luar sana, hanyalah tentang gosip dan rumor tidak jelas, entah siapa yang pertama kali menyebarkannya hingga omongan dari mulut ke mulut itu kian menyebar luas.
Ditambah dengan Dian yang tidak pernah mau memberikan klarifikasi,membuat anggapan para masyarakat tentangnya sudah terlanjur buruk.
"Ya, kamu benar dengan baju ganti. Tapi, sepertinya kamu masih membutuhkan makanan, untuk mengisi perutmu itu. Jangan mengabaikan kesehatan ... ingat, menyelesaikan semua masalah itu butuh tenaga yang besar," ujar Gio.
Dian terdiam, dia hanya menghembuskan napas berat berulang kali, alisnya bertaut hingga menimbulkan kerutan samar di keningnya, pikiran dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Dia sama sekali tak merasa lapar, atau mungkin dia hanya mengabikan rasa itu.
Gio memiringkan duduknya, hingga salah satu kakinya terlipat di atas kursi besi itu, telunjuknya terulur menyentuh tepat di antara kedua alis Dian, hingga menghilangkan kerutan di sana dan memberikan jarak kembali antara dua alis Dian.
"Tidak baik kamu terus menautkan alis begitu, tenangkan dulu pikiranmu, agar tidak terlalu tegang," ujar Gio dengan senyum mengembang di wajahnya, begitu dian menatapnya tidak suka.
Perempuan itu tidak menjawab, dia hanya mendengkus kesal, kemudian mengalihkan pandangannya kembali dari Gio.
"Bagaimana jika kita ke kantin, secangkir minuman hangat mungkin bisa membuat kamu lebih tenang," ajak Gio kemudian.
Dian menatap pintu ruang rawat Ares, dalam hati dia membenarkan perkataan Gio, apa lagi sekarang ada kedua orang tuanya yang akan menjaga sang adik lebih baik darinya.
"Tidak perlu khawatir, bukannya sudah ada kedua orang tuamu yang menjaga Ares. Kamu bisa meluangkan waktu untuk dirimu sendiri, jangan hanya terus memikirkan orang lain," ujar Gio lagi.
"Dia bukan orang lain, dia adalah adikku!" tekan DIan menatap Gio tidak suka.
"Oke, untuk yang satu itu aku salah. Tapi, sesekali kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Ayo, kita pamit dulu pada orang tuamu."
Gio sudah berdiri lebih dulu, menunggu Dian yang masih terlihat bimbang.
"Tidak usah, biar nanti aku mengirim pesan pada Ares," ujar Dian ikut berdiri lalu melangkah lebih dulu menuju ke arah pintu lift.
Gio hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian berjalan mengikuti langkah perempuan itu, kedua ujung bibirnya tertarik hingga membentuk garis lurus saat mendapati Dian yang mau menerima ajakannya setelah sekian lama.
Sedangkan Dian hanya bersikap dingin dan acuh seperti biasa, dia hanya ingin menghindari untuk bertemu kedua orang tuanya, hingga akhirnya dia memilih untuk menerima ajakan dari Gio.
'Tak apa lah sesekali aku menerima ajakan lelaki brengsek ini, setidaknya kami hanya berada di kantin, itu tidak akan membuat pasangannya salah paham' gumam hati Dian.
Dia yang masih menganggap kalau Gio sudah memiliki pasangan lain di luar sana, merasa harus waspada danmembentangkan tembok penghalang besar bagi lelaki itu. Di samping dirinya yang memang tidak mau menjalin hubungan dengan lelaki, dia juga tidak mau menyakiti hai perempuan lain di luar sana.
'Semangat Gio, kamu pasti bisa mendapatkan hati perempuan satu ini!'
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Retno Palupi
semangat gio
2022-08-30
1
Helen Apriyanti
smngttt gio.. smngttt jg buat kk author nya .. lnjutttt
km pasti bisa gio mncairkan hati dian yg beku ..
2022-08-07
1
Nurmali Pilliang
maju terus Gio
2022-06-14
1