Kali ini ada bapak-bapak, yang hendak membeli gorengan. Dia meniup asap rokok dengan santai. Gheya menutup lubang hidung, karena tidak menyukai asapnya.
"Dik, kau harus tahu bahwa rokok sangat sehat." ujarnya.
"Menurut Bapak begitu, tapi menurut saya tidak." jawab Gheya.
"Ah kau ini, anak muda selalu beranggapan begitu." ucapnya.
"Orang yang mengerti bahwa kesehatan perlu, pasti akan benar-benar menjaganya." jawab Gheya.
"Aku tahu kok, kalau anak muda banyak yang pengecut. Apa lagi seorang wanita!" ejeknya.
"Jika Bapak orang yang pemberani, haruskah berkoar dan menekankan kata pengecut." jawab Gheya, dengan berani.
Pria itu melemparkan batang rokok ke lantai, lalu menginjaknya dengan kuat. Kini tatapannya menoleh Gheya, dengan perasaan penuh amarah.
"Kau ini tahu apa, palingan masih usia dua puluhan." ungkapnya, dengan tatapan tidak suka.
"Aku cukup tahu meski sedikit saja, yang menjadi referensi tolak ukur pikiran." jawab Gheya.
"Ada apa ini?" tanya Asti, yang baru muncul.
"Tidak ada apa-apa Bu, hanya orang yang ingin membeli gorengan." jawab Gheya.
"Karyawati mu ini kurang ajar, dia menutup hidung ketika asap rokok menghampirinya." ujar pria paruh baya tersebut.
"Iya wajar saja dong, karena bisa menjadi penyebab kanker." jawab Asti, yang membenarkan perilaku Gheya.
Pria paruh baya tersebut segera pergi, dan mengurungkan niatnya yang ingin membeli gorengan. Padahal Gheya sudah memasukkan gorengan, ke dalam plastik.
"Sudahlah, tidak perlu berkecil hati. Kalau rezeki tidak akan kemana." Ibu Asti menyemangati Gheya.
"Iya Bu." jawab Gheya.
Memang benar saja, beberapa jam kemudian datanglah anak-anak. Mereka membeli gorengan, sambil menyedot es dalam plastik. Gheya melihat mereka yang melirik sinis, tidak lupa dibarengi tertawa-tawa.
"Hahah... Jijik lihat orang tertutup begitu." Berbisik.
"Palingan wajahnya berjerawat." jawab orang di sebelahnya.
Tidak henti-hentinya cobaan hidupnya, selalu saja ada yang menghina dirinya. Terkadang Gheya merenungi diri sendiri, sering mempertanyakan keadilan Tuhan padanya. Padahal Tuhan sangat adil dalam hal ini, namun dirinya merasa tidak adil dalam melihat sesuatu.
”Allah Swt Maha Adil, hanya akulah yang terlalu lemah untuk menerima semua ini.” batin Gheya.
Gheya pergi ke taman, setelah pulang kerja. Iya biasalah, hanya untuk sekadar refreshing otak. Gheya melihat Kha'an, yang sedang berjalan dengan seorang perempuan. Tentu saja Gheya tidak kenal siapa dia.
"Apa pentingnya untukku, tidak penting sama sekali. Mau dia jalan sama badut juga tidak masalah." Gheya bergumam-gumam lirih.
Kha'an menyelipkan bunga pada telinga Asitha, lalu mengembangkan senyuman ke arah perempuan tersebut. Setelah itu, Asitha mengajak Kha'an duduk di kursi.
"Kha'an, aku senang sekali bisa jalan denganmu." ujar Asitha.
"Iya sama, aku juga senang." jawab Kha'an.
Kha'an bersandar pada kursi sofa, melihat Rendo yang sedari tadi menatap jengkel. Masih tetap tentang Gheya dan Bilim.
"Kenapa kau memasang wajah seperti itu?" tanya Kha'an.
"Hei, kau jadi orang jangan terlalu sabar. Apa tidak ingat seminar proposal milikmu." jawab Rendo.
"Ingat, aku juga tahu Gheya yang menyuruh seseorang mencurinya." ujar Kha'an.
"Dia perempuan gila, balas dendam karena tidak kau balas cintanya." jawab Rendo.
"Ah, jangan berpikir begitu. Menurutku ini menarik, aku ingin mengikuti permainannya." ucap Kha'an.
"Baiklah, baiklah, aku serahkan padamu." Rendo sudah mulai mengendur emosinya.
”Kalau sampai detik ini masih marah, berarti dia masih cinta sama aku.” batin Kha'an.
Tanpa terasa dia tersenyum, dan Rendo bergidik kayak ikan disetrum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments