Setelah keadaan bapak semakin membaik, Wafa meminta Fahmi datang kembali ke rumahnya, ia ingin segera membereskan masalahnya agar tak berlarut-larut.
Malam ini mereka tampak berkumpul di ruang tamu, bapak menyerahkan semua keputusannya pada Wafa, ia pun bingung harus bersikap seperti apa pada ke dua putrinya.
"Aku ingin semuanya selesai makan ini juga pak, Bu". Lirih Wafa, ia sudah lelah menangisi kebodohannya, ia malu pada dirinya sendiri, dengan percaya dirinya ia meyakini bahwa suaminya mencintainya, namun ternyata pria itu mencintai wanita lain. Dan mirisnya, wanita itu adalah adiknya sendiri. Ia di jadikan batu loncatan sebelum pria itu benar-benar memiliki adiknya.
Wafa sama sekali tak menatap Fahmi, ia mengalihkan pandangannya pada apapun selain pada pria itu dan pada adiknya. Ia tak marah, ia hanya kecewa. Ketidakjujuran keduanya berakhir dengan sebuah luka untuknya.
"Silahkan nak Fahmi, kamu bisa menjatuhkan talaq mu malam ini juga. Sepertinya putri bapak sudah ikhlas".
Sorot kekecewaan di mata teduh pria tua itu membuat Fahmi merasa bersalah. Ia memang bodoh, akibat rencananya semua orang jadi terluka.
"Wafa Az-Zahra, saya Fahmi, menjatuhkan talaq satu pada mu. Dan mulai malam ini, kamu bukan lagi istriku". Ucapan talaq itu akhirnya meluncur dari bibirnya, entah mengapa tubuhnya bergetar saat kalimat itu terlontar.
Wafa tersenyum miris, pernikahan yang baru seumur jagung itu harus kandas. Impiannya dan harapannya hancur seiring kalimat talaq yang baru saja di ucapkan oleh Fahmi.
"Aku ingin kamu mengurus semuanya Fahmi, urus agar perceraian kita bisa sah di mata hukum". Ucap Wafa, ia beranjak dari duduknya kemudian memasuki kamarnya.
Sekuat apapun Wafa menahannya, tetap saja rasanya sakit. Ia mencintai Fahmi, sangat mencintainya, tapi kenyataan mengejutkan ia terima dari kejujuran pria itu. Air matanya kembali mengalir, seolah tak ada habisnya meski setiap hari keluar tanpa permisi.
Arini hendak pergi menyusul Wafa, ia sangat merasa bersalah telah melukai kakaknya. Ia kira dengan mengalah akan membuat kakaknya bahagia, tapi ternyata sebaliknya. Ia ikut andil dalam menorehkan luka bathin pada Wafa.
"Nduk, biarkan mbak mu sendiri dulu. Dia butuh waktu". Bapak menahan Arini agar tak menemui Wafa terlebih dahulu, hingga Wafa tenang dan dapat menerima kepahitan yang baru saja harus ia telan paksa.
"Tapi aku mau minta maaf pak, aku juga bersalah dalam hal ini". Ujar Arini.
"Tidak sekarang nduk, berikan mbak mu waktu untuk menenangkan dirinya. Mengertilah posisinya nduk".
Arini mengangguk pasrah, ia tertunduk seraya terisak. Pakar masalahnya adalah dirinya, jika saja ia dan Fahmi tidak saling mencintai, jika saja dari dulu ia jujur, jika saja Fahmi tak ada di antara dirinya dan sang kakak, jika saja, jika saja, kalimat andai-andai itu terus bercokol dalam benaknya, sebagai bentuk penyesalan akan masalah yang menimpa Wafa. Namun sekarang nadi sudah menjadi bubur, jika pun ia menyesal, semuanya sudah terlanjur terjadi.
Begitu pun dengan Fahmi, ia menunduk dalam. Ia menyesali kebodohannya merencanakan hal konyol yang berakibat menyakiti semua orang. Terutama ibu dan bapak, ia hidup sebatang kara, sejak menikah dengan Wafa, ia kembali dapat merasakan kasih sayang orang tua yang sejak berusia lima belas tahun tak di rasakannya. Bapak dan ibu memperlakukannya dengan sangat baik, menganggapnya sebagai putra. Wafa pun demikian, perempuan itu sangat menghormatinya, sangat menyayanginya, sangat mencintainya, sangat memuliakannya, sangat memprioritaskannya. Namun kesalahannya membuat mereka yang menyayanginya tersakiti, cinta membuatnya buta akan kasih sayang yang di dapatkannya selama ini.
❤️❤️❤️❤️
Tiga hari sudah Wafa mengurung dirinya di dalam kamar dari sejak Fahmi menjatuhkan talaq padanya. Kabar itu mulai menyebar di kampung itu, sebagian tetangga ada yang menanyakannya langsung pada bapak dan ibu, sebagian lagi ada yang berbisik-bisik di belakang dan ada yang terang-terangan menyindir.
Di kampung itu perceraian masih di anggap tabu, apalagi usia pernikahan Wafa masih seumur jagung, hal itu menjadi bahan empuk omongan orang.
Pagi ini, rumah bapak dan ibu kedatangan tamu. Ardi teman masa kecil Wafa yang baru saja lulus kuliah di Yaman. Pria bernama Ardian itu telah mendengar kabar perceraian Wafa, bahkan di pernikahannya saja Ardi tak bisa hadir, dan tak lama terdengar kabar tak mengenakan ini.
"Sebentar nak Ardi, ibu panggilkan Wafa yah".
Ibu mempersilahkan Ardi untuk duduk, kemudian ibu meninggalkan pemuda tampan itu ke kamar putrinya.
"Nduk, ibu masuk yah". Ucap ibu di balik pintu yang masih tertutup.
"Masuk aja Bu" .
Wafa tampak tengah duduk di depan meja riasnya, menyisir rambut panjangnya yang terlihat sedikit berantakan. Tatapan perempuan itu masih kosong, menyembunyikan luka dari hatinya yang tersayat.
"Nduk, ada nak Ardi di luar. Kamu gak mau menemuinya? Ibu yakin kamu tahu kedatangannya".
"Wafa belum siap bertemu siapa pun Bu".
"Sampai kapan nduk? Hidup harus terus berjalan bukan? Kamu itu tahu persis, jika berjalan melangkah itu ke depan, tidak ada orang yang ingin berjalan mundur. Begitu pun dengan kehidupan kamu sekarang nduk, ini adalah pilihan mu. Maka berjalanlah terus ke depan, jangan mau mundur terus ke belakang nduk".
Wafa terdiam, sebenarnya ia juga butuh seorang teman untuk ia jadikan tempat berkeluh kesah, tapi pada siapa? Ardi? Ardi memang sahabatnya, tapi haruskah ia menceritakan aibnya pada pria itu?.
"Temui dia nduk, dia menunggu mu".
Perlahan Wafa mengangguk. "Wafa pakai jilbab dulu Bu".
Ibu mengangguk, ia memperhatikan putrinya yang tengah menggelung rambut panjangnya, kemudian memakai jilbab instan rumahannya. "Kamu cantik nduk, kamu juga taat beribadah, nurut sama orang tua. Tapi kenapa nasib mu buruk, ibu yakin suatu saat nanti akan ada seseorang yang benar-benar mencintai kamu dan memperlakukan kamu seperti ratu nduk". Batin ibu.
"Kenapa liatin Wafa kaya gitu toh Bu? Wafa jadi malu".
"Ibu hanya sedang memuji kecantikan putri ibu ini, sangat ayu, teduh di pandang".
"Tapi sayangnya di sia-siakan ya Bu??". Wafa terkekeh, meski hatinya teramat sakit, ia selalu mencoba tersenyum sekedar untuk menunjukan pada kedua orang tuanya bahwa ia kuat dan mampu menjalaninya dengan baik-baik saja.
Ibu tersenyum, mengusap pipi sang putri kemudian menggandengnya ke luar kamar.
"Assalamualaikum Ar". Ucap Wafa.
Ardi mendongak, mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke arah perempuan cantik yang menjadi sahabatnya sejak dulu. Suaranya masih lembut, wajahnya masih teduh, sorot matanya masih syahdu, bibirnya masih ranum merekah membentuk senyuman lembut. Ah Ardi di buat terpana oleh penampilan sederhana Wafa namun terlihat istimewa.
"Waalaikumsalam Wafa, kamu gak berubah yah, tetap Wafa ku yang dulu, sahabat aku yang paling lembut".
Ibu berdehem, perempuan tua itu menangkap tatapan yang lain dari sorot mata Ardi.
"Kamu juga gak berubah, masih ganteng, masih tinggi tapi jurusan". Kekeh Wafa.
"Iyalah masih tinggi, masa iya aku tumbuh pendek, tumbuh itu kan ke atas, gak ke samping kaya kamu".
"Enak aja, aku gak gendut yah. Cuma sedikit melebar aja".
Ardi tertawa, membuat ibu yang masih di sana juga ikut tertawa. Sedangkan Wafa, perempuan itu mencebikkan bibirnya dengan kesal.
"Jahat banget sih, komplotan ngetawain aku".
"Sudah-sudah, ibu jadi pengen pipis gara-gara tertawa. Ibu ke belakang dulu ya nak Ardi".
"Iya Bu, Monggo".
Wafa dan Ardi saling menatap, mereka terlihat sama-sama menahan tawa.
"Kapan kamu pulang dari Yaman Ar??".
"Baru kemarin, sebenarnya semalam aku mau ke sini, tapi gak enak sama bapak sama ibu."
"Sejak kapan kamu gak enakan kaya gitu? Biasanya nyelonong aja kan??".
"Beda lah Fa, aku gak mau ada fitnah".
"Apalagi aku sekarang janda ya Ar, pasti jadi sasaran empuk para ibu-ibu buat bergosip".
"Gak gitu maksud aku Fa, aku gak pernah mempermasalahkan hal itu. Justru aku lebih menghargai kamu, makanya aku gak jadi datang semalam, kamu tuh tetap istimewa buat aku Fa, tetap Wafa yang dulu".
"Itu kenyataannya Ar, makanya aku gak berani keluar rumah, aku belum siap menerima ketajaman ucapan mereka".
"Mereka gak tahu seberapa istimewa dan berharganya kamu Fa, jika mereka tahu, mereka pasti akan mengerti kenapa kamu mengambil keputusan ini".
"Tapi aku gak merasa seperti itu Ar, kalau aku berharga, gak mungkin suami aku, maksud aku mantan suami aku memperlakukan aku seperti ini".
"Dia buta Fa, dia tidak bisa melihat betapa bersinarnya kamu. Kalau aku jadi dia, aku akan sangat bersyukur mempunyai kamu, aku gak akan pernah menyia-nyiakan kamu. Karena kamu terlalu berharga untuk di sia-siakan."
"Betul itu nduk, nak Ardi aja tahu kamu itu sangat berharga. Jangan berkecil hati nduk, jalan kamu masih panjang toh? Masih banyak impian yang harus kamu raih dari pada menyia-nyiakan waktu kamu untuk meratapi nasib". Ibu yang mendengar percakapan antara Wafa dan Ardi ikut menimpali, ia meletakan gelas berisi teh manis itu di atas meja. "Di minum dulu nak Ardi". Ucap ibu.
"Terima kasih Bu".
Ibu mengangguk, percakapan itu berlanjut lebih hangat. Wafa merasa sedikit terhibur dan termotivasi dari semangat yang Ardi berikan. Wafa akan belajar ikhlas mulai saat ini, ia juga akan bangkit perlahan-lahan meneruskan hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Eri Fitriati
Yang salah ya Arini sok sok an berkorban.
Yang bodoh Fahmi mau2nya disuruh Arini nikahin kakaknya
2022-10-13
1
Arieee
💪💪💪💪💪💪
2022-01-13
1
Aty Ayu
bnr2 cinta yg rumit
2022-01-08
1