...Happy Reading ...
...💖...
“Selamat pagi, Dian.”
Sapaan yang tiba-tiba terdengar dari arah pintu, membuat perempuan cantik itu membalik badannya, tersenyum tipis kepada seseorang yang baru saja datang.
“Pagi juga,” ucapnya singkat. Dia kemudian mengambil buku catatan miliknya dan menyebutkan jadwal untuk hari ini.
“Tidak usah seperti itu, Dian. Seharusnya di sini aku yang mengerjakan semua ini untukmu, bukan malah terbalik seperti ini,” ujar lelaki berumur tiga puluh lima tahun yang merupakan sepupunya sendiri.
“Sudahlah Romi, kamu ini jangan banyak protes. Semua orang tahu kalau aku ini sekretaris kamu, jadi kerjakan saja tugasmu sekarang,” bantah Dian.
“Ya, aku tau. Tapi, disini hanya ada kita berdua, jadi bersikaplah selayaknya pemilik hotel ini,” debat lelaki yang disebut Romi itu.
“Ya, baiklah. Kalau begitu aku ke luar dulu ... siapkan berkas pengajuan para kontraktor, untuk membangun hotel baru kita di Bandung,” putus Dian, kemudian keluar dari ruangan itu.
Begitulah semua drama antara bos dan kepercayaannya yang berperan sebagai sekretaris dan bosnya, di hadapan banyak orang. Karena wasiat dari sang nenek yang meminta agar Dian tak memberi tahu siapa pun tentang hotel yang ia wariskan. Membuat Dian terpaksa menutupi semua itu dari orang lain, kecuali Romi dan ayahnya yang merupakan pengacara keluarga dari sang nenek.
Semua itu bukanlah tanpa alasan, perseteruan antara ayah dan para saudaranya yang masih berjalan sampai sekarang, membuat neneknya takut kenyataan ini, akan membuat hubungan mereka bertambah renggang.
Dian sebenarnya sudah sempat menolak hotel ini, dia merasa tidak berhak menerima semua itu. Akan tetapi, melihat sang nenek yang memohon dan terus membujuknya, membuat dirinya luluh juga, dan mau menerima semua ini.
Walau akhirnya semua ini harus ia lakukan sambil mencoba mencari solusi atas semua permasalahan antara ayah dan para pamannya.
Walau akhirnya dia juga terkena imbasnya, sekarang hubungan antara dia dan ayahnya yang menjadi renggang, setelah meninggalnya sang nenek.
Dian menghembuskan napas berat, saat mengingat permasalahan keluarga yang membuatnya kini terjebak dalam situasi rumit. Hidup sendiri dengan berbagai rumor miring di sekitarnya yang membuat hubungannya dan sang ayah semakin jauh.
Dering telepon di meja kerjanya mengalihkan perhatiannya, segera ia ambil dan temperatur di telinga, sudah tahu pasti, siapa yang menghubunginya.
“Melamun saja terus, sampai ayam tetangga mati!” gerutu orang di ujung sambungan yang tak lain adalah Romi.
“Apa hubungannya melamun dengan ayam tetangga yang mati?” cebik Dian. Saudaranya yang satu ini memang sedikit ajaib kalau sedang berbicara.
“Ah, sudahlah. Kenapa kita jadi membicarakan ayam? Ada apa kamu menghubungiku?” sambung Dian lagi.
Romi terdengar tertawa mendengar kekesalannya. “Semua berkas sudah siap, kamu tinggal mengambilnya,” ujarnya kemudian.
“Baiklah, aku akan segera ke sana,” jawab Dian, sambil menyambar berkas yang tergeletak di depannya lalu melangkah ke ruangan di depannya. Dia bahkan menutup teleponnya tanpa ucapan terlebih dahulu.
Begitu melihat Dian masuk, Romi langsung berdiri dan membiarkan Dian mengambil alih pekerjaannya. Keduanya tampak larut dengan pekerjaannya masing-masing.
.
Di Bandara internasional Soekarno Hata, seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, terlihat baru saja keluar dari terminal tiga kedatangan.
Berjalan dengan penuh gaya sambil menebar seribu pesonanya pada setiap perempuan yang berasa di sekitarnya.
“Gio!” seruan dari seseorang yang tak lain adalah asisten sekaligus sahabatnya sendiri, mengambil perhatiannya, dia melambaikan tangan sambil mempercepat langkahnya.
“Randi, apa kabar kamu?” tanya Gio, sambil memeluk kilas lelaki di depannya.
“Aku baik, kamu bagaimana? Sepertinya betah sekali di luar negeri sampai tak ingat pulang,” sendiri Randi.
“Ya, kamu tau sendiri kan, kalau di sini ibu ratu akan selalu mengawasiku, aku tidak bisa lagu bermain dengan para wanitaku,” jawabnya santai.
Kini mereka sedang berjalan menuju tempat mobil Randi terparkir.
“Hahaha ... ternyata kamu belum berubah juga? Astaga ... mau sampai kapan, Gio?” Randi menatap Gio dengan alis bertaut dalam.
Gio hanya mengangkat kedua bahunya, tanpa mau menjawab pasti pertanyaan temannya. Sesekali dia tampak mengedipkan sebelah matanya, pada perempuan yang terlihat memperhatikannya.
“Aku mau mengendarai sendiri, berikan kuncinya,” ucapnya, membuat terkejut Randi.
“Lalu aku pulang naik apa? Lagi pula kamu mau ke mana? Nanti aku jawab apa kalau di tanya sama tante Hana?” bingung Randi.
“Kamu bisa apalagi menggunakan taksi, aku mau jalan-jalan sebentar. Terserah kamu saja,” acuh Gio langsung menyambar kunci mobil di tangan Randi lalu masuk dan melesat pergi, meninggalkan bandara.
Randi hanya menggelengkan kepala sambil menghembuskan napas pasrah, melihat mobilnya telah menjauh dari pandangan. Beginilah nasib bawahan yang selalu saja tak bisa melawan oleh titah tuannya. Walaupun sebenarnya dia sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Purnomo.
Entah dia harus senang atau menyesali kedatangan bos sekaligus saudaranya itu, yang pasti akan banyak drama lagi di rumah setelah kedatangan Gio.
Memilih memanggil taksi dan berlalu menuju rumah kediaman keluarga Purnomo untuk menaruh koper Gio, setelah itu baru dia akan kembali ke kantor.
Di tempat lain, Gio sedang mengendarai mobilnya pada suatu tempat, menepi sebentar di halaman sebuah toko bunga lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua jam, akhirnya dia berada di sebuah pemakaman eksklusif di luar kota. Melangkah menuju ke dalam kawasan yang terlihat lebih seperti sebuah padang rumput hijau dibandingkan dengan sebuah pemakaman itu.
Sebuah buket bunga berada di tangannya, mengayun mengikuti langkah kakinya. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di salah satu makam yang berada di sana.
“Hai, Pah. Apa kabar?” ucapnya, sambil meletakkan buket bunga di dekat batu nisan bertuliskan Yoga Haris Purnomo.
Gio menundukkan kepala, memanjakan doa untuk ayah yang telah mengorbankan nyawa hanya untuk menyelamatkannya.
Ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu, di saat dia harus melihat ayahnya sendiri meregang nyawa di pangkuannya, karena ulah seorang gadis yang ia cintai.
“Jaga, ibu dan adikmu dengan baik ... Papah percaya padamu.”
Ucapan terakhir mendiang ayahnya, selalu terngiang di telinganya, membuat luka yang teras masih basah itu seakan tak pernah sembuh.
“Maafkan aku, Pah. Aku akan berusaha membalas setiap sakit yang telah aku dan dia berikan padamu dulu, dengan caraku sendiri. Aku sudah membuat dia menyesal, karena telah bermain-main dengan kita.” Gio berbicara sambil menerawang jauh pada sesuatu yang ia lakukan pada gadis yang telah membuat sang ayah pergi untuk selamanya.
Matanya mulai memerah, dengan detak jantung yang berpacu semakin cepat. Tangannya mengepal menahan amarah dan penyesalan yang bertarung di drama dirinya.
‘Andai saja, dulu aku tak bodoh hingga begitu mudah terkena buruk rayu gadis ular itu, mungkin sang ayah masih tetap ada di sisi keluarganya sampai saat ini.’ hatinya terus menyalahkan dirinya sendiri, untuk kejadian di masa lalu.
Tak ada yang tahu rasa sakitnya, tak ada yang tahu kesedihannya, doa menutupinya dengan semua ulah nakal yang diperbuat, hingga tak ada yang bisa melihat luka yang masih menganga.
“Tenang saja, Mama dan Gita tidak tau apa pun dengan apa yang aku lakukan,” ucapnya, seakan sedang berbicara dengan orang yang masih hidup.
Cukup lama Gio termenung, hingga akhirnya dia bangkit dan berjalan kembali menuju mobilnya. Setiap langkahnya dia seakan mengingatkan sebuah penyesalan yang tak berujung untuk dirinya.
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
...Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Retno Palupi
semangat kak
2022-08-30
0
Helen Apriyanti
smngttt thorr up ny yh
2022-08-05
1
Mira
Aq mmpir thor
2022-06-05
2