Gheya teringat lagi, akan fitnah para manusia tidak bertanggungjawab. Bagaimana mereka mengolok-olok Gheya, hingga membuatnya pergi dari rumah. Semua berawal dari kejadian di sekolah, yang membuat dunia salah paham padanya.
"Jangan pedulikan omongan orang, lihatlah kau sudah kusut begitu. Sejak awal aku tahu, bahwa kau ada masalah. Meski tindakanmu, tidak terlihat mencolok sama sekali." ujar Asti.
"Tidak apa-apa Bu, kehidupan memang begitu." jawab Gheya.
Masih saja dia menutupi, enggan untuk memberitahu sekitarnya. Tidak tahu mengapa, rasanya bicara terasa percuma. Namun jika diam terus dirinya tersiksa, dengan sabar yang terasa menyakitkan.
Gheya melangkahkan kakinya untuk membeli makanan, sudah waktunya untuk makan siang. Waktu memang berjalan tanpa terasa, melewati peredaran sang mentari. Hari-hari memang terasa singkat, jika disibukkan dengan aktivitas.
"Bang, beli batagor siomaynya satu iya." ujar Gheya.
"Iya, pakai telur atau tidak?" jawabnya ramah.
"Iya, pakai telur." ujar Gheya.
"Tunggu sebentar, aku buatkan dulu." jawabnya, dengan santai.
Gheya duduk di kursi, sementara menunggu makanan dibuatkan. Beberapa menit kemudian, pesanan sudah siap. Gheya kembali ke kedai gorengan, lalu menawari ibu Asti makan.
"Mau batagor tidak Ibu?" tawar Gheya, dengan ramah.
"Boleh, boleh, cicip satu sendok iya." Ibu Asti mengambil sendok.
Asti meneruskan ucapannya. "Hmm... enak juga Gheya. Beli di tempat Kang Upri iya?"
"Hmmm... tidak tahu Bu, yang penting cuma beli." Gheya nyengir.
"Yang paling penting mengisi perut iya." ujar Asti.
"Iya. Aku sampai tidak terpikir, untuk bertanya namanya." jawab Gheya.
Gheya sudah selesai makan, setelah beberapa menit dalam keadaan mengunyah. Kini dia melanjutkan aktivitas kembali, yaitu berjualan gorengan sampai habis.
Hari sudah semakin sore, waktunya Gheya kembali ke kosan. Sampai di tempat tinggalnya tersebut, Gheya membalas pesan dari temannya. Tidak lupa pula meladeni adiknya, yang mengirimkan pesan padanya.
"Adik, Kakak rindu! Ingin rasanya main bulu tangkis lagi." Gheya mengusap-usap layar ponselnya.
Suara motor penghuni kos yang masuk, memang biasa saja. Namun tawa cekikikan dari mereka, yang membuat Gheya tidak nyaman. Ntah mengapa, dari awal Gheya tidak tenang. Malas bersama dengan orang-orang, yang terlalu banyak bicara.
”Aku tidak merasa nyaman di sini. Rasanya risih sekali, benar-benar ingin sendirian saja.” batin Gheya.
Mereka tepat tinggal di sebelah kamar Gheya. Tentu saja suaranya akan terdengar di telinga. Sedangkan orang yang berseberangan dengan pintu kamar Gheya, lebih terlihat cuek dan diam. Terasa lebih nyaman saja, untuk dirinya yang ingin menyendiri.
Dia melihat ke arah langit-langit kamar, yang benar-benar polos tanpa sketsa. Lama-lama Gheya tertidur juga, setelah memilih mengacuhkannya. Hari sudah pagi, tanpa terdengar ayam berkokok.
"Bangun Gheya, ayo semangat! Waktunya untuk kerja lagi." monolog Gheya.
Hari ini Gheya mengenakan baju berwarna hitam, dengan motif bunga-bunga. Tidak lupa pula, mengenakan setelan rok hitam. Bersamaan dengan itu, Bilim keluar dari rumahnya.
"Gheya, kau cantik hari ini." puji Bilim.
"Sorry, tidak ada uang recehan." Gheya menjawab santai.
"Yaelah, bukan pengamen kali!" ucap Bilim.
"Makanya, jangan gombalin anak orang." jawab Gheya.
"Bukan gombal, itu benaran pujian." ujar Bilim.
"Oh gitu iya." jawab Gheya, yang memilih bicara ala kadarnya.
Dengan melempar kalimat gitu, mungkin memperpendek basa-basi pujian. Bukannya terbang, namun merasa muak sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments