Menempuh perjalanan hampir seharian membuat Wafa merasa sangat lelah.
Wafa tersenyum getir saat menapaki tanah kelahirannya, Malang. Udara di kota itu sangat sejuk, berbeda jauh dengan udara di ibu kota yang terkadang panas ekstrim.
Menikah dengan Fahmi membuatnya harus rela meninggalkan kota kelahirannya sendiri, kota sejuta kenangan dari mulai ia lahir hingga berusia dua puluh lima tahun. Fahmi saat itu tengah bekerja di salah satu pabrik di ibu kota, namun karena ada PHK besar-besaran, namanya termasuk ke dalam list karyawan yang harus berhenti paksa. Dari situlah perubahan sikap Fahmi mulai terlihat.
Wafa melangkah pelan mencari angkutan umum yang akan membawanya dari terminal bus itu ke desanya. Wafa memang sengaja memilih bus agar bisa memperingan pengeluarannya.
Ia hirup udara kota kelahirannya itu dalam-dalam, masih sama dari sejak lima bulan lalu ia tinggalkan, suasananya juga tak jauh berbeda dari dulu.
Setelah mendapati angkutan umum yang ia cari, ia segera menaikinya. Hari mulai gelap, cahaya senja mulai terlihat. Sesekali Wafa tersenyum ramah saat ada seseorang yang menyapa atau sekedar memberikan senyuman.
Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya Wafa memasuki daerah perkampungannya. Adzan Maghrib terdengar berkumandang, merdu mengalun memanggil ummatnya untuk meninggalkan aktifitasnya dan bersiap menghadap sang Kholiq.
"Terima kasih pak". Kata Wafa, ia menerima kembalian uang yang di berikan oleh supir angkot yang ternyata mengenal sang bapak, saat Wafa menyebutkan alamatnya, tak di sangka supir angkot itu menceritakan jika ia mengenal bapak Wafa karena dulu satu sekolah dasar di sekolah yang sama.
Lampu-lampu rumah penduduk mulai menyala saat Wafa melewatinya, berjarak sekitar 500 meter dari jalan ke rumah sederhana Wafa.
Rumah bercat cream sederhana menjadi tujuannya, rumah sederhana saksi pertumbuhan Wafa hingga menikah dan meninggalkan kampung halamannya.
"Assalamualaikum Bu, pak".
"Waalaikumsalam, sebentar". Suara seseorang menyahut dari dalam sana, suara adik perempuan satu-satunya yang kini berusia sembilan belas tahun, Arini. Gadis cantik dengan hijab instan berwarna hitam itu terlihat manis dengan lesung pipi di kedua pipinya saat ia tersenyum.
Pintu terbuka, Arini tak terkejut dengan kedatangannya, gadis itu sudah tahu kepulangan sang kakak dari ibunya.
"Assalamualaikum dek". Wafa tersenyum senang.
"Waalaikumsalam mbak, masuk mbak, ibu sama bapak lagi sholat Maghrib".
"Kamu gak sholat dek?".
"Aku lagi libur mbak, biasa tamu bulanan".
Wafa duduk di kursi sederhana yang terdapat di ruangan itu, ruangan tamu sekaligus ruang televisi. Pandangannya beredar ke sekitar, rumah ini masih sama, masih tetap seperti dulu.
"Aku buatin minum ya mbak, mbak mau apa?".
"Teh tawar aja dek".
"Siiip, tunggu ya mbak".
Wafa mengangguk, "mbak ke kamar dulu ya dek, mau sholat maghtib. Tehnya simpan aja di sini".
"Iya mbak".
Wafa menghela nafas panjang untuk menata hati untuk menceritakan masalah rumah tangganya pada ke dua orang tuanya.
Beberapa menit kemudian, di tengah perbincangan ringan antara dirinya dan sang adik, Wafa menoleh saat ke dua orang tuanya keluar dari kamar dan datang menghampirinya.
Wafa berdiri menghambur ke dalam pelukan sang ibu. Selain merasa rindu pada perempuan yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu, ia juga butuh dekapan hangatnya untuk menguatkan hatinya. Bau harum khas seorang ibu mampu membuat Wafa nyaman dan lebih tenang. Ia menyeka air mata yang mengalir di pipinya, kemudian mencium tangan sang ibu juga bapak secara bergantian.
Setelah di rasa cukup tenang, ibu membawa Wafa duduk di kursi. Wajah teduh perempuan tua itu membuat Wafa tak tega jika harus menceritakan masalah rumah tangganya, di tambah lagi, bapak terlihat tak baik-baik saja.
"Ada apa sebenarnya nduk? Kenapa tiba-tiba bapak sama ibu mendengar kabar buruk tentang rumah tangga mu?". Tanya bapak.
"Maafkan aku Bu, pak, sebenarnya ini bukan hal baru. Rumah tangga ku sudah dari tiga bulan yang lalu bermasalah, tapi aku tidak pernah menceritakan masalah ini pada siapa pun. Aku malu pak, Bu".
Ibu, bapak dan Arini saling menatap dalam diam, bersiap untuk mendengarkan keluh kesah Wafa.
"Aku mencoba bertahan selama tiga bulan ini, tapi mas Fahmi tidak pernah berniat memperbaiki dirinya. Aku tidak masalah jika dia tidak memberikan ku nafkah, tapi dia bermain wanita Bu, bahkan di hadapan ku sendiri. Dia mabuk-mabukan, judi dan jarang pulang. Dari kalah judi aku harus membayar hutang-hutangnya, rasanya aku tidak kuat lagi pak, bu". Wafa terisak, ia menunduk dalam. Kecewa pada dirinya sendiri yang malah memberikan luka pada hati kedua orang tuanya.
"Apa masalah dasarnya nduk? Semua pasti ada sebabnya, tidak mungkin dia berbuat seperti itu tanpa sebab. Apa kamu sudah membicarakan ini baik-baik pada suami mu? Bertanya dengan kepala yang dingin?".
Wafa mengangguk. "Sudah, aku sudah mencoba berkali-kali mengajaknya berbicara, tapi ujung-ujungnya pertengkaran pak. Mas Fahmi bahkan tidak segan-segan memukul ku".
"Astaghfirullah ya Allah, kenapa seburuk ini nasib mu nduk?". Ibu menangis, mengusap puncak kepala Wafa dengan lembut, sorot matanya menampakan luka.
"Maafkan aku yang membuat bapak dan ibu kecewa, aku sudah memutuskan untuk berpisah dari mas Fahmi".
Bapak dan ibu kembali di buat terkejut, pernikahan Wafa baru seumur jagung, tapi putrinya itu sudah mutuskan untuk berpisah.
"Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik? Bapak ingin mendengar dulu penjelasan dari Fahmi. Jangan tersinggung nduk, bapak janua tidak mau mendengar penjelasan dari sebelah pihak saja. Kalau masih bisa di bicarakan, sebaiknya kita bicarakan dulu. Perceraian ituemang di bolehkan nduk, tapi Allah tidak menyukainya".
"Aku tahu pak, tapi aku sudah gak sanggup. Apa air mata aku tidak cukup meyakinkan bapak betapa aku tersakitinya pak??". Wafa semakin terisak, sesekali ia menghapus air matanya sendiri dengan punggung tangannya. Tubuhnya semakin bergetar akibat tangisan yang tak juga mereda.
Bapak terdiam, ia tahu Wafa tidak akan mungkin berbohong, apalagi ini menyangkut pernikahan, perjanjian yang bukan hanya terjalin dengan para manusia saja, tapi juga terjalin langsung denga Allah.
"Baiklah nduk, kamu yang menjalaninya, bapak akan mendukung apapun keputusan kamu. Besok bapak akan menghubungi Fahmi, supaya dia datang ke sini dan membereskan semuanya".
"Terima kasih pak, Bu".
Malam itu, suasananya begitu mengharukan, menyedihkan juga penuh dengan kegelisahan. Wafa telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya, memulai kehidupan yang baru tanpa ia tahu kehidupannya akan seperti apa nantinya. Ia mengesampingkan fikirannya tentang gunjingan orang yang sudah pasti akan ia terima nantinya. Wafa ingin mengakhiri semuanya, ia sudah tidak sanggup menerima perlakuan buruk dari seorang pria yang berstatus sebagai suaminya, pria yang menikahinya lima bulan yang lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Alung Ss
lanjut thor...
2022-01-13
1
Arieee
💪💪💪💪💪💪💪
2022-01-13
1