PERNIKAHAN KE DUA
PRANG..
Bunyi yang berasal dari barang pecah belah yang di lempar terdengar memekakan telinga di sebuah rumah sederhana bercat putih tanpa pagar itu.
Sudah menjadi hal biasa bagi para tetangga mendengar suara-suara berisik barang terlempar atau teriakan sang penghuni rumah. Mereka pun tak ada yang berani ikut campur perihal masalah rumah tangga seorang perempuan yang bernama Wafa azzahra, muslimah berusia dua puluh lima tahun yang menikah lima bulan yang lalu dengan seorang pria bernama Fahmi.
Pertengkaran itu kerap muncul setelah dua bulan mereka menikah, entah karena masalah ekonomi, mabuk-mabukan atau perselingkuhan yang dilakukan Fahmi. Wafa sendiri tak menyangka jika pria yang ia kenal pendiam dan alim ternyata memiliki sisi berbeda dengan kenyataan yang baru ia ketahui setelah mereka menikah. Waktu perkenalan dan pertemanan selama dua tahun nyatanya tak cukup lama untuk seorang Wafa mengenal pribadi pria itu. Jangan melihat dan menilai seseorang dari luarnya saja ternyata benar adanya, pria itu terlihat alim, pendiam, sopan dan ramah. Faktanya berbanding terbalik, Fahmi menjadi sosok pria pemarah, egois, pengekang, pemabuk dan doyan berganti pasangan.
Kesalahan sekecil apapun yang dilakukan Wafa akan menjadi malapetaka untuknya, berakhir dengan pertengkaran dan penyiksaan.
"Kenapa kamu seperti ini mas? Apa salah ku pada mu? Bahkan aku tidak pernah menuntut nafkah pada mu."
Wafa memang tulang rusuk, tapi dalam pernikahan ini dia menjadi tulang punggung yang membiayai kehidupannya sehari-hari, tak tanggung-tanggung, hutang Fahmi pun menjadi tanggungannya.
"DIAM SIALAN!!". Teriakan Fahmi membuat Wafa terdiam, tubuhnya bergetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena untuk kesekian kalinya ia merasa terluka atas perlakuan suaminya.
Wafa memutuskan menerima pinangan Fahmi karena pria itu berhasil meyakinkan ke dua orang tuanya dengan segala mulut manisnya.
Di awal pernikahan semuanya normal, Fahmi memperlakukan Wafa dengan sangat baik, namun dua bulan kemudian semuanya berubah, Fahmi menjelma menjadi monster berwujud manusia yang tak segan menyakiti Wafa walau letak kesalahan ada padanya.
Seperti hari ini, pria itu kepergok selingkuh dengan salah satu tetangga di tempat mereka tinggal. Bukannya meminta maaf, pria itu justru menyalahkan Wafa dan menghina Wafa di hadapan perempuan yang tengah ia kencani.
"Kenapa kamu selalu menyakitiku mas? Apa kurang ku padamu? Jika cinta tak ada lagi dalam hati mu, maka lepaskan aku, biarkan aku pergi. Jangan menyiksa ku lahir dan batin mas, aku tidak sanggup". Wafa berkata lirih, air matanya terus mengalir.
Ia menatap Fahmi yang diam tak menjawab, kali ini tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri pernikahannya. Bukan hanya sekali ini saja fahmi kedapatan berselingkuh, tapi ini sudah yang ke empat kalinya, dan jika Wafa bertanya, Fahmi akan marah dan berakhir dengan menghina Wafa.
"Maaf mas, untuk kali ini aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi bersama mu. Aku akan pulang ke rumah orang tua ku". Wafa bangkit dari duduknya, menuju ke kamar untuk mengemas barang-barangnya.
Fahmi masih bergeming, entah apa yang pria itu fikirkan. Sampai Wafa berdiri di hadapannya mengulurkan tangan untuk menyalami pria itu.
"Pergi sana, aku memang sudah muak dengan mu. Tapi ingat satu hal, aku tidak akan pernah menceraikan mu. Selamanya kamu akan menggantung dengan status mu". Fahmi menepis tangan Wafa, hingga wanita itu hampir saja terjatuh karena tubuhnya tak siap.
"Assalamualaikum mas". Lirihnya.
Tak ada jawaban dari Fahmi, pria itu justru meludah ke arah samping saat Wafa berbalik badan untuk meninggalkan rumah itu, rumah yang ia harapkan bisa menjadi rumah impian untuknya dan keluarga kecilnya, rumah yang ia harapkan menjadi tempat ladang pahala untuknya dan suaminya. Meski sederhana, namun rumah itu di bangun dari tabungannya selama ia bekerja di sebuah kantor furniture, Wafa menaruh harapan besar pada bangunan sederhana itu, namun sekarang semuanya hancur.
"Bismillah ya Allah, meski jalan ini salah satu jalan yang Engkau tidak sukai, tapi aku sudah tidak sanggup lagi memijaknya, semuanya terlalu berat dan hanya ada kemadharatan di dalamnya. Iringi langkah yang ku ambil ini dengan Ridha mu ya Allah, agar semuanya ringan untuk ku". Batin Wafa, ia beristighfar mengiringi setiap langkahnya. Berharap rasa sesak di dadanya segera berkurang.
Wafa pun sama seperti wanita lain, yang ingin menikah sekali seumur hidupnya, dan membangun impian-impian indah bersama suami dan anak-anaknya kelak. Namun takdir membawanya pada kesendirian, perpisahan menjadi jalan yang ia pilih.
❤️❤️❤️❤️
Matahari semakin terik menyinari bumi, memperlihatkan betapa perkasanya ia memberikan terang di sepanjang hari.
Wafa, perempuan lemah yang berusaha terlihat kuat itu tengah berjalan di sepanjang trotoar jalan, tas ukuran sedang ia tengteng di tangan kanannya, tas kecil tersampir di bahunya.
Terik matahari tak menyurutkan niatnya untuk melangkah, secercah harapan akan kehidupannya yang lebih bahagia membuat perempuan itu bertekad terus maju meninggalkan lukanya.
Istighfar terus ia rafalkan agar rasa kecewa karena kenyataan tak sesuai dengan harapan itu sedikit hilang di hatinya. Ia tak mau menyalahkan takdir yang Allah gariskan untuknya, ia sadar, jika manusia hanya bisa berencana, berangan dan bercita-cita, namun hasil akhirnya hanya Allah yang berhak mengatur.
Ia terus berjalan bukan karena tak mempunyai uang untuk membayar kendaraan sebagai tumpangan, ia hanya sedang mengulur waktu untuk berfikir bagaimana caranya ia menyampaikan berita pahit ini kepada ke dua orang tuanya. Ke dua orang tuanya menyimpan harapan yang besar pada rumah tangganya, selain itu, beban baginya karena sebagai anak pertama ia harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya.
"Maafkan Wafa Bu, pak, Wafa gagal". Lirihnya.
Di tengah rasa gundahnya, suara adzan Dzuhur seakan menyadarkannya jika sang pemilik kehidupan tengah menunggunya untuk berbagi keluh kesah dan kepedihannya. Bukankah lebih baik jika mengadu apa pun yang tengah kita alami kepada sang pemilik takdir? Ketenangan dan jalan keluar akan Allah berikan dan tunjukan melalui jalan yang tak di sangka-sangka.
Wafa mengikuti arah suara adzan itu berkumandang, sebuah mesjid tampak berdiri megah di persimpangan jalan yang tengah ia pijak. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera mengadu pada sang Khaliq atas apa yang tengah di rasakannya, meski Allah sangat tahu apa yang di rasakan hambanya bahkan sebelum hambanya merasakannya.
Setelah berwudhu, Wafa segera memasuki mesjid. Mengeluarkan mukenanya dari dalam tas kemudian ikut sholat berjamaah bersama penduduk yang lainnya.
Dzikir ia panjatkan, doa dan keluh kesah ia pun panjatkan. Meminta kekuatan, kesabaran juga keikhlasan dalam menjalani segala ujian. Air mata yang sedari tadi di tahannya kini tumpah sudah. Sakit rasanya ketika keputusan yang sangat ia hindari terpaksa harus ia ambil.
Wafa tak menampik jika ia mencintai suaminya, tapi cinta itu justru menyakitinya.
"Ampuni aku ya Allah, jika keputusan ku ini akan menyakiti ke dua orang tua ku. Aku lelah, aku takut bukan pahala yang aku dapatkan dalam menjalani rumah tangga ini, melainkan dosa karena aku terlalu banyak mengeluh dari pada bersyukur". Ia semakin terisak saat lantunan merdu ayat suci Alquran terdengar menggema di seisi mesjid, membuatnya tersadar jika selama ini ia jarang melantunkan ayat Allah itu karena terlalu sibuk bekerja mencari nafkah untuk hidupnya dan Fahmi.
"Astaghfirullah ya Allah, ampuni aku, aku terus menerus berdoa meminta banyak hal padaMu, tapi ayat suciMu jarang aku lantunkan".
Wafa mengambil Al-Qur'an yang tersedia cukup banyak di sana. Ia membaca beberapa ayat Allah dan menyudahinya saat ponsel yang ada di dalam tasnya berdering.
"Ibu?". Gumamnya, Wafa menyimpan Al-Qur'an ke tempatnya semula, kemudian berjalan ke pojok mesjid agar suara ponselnya tak mengganggu kegiatan ibadah di sana.
"Assalamualaikum Bu".
"Kamu di mana nduk? Suami mu barusan telpon, katanya kamu kabur dari rumah. Ada apa ini? Kemana kamu sebenarnya nduk? Bapak mu lagi sakit, jangan buat kita cemas".
Wafa mengatupkan bibirnya menahan tangis, mendengar kabar jika bapaknya sakit membuatnya ragu untuk memberikan kabar jika ia akan berpisah dengan suaminya. Tapi ia tak sanggup lagi jika harus terus terkurung dalam rasa kecewa yang sama akibat perbuatan suaminya.
"Aku tidak kabur Bu, aku dalam perjalanan pulang ke sana. Ibu dan bapak tidak usah cemas, aku baik-baik saja Bu".
"Baiklah, ibu sama bapak tunggu kamu. Hati-hati nduk, banyak orang jahat, apalagi kamu cuma sendirian".
"Iya Bu, aku tutup telponnya yah, Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam nduk".
Jika sudah begini ia bingung harus menjelaskan apa pada orang tuanya. Ia tak mengira jika Fahmi mengatakan kabar buruk pada ke dua orang tuanya. Wafa menghapus air matanya, ingatannya kini terbagi pada bapak yang sedang sakit, ia harus berhati-hati dalam menyampaikan kabar buruk ini.
**ASSALAMUALAIKUM GUYS, INI CERITA BARU MAK. SEBENERNYA BUKAN CERITA BARU SIH, AWALNYA MAK PUBLISH DI APK SEBELAH, TAPI MAK GAK TERUSIN KARENA BEBERAPA HAL SALAH SATUNYA TARGET KATA PERBABNYA..HIHIHI
SELAMAT MEMBACA**....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Prasetyani
Syukaaa
2024-02-20
0
Agustina Kusuma Dewi
wa'alaikimusalam..
kak..memclok disininsetelH langit biru n jingga
2023-09-29
0
◉‿◉♡-Ƥυтrу Ƴαѕмιη-♡◉‿◉
Mampir 😊
2022-09-23
0