Pelarian Jiwa Raga
Sebuah peristiwa tak terduga, telah membuat hidup Gheya berantakan. Ada lembah neraka di lingkungan Gheya, harus sabar yang mana lagi untuk melewatinya. Merasakan broken home, belum lagi di luar rumah. Itulah setiap episode kehidupan Gheya, tidak pernah tanpa air mata.
Sendiri, sunyi, menatap sekeliling kosan. Ada rindu menjelma, tentang pembicaraan dengan kedua orangtua. Rasanya ingin menangis, namun air mata seakan sulit melampiaskan. Diam adalah satu-satunya cara, saat lidahnya tercekat dalam kerongkongan.
Gheya melihat ponselnya, ingin sesekali menghubungi temannya. Namun apalah daya hatinya kini dipenuhi ketidaksiapan, untuk bertemu siapapun yang dia kenal. Ketidaksiapan yang dimaksud di sini, adalah tentang dirinya masih terlihat sedih. Bahkan bisa dikatakan, sangat-sangat sedih. Gheya tidak ingin, menimbulkan pertanyaan kenapa.
Ruang hatinya berantakan, tidak tertata rapi. Bukan Gheya tidak ingin menghilangkannya, namun dia tidak mampu. Gheya ingin sesekali bahagia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dia sangat sedih.
Kalau sudah tidak dapat bertahan, memang ada baiknya pergi. Tempat di dunia ini tidak menyediakan satu-satunya. Asal Gheya mau berusaha, Gheya dapat berlari. Jiwanya perlu beristirahat, agar lebih tenang. Dia perlu waktu sendiri, sampai semua terasa baik-baik saja.
Jika jiwa ingin pergi, mustahil raga Gheya sanggup terdiam. Apapun, di mana pun, dan kapan pun, asalkan jangan lupa pada Tuhan. Gheya pasti akan tetap menjadi yang terbaik.
Gheya menelusuri jalan tanjakan di lorong kota. Semua peristiwa kesedihan benar-benar ingin dia lupakan. Tentang sekolah yang menancap lara belum usai, tentang rumah yang tidak dapat ditepis kerinduannya. Namun Gheya punya tiga masalah besar di kepala.
Setelah perjumpaan terakhir dengan ayah dan adiknya, masih ada rindu mengusik hatinya. Kini telinga damai, tidak ada keributan. Tangan kanan Gheya telah berhasil meraih kunci kos. Setelah dari tadi berjalan kaki, untuk membeli makanan dan minuman.
Sudah hari kedua, dan harusnya dia tidak akan merasa larut. Bukankah sedih terdapat kandungan racun pada air mata. Iya sangat berbeda, dengan air mata saat mengiris bawang. Kini Gheya bisa menumpahkan, segala banjir dari sudut matanya. Setelah dia tahan, dengan segala keremukan yang menjelma.
Bukan Gheya tidak kuat, sepertinya duka memang datang tanpa dipinta. Kini dia mengalami kecemasan sosial, begitu takut pada keramaian. Dia pun tidak tahu sebabnya, itulah yang sedang dirasakannya kini.
Setumpuk kenangan membunuh kebahagiaan, masih saja ada pengaruh yang membuatnya takut. Beberapa keadaan memang tidak bisa menyesuaikan, seperti apa yang kita pinta. Tentang rumah, yang terdapat kisah pilu. Tentang sekolah yang tidak mendapat keadilan.
Kini tidak ada pelarian jiwa dan raganya, selain kota yang padat itu. Gheya seakan menghilang dari zona nyaman, memilih terpuruk sendiri. Langkah-langkah kecilnya membawa diri, pada kedai yang menjual gorengan. Di sana dia kerja part time (paruh waktu).
"Gheya, kau layani pembeli dulu iya. Ibu mau pergi!" ujar perempuan paruh baya.
"Iya Bu." jawab Gheya.
Kendaraan berlalu lalang lewat di depan kedua bola matanya. Kini Gheya memberikan gorengan pada pria paruh baya, yang sedang bersama anaknya. Setelah usai membayar, pria itu pergi.
”Kenapa Tuhan menempatkan aku, pada posisi takdir terburuk ini. Jangan tanya kenapa Gheya, pasti alasannya hanya satu. Dia tahu kamu adalah orang yang kuat, atau mungkin ingin membuat dirimu menjadi lebih kuat lagi.” batin Gheya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mom Kay
Nich novel bagus amat, susunan kata-katanya sangat menyentuh. 😍
2022-03-21
3
Raya Andia
Wow, keren sekali!
2022-03-21
1
Indah Permata
Miris amat si Gheya
2022-03-21
4