Gheya melangkahkan kakinya, lalu Bilim berlari menyusulnya. Kini langkahnya sejajar dengan Gheya, dan memikirkan sebuah cara jitu.
"Gheya, kalau kau perlu bantuan katakan saja." ujar Bilim.
"Tidak ada." jawab Gheya.
"Jangan sungkan, aku siap membantu." ucap Bilim merayu.
"Pasti ada maunya 'kan, mengaku sajalah." jawab Gheya.
"Tidak peduli apapun yang sedang kau pikirkan. Intinya, kabari saja bila butuh bantuan." ujar Bilim.
"Oke, oke, kita lihat saja nanti." jawab Gheya.
”Semoga saja Gheya tidak sungkan, untuk meminta bantuan. Dengan begitu, aku akan memintanya datang ke wisuda. Bilim, Bilim, masih saja kau memikirkan mantanmu. Tujuanmu cuma apa coba, ingin membuatnya merasa cemburu.” batin Bilim, merasa heran dengan diri sendiri.
Bilim sekarang mendekati Gheya, hanya untuk berteman saja. Tidak ada maksud lain, yang lebih dari itu. Namun rasanya sangat nyaman, membuatnya ingin terus dekat. Tak berselang lama, akhirnya sampai di kedai gorengan.
"Kau mau beli gorengan apa?" tanya Gheya.
"Aku tidak mau beli gorengan, tapi kalau dikasih mau deh." Bilim nyengir.
"Siapa yang mau ngasih kamu. Ini bukan kedai milikku loh." ujar Gheya.
"Oh iya, iya. Aku paham kok." jawab Bilim.
Bilim mengambil tahu isi, bakwan, dan juga ubi goreng. Lalu setelahnya memberikan uang pembayaran.
"Terima kasih Bilim, semoga jadi langganan iya." ujar Gheya.
"Doakan saja, semoga rezeki nomplok." jawab Bilim.
Gheya hanya menganggukkan kepalanya, sambil bilang aamiin dalam hati. Lalu setelah itu, menatap sisa jejak Bilim. Orangnya sudah lama berlalu, tidak ada di sana lagi.
Apakah Gheya tidak boleh berharap, untuk tetap menjadi ranting yang kokoh. Ranting yang bisa nyaman, dengan tempat tinggalnya di batang pohon. Berharap banyak angin tidak akan menerpanya, menjatuhkan hingga remuk tak terkira.
"Gheya, siapa nama ayahmu?" tanya Asti.
"Ussim Handoko Bu." jawab Gheya.
"Nama Ibumu?" tanya Asti.
"Uniah." jawab Gheya.
Matahari telah meredup dari sinarnya, berganti menjadi di ufuk barat. Kini Gheya berjalan pulang ke arah kosannya, sebentar lagi hari akan petang. Tiba-tiba, ada yang mengambil ponselnya begitu saja.
"Hei anak kecil, kembalikan ponselku." pinta Gheya.
"Tidak mau, untuk apa memberikannya." jawab anak tersebut.
Gheya hendak merampasnya, namun anak kecil itu berlari lebih kencang. Belum sempat ditangkap, sudah hilang ntah kemana. Gheya benar-benar frustasi dibuatnya, apa lagi ponsel tersebut sangat penting.
"Hah, kemana aku harus mencarinya. Dengan ponsel tersebut, aku bisa menulis novel." Gheya merasa sedih.
Dia masih berusaha mencari, di balik lorong-lorong kecil. Namun, tetap tidak menemukan bocah tersebut. Dengan sangat terpaksa, dia kembali ke kosan. Gheya akan memikirkan caranya nanti, yang paling terpenting dia mandi dulu pikirnya.
"Eh Gheya, mengapa kau melamun?" tanya Bilim.
"Ada anak kecil, yang sudah mengambil ponselku." jawab Gheya.
"Aku akan berusaha menemukannya, jika kau mau membantuku." ujar Bilim.
"Disaat seperti ini, masih sempatnya kau meminta syarat." celetuk Gheya.
"Mau atau tidak?" tanya Bilim sekali lagi.
"Baiklah, katakan apa itu." jawab Gheya.
"Kau harus datang, ke acara wisuda di kampusku. Lalu, jangan lupa membawa bunga." pinta Bilim.
Gheya memikirkannya dengan baik-baik. "Aku setuju dengan kesepakatan ini."
Bilim bersemangat, dan segera berlari untuk melaksanakan tugas. Dia akan mencari anak kecil itu, lalu meminta ponselnya. Gheya hanya geleng-geleng kepala, melihat pria itu terlalu bersemangat.
”Bisa-bisanya terlibat kesepakatan dengannya. Gheya, Gheya, ada-ada saja hidupmu.” batinnya bergumam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments