...Happy Reading ...
...💖...
Hari sudah hampir malam saat Gio sampai di kediaman keluarga Purnomo. Menghentikan mobil milik Romi tepat di depan pintu masuk, dia keluar dengan pandangan mengedar, menatap suasana di rumah, tempatnya terlahir dan bertumbuh.
Masih sama, semenjak dia meninggalkannya terakhir kali beberapa tahun lalu. Senyum tipis terukir di bibirnya, mengingat masa-masa saat dirinya masih kecil hingga remaja.
“Uncle Gio!” teriakan seorang anak lelaki kecil berusia lima tahun, mengalihkan perhatian Gio.
Senyumnya semakin melebar, melihat kedatangan sosok kecil yang kini tengah berlari menghampirinya.
“Hei, jagoan! Kamu sudah besar sekali sekarang,” sambutnya, langsung menggendong anak kecil yang tak lain adalah keponakannya.
“Ya, aku sekarang sudah sekolah,” bangga anak kecil itu.
“Hem, baru pulang gak langsung pulang ke rumah! Ke mana saja kamu, hah?”
Seorang wanita paruh baya dengan raut wajah ditekuk ikut berjalan di belakang anak kecil itu, dengan bersidekap dada.
Gio menggaruk belakang kepalanya, sambil menunjukan gigi putihnya, tersenyum kikuk melihat kemarahan sang ratunya. Menurunkan anak kecil tadi lalu beralih menghampiri Hana–ibu Gio.
“Ibu Ratu yang baik hati, jangan marah dulu dong ... Akh minta maaf ya.”
Gio mengambil kedua tangan Hana lalu mencium kedua sisinya berulang, lalu kembali menegakkan tubuhnya dan merangkul tubuh kecil milik wanita yang telah melahirkannya itu.
“Dasar anak nakal! Kamu gak tau kalau Mama menunggumu sejak tadi, hah?”
Pukulan kecik terasa di punggung tegap milik Gio, walau kemudian usapan halus menyusul kemudian. Lelaki itu tersenyum dengan tingkah merajuk ibunya. Semenjak ayahnya meninggal, ibunya kini terlihat lebih perasa.
“Maaf,” kembali Gio mengulang ucapannya.
“Kakak! Apa kakak sudah lupa sama aku, kenapa lama sekali baru pulang?!” seorang gadis berumur sekitar dua puluh lima tahun yang baru saja sampai langsung bergabung dengan semua orang di sana.
Gio melepas pelukannya pada Hana, matanya kini melihat gadis di belakangnya, terlihat sangat cantik dengan pakaian kerjanya.
“Gita! Mana mungkin kakak lupa dengan gadis cengeng sepertimu hah! Kamu sudah besar sekarang ya, dan sedikit lebih cantik,” ujar Gio, dia hampir menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya sebagai tanda, jangan lupa ekspresi wajah meremehkannya yang membuat Gita langsung mencebik kesal.
“Kakak! Aku kira lama di luar negeri, nyebelinnya berkurang, ternyata masih sama saja,” cebik Gita.
“Hissh, ternyata kamu masih saja gampang marah ya. Hahaha!” Gio langsung memeluk adik bungsunya itu.
“Heem, aku kangen Kak Gio,” ujarnya Gita sambil membalas pelukan kakak kesayangannya itu.
Setelah beberapa lama menikmati pelukan bersama sang adik bungsu, kini matanya beralih pada sepasang suami istri yang baru saja masuk, dengan memegang jas dokter di lengannya.
“Wah, akhirnya anak nakal ini pulang juga, setelah begitu lama lupa arah jalan ke rumah!” ejek Erika–kakak pertama Gio.
“Hai, Kak Rika, Bang Deri, bagaimana kabarnya?” sapa Gio, sambil melepaskan pelukannya dari Gita.
“Ya, seperti yang kamu lihat sekarang. Kita baik-baik saja,” jawab Rika, yang diangguki oleh Deri yang merupakan suami Rika.
Acara pertemuan akhirnya berakhir, semuanya masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, sebelum nanti akan bertemu kembali di acara makan malam.
Cklek
Perlahan Gio membuka pintu kamarnya, mengedarkan mata meneliti setiap isi kamar, bernuansa maskulin dengan dominan warna abu-abu dan putih.
Semuanya masih tampak sama, tidak ada yang berubah, bahkan semua letak barang-barangnya masih sama dengan sebelum ia tinggalkan dulu.
Matanya berhenti di sebuah bingkai foto yang tergantung di salah satu dinding. Di sana adalah foto dirinya dan sang ayah sebelum mereka terlibat masalah, karena sebuah kebodohan dirinya sendiri.
“Pah, aku kembali. Kali ini aku sudah siap untun melakukan apa yang Papah inginkan,” ujar Gio, menatap gambar sang ayah.
Setelah puas, menatap foto sang ayah, kini dirinya beranjak menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri.
.
Dian baru saja pulang dari hotel, setelah jam menunjukkan pukul sembilan malam. Begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan bersama dengan Romi siang tadi, hingga keduanya lupa waktu.
“Iya, Bun. Kak Dian di sini baik-baik saja kok, kan ada Ares yang jagain di sini. Bunda, jangan khawatir ya.”
Tubuh yang sudah terlihat sangat lelah itu memating di depan pintu, saat mendengar percakapan sang adik dengan ibunya melewati telepon.
Dian terdiam, dia menunggu sampai percakapan Ares dan ibunya selesai.
Cklek.
Pintu terbuka, Dian bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut sang adik, dia hanya pura-pura tidak tahu yang baru saja terjadi, duduk di samping adiknya sambil menyunggingkan senyum tipis, tangannya bergerak membuka sepatu yang dipakainya.
“Kakak lembur lagi?” tanya Ares, dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.
Dian melirik Ares sekilas lalu kembali membuka sepatu satunya lagi.
“Iya, banyak sekali pekerjaan hari ini. Apa lagi dengan rencana pembangunan hotel baru di Bandung, bikin pekerjaan kakak makin banyak saja,” jawab Dian.
Mengambil sebelah sepatunya yang tadi sudah terlepas, lalu memegangnya dengan satu tangan, kemudian berdiri kembali.
“Aku sudah siapkan makan malam, mau aku penasaran dulu?” tanya Ares, saat melihat kakaknya bangkit.
“Tidak usah, Kakak mau bersih-bersih dulu, baru nanti makan malam. Kamu istirahat dulu saja,” jawab Dian, mengelus sekilas puncak kepala Ares, sebelum melangkah ke kamarnya.
Ares menatap punggung Dian yang kini mulai menjauh darinya, hatinya sakit bila mengingat perselisihan yang terjadi di antara Kakak dan juga ayahnya.
Sudah hampir dua tahun, semua itu berlalu. Kejadian yang membuat perselisihan di antara kedua anak dan ayah itu.
Semua ini berawal karena sang ayah yang ingin menjodohkan Dian pada anak salah satu teman lamanya. Namun, Dian menolak, hingga terjadi pertengkaran yang lumayan panjang, hingga akhirnya Dian memutuskan pergi dari rumah, dan memilih hidup sendiri.
Itu juga yang menjadi alasan Ares untuk kerja di tempat yang dekat dengan kakaknya, agar dia bisa mendapat alasan untuk meminta tinggal bersama.
Flash back
“Ayah akan menjodohkan kamu dengan anak taman Ayah yang ada di Jakarta,” ujar Eros–ayah dari Diandar.
Diandra yang sedang duduk di hadapan sang ayah, setelah mereka baru saja pulang, mengantarkan jenazah sanga nenek ke peristirahatan terakhirnya.
Dian menatap tajam dengan alis bertaut, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.
Makam neneknya bahkan belum kering, dan sekarang dia malah membicarakan masalah perjodohan untuk dirinya. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh ayahnya saat ini, bahkan Dian tidak bisa mengerti.
Menggeleng keras. “Tidak, aku tidak mau dijodohkan,” ucapnya kemudian.
Eros terlihat menyorot lebih tajam tubuh anak perempuannya itu, dia tidak suka dengan penolakan, juga tidak bisa menerima semua itu. Dia mempunyai alasan yang begitu kuat, sebelum memutuskan semua itu.
“Ayah tidak mau tau, pokoknya kamu harus menerima perjodohan ini, Ayah tidak mau tau!” tekan Eros, tak mau dibantah.
Dian mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah yang mulai mencuat.
“Ayah, selama ini aku tidak pernah menolak apa yang Ayah mau, dari mulai pendidikan sampai semua larangan Ayah yang berlebihan, aku selaku turuti. Tapi untuk hal satu itu, aku mohon biarkan aku memutuskannya sendiri,” ujar Dian, suaranya masih pelan, bahkan kepalanya menunduk dalam, menghormati orang tuanya.
“Jangan jadi anak pembangkang! Aku paling tidak suka anak yang bersikap melawan sepertimu!”
Suasana semakin tegang, dengan suara kepala keluarga yang mulai meninggi.
“Ayah sudah cukup mengatur hidup aku! Sekarang aku sudah besar, tolong belasan aku untuk satu pilihan saja, Ayah!” mata berkaca-kaca itu mulai terlihat di wajah Dian, sambil mengatakan kata pembantahan itu.
Bagaimana bisa dia akan menjalani hidup dengan seseorang yang bahkan belum pernah dia temui sebelumnya. Dia tidak bisa membayangkan semua itu. Tidak lagi dan tidak akan, dia terjerumus dengan hubungan antara lelaki dan perempuan.
"Tidak bisa, aku sudah menyetujuinya, jadi dengan pernah membantah atau lebih baik kamu pergi saja dari rumah ini!"
Amarah di dalam tubuh Eros, menutupi rasa sayangnya, hingga yang tersisa hanyalah obsesi untuk menjalankan amanah yang telah lama terlupakan.
"Baiklah kalau itu yang Ayah mau, aku akan pergi dari rumah ini!"
Flash back off
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Kaizar Kaizar
cerita bagus
2023-08-27
1
Nurmali Pilliang
semoga betah baca nya
ceritanya bagus kok
2022-06-13
1
Mira
Baru mulai baca
2022-06-05
1