Pria bernama Ardi itu terlihat sendu, keputusasaan sangat tergambar jelas di paras tampannya. Ia hanya bisa menghela nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, berharap rasa sesak di dadanya sedikit menguar meski tetap saja tak merubah apapun. Sepertinya takdir belum berpihak pada cintanya, ia harus bersabar kembali melepas cintanya, dan yang menjadi sesalnya adalah, salah satu penyebab perempuan yang di cintainya memutuskan untuk pergi adalah umminya sendiri, perempuan yang sama-sama berharga untuknya.
"Nak, biar ummi menemui Wafa untuk meminta maaf yah". Saran ummi.
"Tidak ummi, biarkan saja dia pergi. Sepertinya aku harus belajar ikhlas kembali. Jika kami berjodoh, sejauh apapun jarak menghalangi kami, kemanapun dia pergi dan dimana pun dia berada, kita akan tetap bertemu atas ijin Allah. Takdir akan mempertemukan kami kembali di waktu yang tepat dan tempat yang baik, dan aku hanya bisa berharap, suatu saat nanti aku bisa mengubah pedihnya dengan kebahagiaan".
Ummi mengangguk pasrah, ia pun tak bisa apa-apa. Ia hanya bisa merenungi kesalahannya. Tanpa sengaja ia melukai putranya sendiri.
Ardi pun hanya bisa pasrah, karena ia sangat tahu, Wafa perempuan yang berpendirian teguh alias keras kepala. Sekeras apapun Ardi melarang, Wafa tidak akan mengubah keputusannya. Apalagi Ardi belum punyak hak untuk melarang Wafa, statusnya saja belum jelas.
Ardi berpamitan pada ummi pergi ke kamarnya, ia ingin beristirahat sejenak menghilangkan beban dan sesak dalam dadanya.
💜💜💜
Wafa tengah duduk di teras belakang rumah, pemandangan sawah hijau membentang luas menjadi penyegar matanya, sore hari yang cerah di tengah hati yang di liputi awan mendung.
Angin semilir menerpa permukaan kulitnya, sangat segar membuat Wafa memejamkan matanya untuk lebih menikmati dan bersyukur karena masih di beri kesempatan untuk merasakan nikmatnya angin yang menyejukkan.
"Nduk, udah sore. Masuk nak". Suara ibu dari arah dapur membuat Wafa membuka matanya.
"Sebentar lagi Bu, besok aku tidak akan bisa lagi merasakan angin ini, angin di kota kelahiran ku". Lirih Wafa.
Jika saja semua orang bisa mengerti dan menerimanya beserta statusnya yang baru, ia juga tidak akan meninggalkan kota kesayangannya itu. Setiap hari ia kan menghirup udara segar di kampungnya yang asri, tapi sayangnya, tak semua orang dapat menerimanya. Dan dari pada menumpuk luka di atas luka yang masih basah, ia memilih pergi untuk menyembuhkan lukanya.
Katakan ia lari, ia tak menampik itu. Ia memang ingin lari untuk menyembuhkan hatinya. Untuk melanjutkan hidup mencari kebahagiaannya sendiri.
Di tengah lamunanya, seseorang yang duduk di sebelahnya membuatnya menoleh, dengan senyuman ia menyapa, meski tak semanis senyum ketika ia tengah bahagia dan hatinya baik-baik saja. "Ada apa Rin??" Tanyanya
Arini menunduk, ia merasa sangat berdosa pada sang kakak. Ia malu karena telah membuat kakak satu-satunya itu terluka karena keputusan bodohnya.
"Mas Ardi udah kesini mbak??"
Wafa mengangguk, "kenapa kamu memberitahunya kalau mbak akan pergi dek? Mbak gak mau dia terus terkena masalah karena mbak".
"Mas Ardi mencintai kamu mbak, aku hanya ingin dia bisa membahagiakan mbak".
"Kenapa kamu gak tanya sama mbak, apakah mbak suka atau tidak padanya? Arin, mbak berterima kasih sekali karena kamu perhatian ke mbak. Tapi mbak mohon, cukup mengambil keputusan tentang mbak tanpa sepengetahuan mbak. Mbak akan memutuskan sendiri apa yang baik dan enggak buat mbak. Kamu harus belajar dari masalah kemarin dek, keputusan kamu belum tentu berbuah baik ke depannya. Putuskan sesuatu untuk hidup kamu sendiri, insyaallah, mbak juga punya kaki untuk melangkah sendiri".
Arini semakin menunduk, iya, dia terlalu memikirkan kebahagiaan kakaknya, namun tanpa ia sadari, ia terlalu menyetir keputusan bahkan tanpa sepengetahuan sang kakak. Ia melupakan satu hal, baik menurutnya belum tentu baik menurut orang lain, cocok menurutnya belum tentu cocok untuk orang lain. Karena ke so' tahuannya, kehidupan kakaknya nyaris hancur.
"Maafkan aku mbak". Lirihnya, gadis itu terisak. Wafa mengusap lengannya seraya tersenyum .
"Kamu gak salah dek, mbak tahu, kamu melakukan itu karena kamu memikirkan kebahagiaan mbak, tapi percayalah, mbak akan berusaha mengatur hidup mbak sendiri. Dan fikirkan juga kebahagiaan kamu sendiri dek".
Wafa beranjak, meninggalkan Arini yang masih duduk terisak. Ia tak membenci Arini, ia hanya sedikit kecewa pada adiknya.
💜💜💜
Pagi-pagi sekali, Wafa sudah bersiap. Kopernya pun sudah berada di ruang tamu. Mobil travel yang ia pesan dua hari yang lalu akan segera datang, sang sopir memberi kabar jika sekitar tiga puluh menit lagi mobilnya akan tiba di rumahnya.
"Nduk, jaga diri baik-baik yah. Kabari kami jika kamu sudah sampai di kota." Bapak mengusap puncak kepala Wafa yang tertutup pashmina hitam. Kesedihan terpancar jelas di matanya.
"Iya nduk, kabari kami selalu. Apapun yang terjadi, berbagilah pada ibu dan bapak". Timpal ibu, mereka tak mau jika karena ketidak tahuan mereka tentang kabar sang putri akan membuat mereka di dera rasa bersalah seperti halnya masalah kemarin.
"Ibu dan bapak tenang saja, Wafa akan baik-baik saja di sana. Dan Wafa akan selalu mengabari kalian".
Arini tampak diam, ia terlalu malu hanya untuk sekedar berucap selamat tinggal sekali pun.
Suara langkah kaki memburu dari luar membuat mereka saling menoleh dalam diam. Dan suara salam setelahnya membuat mereka tahu siapa pemilik langkah memburu itu.
"Assalamualaikum". Ardi mengetuk pintu di hadapannya, berharap Wafa-nya belum pergi. Banyak kata yang ia rangkai menjadi kalimat untuk mengantar kepergian perempuan yang sangat di cintainya itu. Ia cukup sadar diri dengan tak melarang Wafa pergi, ia hanya ingin menyampaikan kalimat indah sebelum ia melepas Wafa. Ia memang harus kembali ikhlas dan bersabar untuk menunggu takdir Allah menuntun mereka bertemu di waktu yang tepat dan tempat yang lebih indah.
"Waalaikumsalam" Jawab mereka serempak dengan mata yang saling memandang satu sama lain.
Wafa beranjak membukakan pintu, mata mereka sempat bersilang pandang beberapa detik sebelum akhirnya Wafa membuka pintunya dengan lebar dan mempersilahkan Ardi untuk masuk.
"Masuk Ar".
Ardi mengangguk, hal pertama yang ia lihat adalah sebuah koper. Kemudian ibu, ayah dan Arini berpamitan, meninggalkan Ardi dan Wafa dan memberikan waktu untuk mereka berdua saling berbicara dari hati ke hati.
"Tidak bisakah kamu merubah fikiran mu??" Pertanyaan pertama terlontar dari Ardi setelah keduanya duduk.
Wafa menggelengkan kepalanya, "maaf Ar, keputusan ku sudah bulat".
"Kamu gak ngasih aku kesempatan buat memulai Fa".
"Maaf.."
Hanya kata itu yang Wafa ucapkan, ia tahu ia melukai Ardi. Tapi Ardi pria baik, dia harus mendapatkan yang terbaik juga, dan itu bukan dirinya. seperti yang sang ummi katakan pada Wafa, Ardi berhak mendapatkan yang terbaik. "Maafkan aku Ar".
"Aku akan bersabar menunggu mu kembali Fa".
"Jangan tunggu aku, carilah kebahagiaan kamu sendiri".
"Kebahagiaan ku kamu Fa".
"Bukan Ar, aku hanya akan menjadi masalah buat kamu. Bukan perempuan seperti ku yang pantas mendampingi kamu, lupakan cinta kamu, kita masih bisa bersahabat. Bukankah itu lebih indah??"
Ardi menghela nafas dalam, dadanya semakin sesak. Tapi ia pun tak bisa apa-apa selain mengangguk pasrah. "Berbahagialah Wafa, aku selalu mendoakan mu".
"Terima kasih Ar, kamu sahabat terbaik aku".
GUYS JAN LUPA JEJAK JEMPOLNYA TINGGALIN. LIKE KOMEN DAN JADIKAN CERITA INI CERITA FAVORIT KALIAN DENGAN CARA PENCET AJA TOMBOL LOVE DI AKHIR BAB..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Agustina Kusuma Dewi
muna deh.. tuh arin
2023-09-29
0
Eri Fitriati
Kalo aku jadi Wafa aku sleding tuh adiknya sok tau banget
2022-10-13
0
Alung Ss
lanjur.....sy suka...
2022-01-14
1