Sejuta Tangis

Datang lagi sekelompok wanita, yang membawa dompet. Mereka membeli gorengan, dan Gheya melayaninya. Setelah itu, mereka pergi karena perut telah terisi.

”Ibu, aku merindukanmu. Aku sungguh merindukanmu, aku juga tahu kau kehilangan diriku. Namun ada baiknya, memang diri ini harus pergi.” batin Gheya.

Gheya tetap fokus, pada apa yang harus dikerjakannya. Sesekali ingin bahagia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dia sangat sedih. Perasaan memang tidak bisa dibohongi sepenuhnya.

Akhirnya senja berwarna teh lemon itu muncul, pertanda hari sudah hampir malam. Gheya segera pulang, karena gorengan sudah laku terjual. Gheya meraih handuk, lalu menuju kamar mandi. Tubuhnya sudah terasa lengket, dengan keringat yang bercucuran pada sekujur tubuhnya.

Malam harinya dia mengaji, meskipun telah berulang kali tidak mampu menghilangkan rasa sedihnya. Perasaan memang sulit dibohongi, Gheya masih dapat merasakannya. Segala untaian luka, masih saja terus menyobek dinding hatinya.

Usai mengaji Gheya makan malam, hanya dengan sepotong roti. Membaca doa sudah, namun sakitnya tak kunjung menghilang. Seakan-akan ia tidak bersyukur, namun sebenarnya sangat rela. Rela bila Tuhan yang menetapkan skenario tersebut. Hanya saja, rasa di hati masih terasa pilu.

Gheya benar-benar menikmati, isi selai coklat nan lembut. Sudut matanya masih saja menetes, merasa sedih karena kehilangan. Kehilangan sandaran, kehilangan senyum cerianya, kehilangan dunia nyamannya. Hanya tersisa alas untuk bersujud.

"Lebih baik aku tidur, agar semua kesedihan ikut tenggelam. Meskipun saat aku bangun, semuanya tetap sediakala." monolog Gheya.

Gheya memejamkan matanya, setelah membaca doa. Tangan dan kakinya tidak bergerak sama sekali, pertanda sudah mulai nyenyak di dalam tidurnya. Mungkin melakukan pergerakan, jika tubuh ingin menyeimbangkan.

Keesokan harinya, Gheya menerima pesan. Ternyata dari sang adik, yang paling dirindukannya. Rindu saat bermain bulutangkis bersama, dan juga berjalan kala waktu luang. Tidak tahu mengapa Gheya bersedih, tatkala melihat foto adik bersama ibunya.

Gheya benar-benar kusut, tidak mempedulikan lagi makan teratur. Kini hanya satu hari sekali saja, sudah mampu mengganjal tubuhnya yang berisi. Gheya membalas pesan dari sang adik, dengan segala tetes air mata yang ingin terus melompat. Pelupuk matanya saja tidak sanggup untuk menahan, tumpah di sana sini bagaikan bendungan bocor.

Ada sakit di dalam rongga dadanya, sepertinya magh mulai menghampiri. Mau bagaimana lagi, bukan Gheya sengaja. Namun lebih tepatnya, harus menghemat uang. Ingat jika dirinya sedang tertimpa musibah. Gheya tidak ingin boros, yang dapat menimbulkan dirinya sengsara.

Gheya pergi bekerja, setelah selesai mandi. Kini dirinya, berada dalam kedai kembali. Seperti biasa dia akan diam saja, menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya. Bicara pun yang penting-penting saja.

"Gheya, adon lagi iya kalau sudah habis." ujar perempuan paruh baya.

"Iya Bu." jawab Gheya.

Gheya mengadon tepung, lalu mencampurkannya dengan Masako. Setelah itu, dia memasukkan ke dalam kuali penggorengan.

"Kak, beli gorengan bakwannya sepuluh." ujar anak kecil.

Gheya tersenyum. "Sabar iya Dik, lagi digoreng."

"Iya Kak, tidak apa-apa." ujarnya.

"Duduk di kursi nah nunggunya. Masih lama lagi, proses gorengannya masak." Gheya menarik kursi.

Anak kecil tersebut duduk, melihat tangan Gheya yang bergerak. Beberapa menit kemudian, akhirnya gorengan sudah diangkat ke dalam tirisan. Gheya memasukkan sepuluh gorengan, ke dalam kantong plastik. Lalu setelahnya tangan kanan mulai bergerak untuk menyerahkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!