...Happy Reading...
...💖...
Dian sudah rapi kembali dengan pakaian kantornya, bersiap untuk pergi ke hotel, karena dia harus melaporkan sesuatu pada Romi.
Hari sudah menunjukan jam sebelas siang, saat Dian baru saja menginjakkan kakinya di lobi hotel. Di sambut dengan wajah sinis para staf hotel yang memang tidak suka kepadanya.
Bisik-bisik pun terdengar samr di telinganya. Dian mengeraskan wajahnya mendengar berbagai gosip simpang siur yang beredar di sekitarnya.
"Liat tuh, udah berasa jadi bos, dia. Siang begini baru datang."
"Iya, apa mungkin dia menjadi selingkuhannya Pak Romi, ya?"
"Wah, bisa jadi tuh! Dia kan bekerja seenaknya ... tapi gak pernah dapat peringatan dari bos, apa lagi sikap tidak baiknya pada pelanggan hotel, itu kan sudah sering terjadi."
"Iya, kamu inget gak, waktu dia memukul pelanggan yang baru dua hari menginap di hotel, gara-gara lelaki itu menggodanya? Itu juga lolos dari teguran si bos."
"Tidak di ragukan lagi, da sepertinya menjalin hubungan dengan Pak Romi, makannya dia bisa tetap bekerja di hotel ini dan masih menjadi sekretaris sampai sekarag."
Obrolan para karyawan yng melihatnya terdengr samar, membuat Dian berdecak gerah. Memilih untuk mengacuhkannya dan tetap fokus pada jalan di depan.
"Rom, maaf tadi malam aku gak bisa bertemu dengan klien kita, ada sedikit kendala di jalan sampe aku gak bisa datang," ujar Dian ketika baru saja masuk ke ruangan Romi.
"Astaga, Dian! Kamu kemana saja sih? Aku cariin dari semalam kamu gak ada kabar, ponsel gak bisa di hubungi, aku cari ke rumah juga gak ada!" cerocos Romi setelah melihat kedatangan sepupu jauhnya itu. Dia sampai beranjak berdiri dari kursi duduk untuk menghampiri Dian lebih dekat lagi.
"Ini kenapa kamu dandan tebel banget? Apa yang terjadi tadi malam, aku tau pasti ada apa-apa kan?!" sambungnya lagi. Dia sudah tahu kalau Dian berdandan sedikit tebal, berarti ada yang disembunyikan di balik itu.
Dian menghembuskan napas kasar, menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan mata terpejam. Romi mengikuti setiap gerakan yang dibuat oleh Dian sambil terus meneliti tubuh perempuan itu.
"Aku hampir saja dilecehkan oleh para preman jalanan yang sedang mabuk. Untung saja ada seseorang yang datang dan menolongku," jelas Dian, dia memijit pelipisnya perlahan, rasa pening di kepala dan sakit di sekujur tubuhnya masih terasa, walau sudah sedikit mereda setelah meminum obat pereda nyeri.
Romi menatap Dian dengan alis bertaut, dia begitu terkejut mendapati cerita mengejutkan dari saudaranya itu.
"Bagaimana bisa?! Tapi, kamu tidak apa-apa kan? Siapa yang menolongmu, aku akan menemuinya langsung untuk berteimakasih langsung karena sudah menyelamatkanmu," ujar Romi, duduk di depan Dian.
"Aku tidak tau," acuh Dian.
Romi menatap dian dengan mata melebar, bibirnya terbuka sedikit, dia begitu terkejut mendengar penjelasan dari perempuan di depannya. Bagaimana mungkin Dian bahkan tidak tahu siapa yang menolongnya?
"Aku tidak salah dengar? Bagaimana bisa, kamu tidak tau siapa yang menolongmu?" tanya Romi heran.
"Aku tidak bertanya." Dian mengangkat kedua bahunya acuh.
"Astaga, Dian! Kamu boleh bersikap dingin dengan para lelaki di dekatmu ... tapi, jangan sampai kamu melupakan etika sebagai manusia, setidaknya kamu harus berterima kasih padanya!" geram Romi, tidak habis pikir dengan saudaranya itu.
"Aku sudah berterima kasih!" ujar Dian, menatap tajam Romi, dia tidak suka dengan perkataan saudaranya itu beberapa saat yang lalu.
"AKu hanya lupa bertanya namanya. Apa aku slah, lagi pula dia sendiri yang tidak sopan padaku," sungut Dian, kesal.
'Kurang ajar?! Apa maksudmu? Apa dia juga memperlakukanmu tidak baik?" Romi semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Dian.
Dian tak menjawab, dia hanya terdiam sambil menutup kembali matanya. Hembusan napas berat terdengar dari hidung perempuan itu, membuat Romi semakin yakin, kalau telah terjadi hal yang lumayan berat bagi Dian, tadi malam.
Selama ini Dian tidak pernah terlihat begitu lemah seperti sekarang, padahal dia tahu kalau masalah yang dihadapi oleh perempuan itu begitu berat. Bahkan untuk bertahan di hotel ini, tanpa membongkar jati diri aslianya.
Romi tak pernah membayangkan, jika semua masalah yang terjadi pada Dian terjadi padanya, mungkin dia sudah menyerah sejak lama.
"Tubuhku sakit semua, aku kesini hanya untukmembawkan berkas yang kamu perlukan untuk rapat sore nanti," ujar Dian setelah begitu lama terdiam.
Romi tersadar dari pemikiran panjangnya, dia menatap wajah Dian, lalu beranjak duduk di samping saudaranya itu.
"Badanmu sepertinya demam, kamu tidak mau aku bawa ke rumah sakit atau kelinik?" tanya Romi, setelah dia menempelkan punggung tangannya di dahi Dian.
"Tidak usah, aku tidak apa-apa, istirahat sebentar aku pasti sudah sembuh kok. Kamu gak usah khawarir, aku bisa menjaga diri sendiri," jawab Dian, menegakkan tubuhnya lalu kembali menyambar tas kecil yang ia bawa.
Romi menarik napas dalam kemudian menghembuskannya, dia tidak bisa lagi memaksa perempuan keras kepala itu. Dian akan tetap pada perkataannya jika jika dia sudah berbicara. Tak ada yang bisa menahan atau merayu keinginannya, kecuali sang bunda dan satu orang lagi yang kini entah sedang berada di mana.
"Baiklah, hubungi aku jika terjadi sesuatu. Urusan kantor biar aku yang akan mengurusnya." pesan Romi yang langsung diangguki oleh Dian.
Melangkah ke luar lalu berlalu dari ruang kerja keduanya, Dian tak langsung kembali ke rumah, dia berjalan di tepi pantai yang sedang ramai oleh pengunjung. Suasana yang selalu bisa menghilangkan rasa jenuh dan sepi di hatiya, melihat para anak dan juga orang dewasa yang tertawa lepas bersama, bermain air dan pasir, dengan wajah yang berbinar penuh suka cita
Dian menaruh sepatu yang sejak tadi ia jinjing, lalu udduk di samping sepatu itu, dia termeung di bawah sebuah pohon yang cukup rindang untuk menampung dirinya dari sinar matahari.
"Dia mana kamu sekarang? Kenapa kamu melakukan itu padaku? Kamu tau, karena ulahmu, kini aku yang harus menanggung semua kesalahanmu?" Dian bergumam sambil terus menatap lurus ke depan, matanya menerawang mengingat wajah seseorang.
Air di matanya sdah mulai berkumpul di pelupuk, bersiap untuk ditumpahkan, saat wajah para orang-orang yang disayanginya terlintas di ingatan.
Di dalam keramaian pun dia merasa sepi, hatinya hampa juga kosong. Tak ada lagi sedikit pun sama bahagia di sana.
Bayangannya berkelana pada masa lalu yang membuat dia merasa terkekang dengan hidupnya sendiri.
"Kamu bagaimana sih? Jagain adik kaki saja tidak bisa? Bagaimana mungkin Diana bisa kabur dengan lelaki tak berguna seperti dia?!" Suara Bernada tinggi langsung menyambut kedatangannya saat baru saja masuk ke dalam rumah.
"Sekarang, jangan lagi kamu berhubungan dengan lelaki sembarangan, aku tidak mau kamu terpengaruh seperti adikmu itu!" Belum sempat Dian mencerna apa yang terjadi, ayahnya sudah kembali memberikan ultimatum.
"A–apa maksud Ayah? Dian gak ngerti," ujar Dian. Matanya kini menyorot pada sosok sang Bunda yang sedang menangis tersedu di dalam pelukan Ares.
"Bunda, ada apa ini? Dian gak ngerti," Dian berlutut di depan Bunda dan adik bungsunya, meminta penjelasan dari seseorang yang dia harapkan bisa memberikannya.
"Ana kabur, bersama kekasihnya, dan dia meninggalkan ini di kamar."
Ares memberikan secarik kertas dengan sebuah benda berbentuk strip di dalamnya. Dengan tangan bergetar, Dian menerima surat dan beda yang sudah pasti dia tahu itu apa.
Air mata luruh begitu saja, saat sia mulai membaca setiap baris kata yang terungkap di sana. Matanya menatap tajam sang ayah dengan tangan meremas kuat kertas itu.
"Ini semua karena Ayah sendiri, Ana kabur karena Ayah gak ngasih restu untuk mereka, bahkan di saat Ana sudah mengandung!"
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
...Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Retno Palupi
lanjut kak
2022-08-30
1
Helen Apriyanti
owh dian 3 saudara.. ia ank prtama ... pnuh liku hidup moe dian .. msih pnsrn kisah ny seeru jg thorr lnjutttt mrathon bcanya ...smngttt kk author
2022-08-07
1