...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
...Happy Reading...
...💖...
Pagi datang dengan begitu cepat, tak ada matahari, langit masih berwarna abu-abu dengan awan hitam menggantung siap menurunkan bulir air dari atas sana.
Dian membuka mata, dia mengedarkan pandangannya pada tempat yang terasa asing, akan tetapi, dia juga seperti merasa pernah melihat tempat ini.
Matanya memicing mengingat apa yang semalam terjadi padanya. Dia kemudian mengingat semua juga tempatnya berada saat ini.
"Kamar lelaki itu? Akh! Kenapa aku bisa berbuat begitu, tadi malam?" ujar Dian sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang.
Tak ada lagi lelaki itu di sana, saat ini Dian hanya sendiri tanpa ada lelaki itu bersamanya seperti satu bulan yang lalu.
Ya, ini adalah kamar yang sama, yang dia tempati dulu, sewaktu dirinya hampir di lecehkan. Pertemuan pertama dengan lelaki brengsek yang selalu mengejarnya.
Dian menatap tubuhnya yang sudah berganti baju kembali. Matanya menajam melihat seluruh tubuhnya.
"Ini, kenapa selalu seperti ini?" gumamnya sambil menyentuh baju yang dipakainya.
Cklek.
Pintu kamar terbuka, Dian melihat ibu paruh baya yang dulu menghampirinya dengan senyum ramah.
"Eh, Neng udah bangun. Ini, Bibi mau nganterin baju buat, Neng," ujar wanita paruh baya itu.
Dian mengangguk dengan senyum tipis. "Terima kasih, Bu."
"Panggil saja, Bibi Jui. Sama seperti A' Gio," ujar Bibi Jui, sambil menaruh baju yang ada di tangannya pada sofa.
Dian kembali mengangguk. "Bi, boleh saya bertanya?" tanya Dian Ragu.
"Tentu saja boleh, Neng. Ada apa? Apa ada yang bisa Bibi bantu?" Bibi Jui, kini sudah berdiri di samping ranjang, menunggu pertanyaan dari Dian.
"Ke mana dia? Kenapa pagi-pagi begini sudah tidak ada?" tanya Dian lirih.
"Maksud, Neng, A' Gio?" Bi Jui memastikan, yang langsung diangguki oleh Dian.
"A' Gio, ada di luar. Dia menunggu, Neng, untuk sarapan bersama," jawab Bibi Jui.
Dian tampak terdiam sebentar, seperti sedang berpikir sesuatu. Dia kemudian melirik baju yang dipakainya.
"Bi, siapa yang sudah menggantikan baju saya tadi malam?" tanya Dian.
Bibi Jui tersenyum. "Itu, Bibi yang gantian. Tenang saja, Neng ... A' Gio selalu menyuruh Bibi yang gantiin baju, Neng."
Dian tersenyum dengan helaan napas lega. "Terima kasih , Bi."
"Tidak apa, Neng. Itu memang sudah tugas Bibi," ujarnya.
"Baiklah, kalau tidak ada lagi yang bisa Bibi bantu, Bibi permisi ke luar lebih dulu," pamit Bibi Jui.
"Heem," jawab Dian.
Dian turun dari ranjang, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian dia sudah kembali dengan wajah yang terlihat lebih segar.
Di tempat lain, Gio tampak sedang duduk di teras rumah, berteman kopi yang masih mengepulkan asap panas.
Suasana pagi yang terasa dingin, dengan kabut tipis menghalangi pandangan, menjadi pemandangan yang langka untuk seseorang yang biasa tinggal di kota besar seperti Gio.
"A', Neng Dian sudah bangun," Bi Jui tampak berdiri di samping Gio.
Lelaki itu menoleh sekilas pada wanita paruh baya itu, dia kemudian mengangguk sambil memalingkan kembali wajahnya, menatap lurus ke depan.
"Terima kasih, Bi," ujar Gio.
Bi Jui tersenyum lalu mengangguk sebagai jawaban dari Gio, dia kemudian pamit kembali ke dapur, setelahnya.
Gio tersenyum samar saat ingatannya semalam kembali melintas. Bagaimana dia bisa melihat sisi rapuh Dian, yang berujung dengan tertidurnya perempuan itu di dalam pelukannya.
Karena itu juga, dia bisa kembali tidur sambil memeluk Dian. Ya, tanpa perempuan itu sadari, Gio tidur di sampingnya, memeluknya erat sampai pagi buta, dia harus terbangun lebih dulu, agar tak mendapat serangan mendadak lagi, darinya.
Tak ada maksud untuk Gio mencuri kesempatan di atas kesedihan Dian, hanya saja tadi malam Dian kembali tertidur dengan gelisah seperti sebulan yang lalu, hingga Gio terpaksa untuk memeluk tubuh perempuan itu kembali.
"Terima kasih."
Gio menoleh pada asal suara, senyumnya mengembang mendapati perempuan yang telah merebut hatinya itu sudah berdiri di sampingnya. Apa lagi dengan baju yang saat ini dipakai oleh Dian, membuat Gio merasa begitu bahagia.
"Kamu sudah bangun?" bukannya menjawab ucapan Dian, Gio malah bertanya.
"Heem," Dian hanya bergumam, dia melihat lurus ke depan dengan tangan bersidekap dada.
"Duduklah," ujar Gio, dia menggeser tubuhnya agar kursi yang sedikit memanjang itu bisa muat untuk mereka berdua, dia menepuk bangku di sampingnya sebagai tanda untuk Dian.
Dian melihat bangku di samping Gio, lalu beralih menatap wajah lelaki menyebalkan yang sayangnya cukup tampan itu. Dia kemudian beranjak dan duduk di samping Gio.
"Maaf, aku membawamu ke mari tadi malam," ujar Gio, menatap wajah Dian.
"Itu, untuk malam tadi, aku minta kamu lupakan saja, anggap saja semua itu tidak terjadi." Dian pun melirik sekilas wajah Gio.
"Melupakan? Tapi, kenapa?" tanya Gio dengan alis bertaut.
Dian mengangkat bahunya, dia memilih tak menjawab pertanyaan lelaki di sampingnya.
Perempuan itu hanya tidak suka ada yang tahu kelemahannya, dia bahkan menyesali perbuatannya tadi malam, yang tak bisa menahan emosinya di depan lelaki asing itu.
Gio menatap wajah Dian yang terlihat baik-baik saja, tak seperti tadi malam yang begitu terlihat terpuruk, entah mengapa dia malah merasa semakin iba pada perempuan itu.
Dia tau kalau Dian hanya berusaha terlihat baik di depannya. Gio mulai mengerti, mungkin inilah yang sudah biasa ditampilkan oleh Dian, perempuan itu sudah terbiasa menutupi luka, hingga sekarang bahkan sudah tak terlihat lagi perbedaannya.
"A', Neng, sarapan sudah siap."
Ucapan Bi Jui mengalihkan perhatian kedua orang yang sedang membisu dengan pikirannya masing-masing.
"Kami akan segera masuk, terima kasih, Bi," jawab Gio. Sedangkan Dian hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala samar.
Gio kini beralih pada Dian, perempuan itu seperti tak ada niat untuk beranjak dari tempat duduknya.
"Kamu tidak ada niat untuk kabur lagi 'kan?" tanya Gio dengan mata memicing curiga.
Dian tersenyum miring, dengan ujung mata melirik Gio. "Untuk apa aku kabur darimu?"
"Ya, bisa saja 'kan kamu kabur seperti satu bulan yang lalu?" Gio berujar santai, sambil beranjak dan berdiri di depan Dian.
"Heuh! Kau pendendam ternyata," sinis Dian.
"Hei! Enak saja kamu bilang aku pendendam, aku hanya pandai mengingat," sangkal Gio, walau pada awalnya dia sempat terkejut dengan perkataan Dian.
Dian hanya tersenyum miring sambil sedikit melirik wajah Gio, tak berniat untuk menjawab omong kosong itu.
Dia juga tidak ingin tau dan tidak peduli pada kehidupan lelaki yang telah menolongnya itu. Yang dia tahu hanya satu, Gio adalah pemain wanita ulung.
Itu saja, sudah membuat dirinya merasa ilfil untuk tetap berada di dekat Gio.
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Pipit Sopiah
ilfil nanti kangen klw gio ga ada
2022-06-04
0
💞wini lovely🌹🌈💞
sedikit demi sedikit akhirnya dian bisa mancair jga es nya,,, 😅😅
ttp smngat thorr,, dtnggu klnjutannya,, sehat slalu,,
2022-04-27
1