Pagi ini, genap usia janin yang aku kandung berada di usia matang. Sudah saatnya ia keluar dan melihat dunia, buah hati yang aku harapkan bisa membangkitkan ibunya dari belenggu suami kejam—ayahnya yang tega memperlakukan istri layaknya hewan.
Perut pun mual sejak tiga hari belakangan. Dengan keadaan dua kaki yang masih dipasung, aku tak bisa bergerak bebas untuk membawa isi perut menuju posisi nyaman. Miring ke kiri terasa sangat sakit, begitu pun miring ke kanan, semua posisi sama saja.
Kala itu, aku merasakan kesakitan yang tak kunjung usai. Sementara Bi Ira datang ke dalam ruangan sangat lama. Tak seperti biasanya, mungkin ia banyak kerjaan di dalam rumah. Menggunakan kedua tangan untuk meraba benda-benda di sekitar tubuh, aku mencari apa pun yang bisa menemani kesakitan ini berlangsung.
Seketika kedua bola mata mendongak ke atas kursi kusam, di sana ada sebuah botol berukuran kecil dan dengan sigap aku meraihnya sedikit demi sedikit. Perkiraan awal tidaklah seperti apa yang aku bayangkan semula, kedua tangan masih sangat jauh untuk meraih botol itu.
Menggeser sedikit demi sedikit posisi duduk, darah segar pun keluar dari dalam perutku akibat banyaknya pergerakan
Dari ambang penglihatan, tatapan kedua bola mata mulai samar. Tak mampu menatap jelas siapa gerangan yang sedang berjalan menuju ke arahku saat ini, Tuhan pun sepertinya ikut bertindak. Dengan sisa-sisa tenaga, aku menggoyangkan kursi di samping badan hingga akhirnya botol itu terjatuh di lantai tanpa pecah.
Dengan tangan kiri, aku meraih botol itu dan menekan rasa sakitku. Itu adalah caraku untuk bisa melahirkan tanpa suara, agar nantinya tidak ada yang mendengar kalau aku sudah melahirkan di dalam ruangan.
"Astaghfirullah ... Nyonya ...!" teriak Bi Ira sangat histeris, ia pun berlari dan mendekati tubuhku.
Tepat di samping kiri, wanita paruh baya itu menyentuh sebuah darah segar telah keluar dan berserak di atas lantai. Ia pun meneteskan air mata seraya mengelus rambutku, tak henti-hentinya Bi Ira memeluk sambil menyentuh perut yang mulai terasa sangat sakit.
Aku pun ikut menangis. Ya, Allah ... perut hamba sakit sekali. Kalau memang hari ini akan lahir umat Nabi Adam, tolong permudah jalannya menuju dunia. Amin ..., batinku berkata.
"Bi, perut saya sakit sekali, Bi ...." Setelah berkata sangat lirih, aku menarik kerah baju wanita di samping.
Karena lawan bicara juga tak mampu untuk berkata apa pun, ia mencoba untuk menggoyangkan pasung yang mengikat kedua kakiku. "Nyonya ... kita ke dokter aja, yuk? Biar bibi telepon pihak rumah sakit," ujarnya, lalu wanita itu mengubah posisi berdiri setengah badan.
"Bi ...!" teriakku dengan nada suara lirih.
Wanita paruh baya itu menoleh lagi, ia pun tak melanjutkan untuk pergi menuju ruang tamu. "I-iya, Nyah ...."
"Enggak usah telepon dokter, saya masih kuat untuk melahirkan normal."
"Tapi, Nyah ...."
"Bi—"
Dengan pembantahan yang aku katakan, akhirnya wanita yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia itu putar balik. Ia pun kembali mengubah posisinya menjadi duduk bersila, menggunakan tangan kanan ia ikut menekan perut yang masih terasa sangat sakit.
Aku pun memasukkan mulut ke dalam lubang botol, seraya menarik napas dan mendorong bayi itu agar keluar normal. Ini adalah caraku untuk membuat suara tak masuk ke dalam rumah, karena teriakan itu hanya ada di dalam botol saja. Seiring berjalannya waktu, bayi tak kunjung keluar.
Sementara rasa sakit membuatku tak mampu untuk bertahan, tenagaku pun mulai habis tak tersisa lagi. Dari samping kiri, Bi Ira membaca beberapa ayat alquran dan menekan perutku secara perlahan.
Dari dalam hati, aku juga membaca surah untuk dapat melahirkan dengan normal dan mudah. Memang semua karena Allah, mungkin beberapa asma-Nya mampu membawa sang bayi lahir ke dunia dengan selamat.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Latin :
Wallahu akhrajakum min buthuuni ummahaatikum laa ta'lamuuna syai-an waja'ala lakumussam'a wal abshaara wal af-idata la'allakum tasykuruun(a).
Artinya :
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur"
(QS. An-Nahl 16:78)
Menunggu hingga beberapa menit setelah membaca, aku menekan perut sekuat tenaga.
"Allah' huakbar ...."
"Allah' huakbar ...."
"Asyhaduan Laa Ilaaha ill Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah."
"Asyhaduan Laa Ilaaha ill Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah."
"Asyhaduan Laa Ilaaha ill Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah."
Seketika aku memejamkan kedua bola mata. Akhirnya, bayi pun keluar dengan membawa tangisan. Namun, sisa-sisa tenaga habis telah habis. Tanpa bisa melihat, aku tertidur dan hanya bisa mendengar suara bayi yang sangat histeris menangis.
1 Jam Kemudian ...
Dalam samar, aku mencoba untuk membuka kedua bola mata. Di sekitar tubuh, masih tersisa darah segar yang mulai mengering. Sementara tangisan bayi sudah tak ada lagi, rupanya Bi Ira sedang menggendong anakku mondar-mandir di sebelah kiri.
"Bibi ...," kupanggil wanita paruh baya itu, kemudian ia menoleh ke samping kiri.
"Nyonya, alhamdulillah ... sudah sadar."
Ia pun langsung duduk di samping kiri dan memperlihatkan bayi imut itu padaku, tatapan wajahnya sangat semringah.
"Nyah ... bayinya perempuan," ucap Bi Ira, kemudian ia meletakkan bayi tersebut di tangan kiriku.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, aku pun memeluk dan menggendong bayi perempuan—anakku. Seraya mencium kening putri pertama sepanjang aku hidup di dunia ini, seketika bayi itu tersenyum semringah.
"Nyah ... bayinya lumayan besar, sehat lagi."
"Iya, Bi. Cantik juga," sambarku. Kemudian, bayi perempuan itu menggerakkan tangan kanannya menyentuh pipi kanan ini.
"Nyah ... bayinya mau dikasih nama siapa?" tanya Bi Ira, kemudian wanita paruh baya itu mengambil pena dan kertas putih untuk mencatat.
Aku pun berpikir sejenak, karena sebelumnya tak mempunyai rencana akan memberi nama apa, akhirnya aku memilih satu nama terbaik yang muncul begitu saja.
"Anissa."
"Anissa, Nyah?"
"Iya, Anissa Cantika Almahera," lanjutku dengan penuh semangat.
"Wah, nama yang bagus, Nyah. Semoga nama itu kelak bisa membuatnya memiliki sifat seperti ibunya. Baik hati, lembut, dan penyabar."
"Amin ...."
Kami pun berbicang-bincang berdua, seraya memperhatikan tingkah bayi imut yang baru saja hadir di dunia sebagai semangatku hidup lebih panjang.
"Nyah ... bagaimana kalau sekarang saya beritahu Tuan Revan, barang kali ia bisa menerima kehadiran Nyonya dengan adanya bayi ini."
"Enggak!" pungkasku singkat.
Lawan bicara menaikkan dagunya seketika, kemudian ia menadahkan kepala menuju lantai.
"Kenapa, Nyah?" tanyanya seraya menurunkan nada suara.
"Saya enggak mau kalau—Revan dan istri barunya tahu akan kehadiran Anissa. Biarkan saja anak ini besar, mungkin dengan demikian, ia bisa membalaskan semua dendam yang sekarang saya rasakan."
"Oke, Nyah. Kalau itu jalan terbaiknya, bibi akan mendukung penuh pada rencana awal kita."
"Kamu akan merasakan kepahitan yang luar biasa Revan! Lihat saja nanti, tujuh belas tahun yang akan datang. Anissa akan membongkar kebusukanmu, dan menyingkirkan kalian berdua dalam rumah saya sendiri," ucapku tegas, tatapan pun tajam menuju pasung yang membelenggu kedua kaki.
***
10 tahun kemudian ...
Seiring berjalannya waktu, Anissa tumbuh dengan sangat pesat. Ia juga menemani hari-hariku di ruangan dengan keadaan kedua kaki dipasung. Dalam hidup ini, aku tak mau menjelaskan siapa ayahnya. Karena ia juga pergi sekolah menuju akses pintu dari sebelah kiri ruang bawah tanah. Dengan diantar Bi Ira setiap hari, Revan tak mengetahui bahwa Anissa adalah anak kandungku.
Di suatu pagi, selepas Bi Ira mengantarkan Anissa pergi ke sekolah, ia pun masuk dalam ruang bawah tanah dan membawa makanan nikmat. Tak seperti biasanya, kali ini wanita paruh baya itu menenteng sebuah tas yang sepertinya berisi sesuatu.
"Makanan sudah siap ... mari kita makan bersama-sama." Dari ambang pintu, Bi Ira datang seraya membuang senyum semringah.
"Wah ... ada menu apa, Bi, pagi ini?" tanyaku. Kemudian, aku mengambil bandana merah di samping kiri dan segera mengikat rambut.
Wanita paruh baya itu meletakkan dua piring pizza di samping kanan, ia pun memotong beberapa bagian pizza sangat rapi.
"Nih, Nyah, makan pizza hangat," sodornya dengan menggunakan tangan kanan, aku mengambil satu potong pizza itu.
Tanpa basa-basi, aku langsung menyantap pizza sodoran dari Bi Ira. Rasanya sangat enak dan mampu membuat aku ketagihan. Dengan sangat lahap, tiga potong habis hanya dengan beberapa menit saja.
"Bi, pizzanya beli di mana, sih?" tanyaku, lalu dengan tangan kanan aku mengambil lagi.
"Ini pizza sengaja bibi beli di samping sekolah Non Anissa," responsnya, lalu ia berdiri dan berjalan menuju anak tangga.
"Bi, terima kasih ...!" teriakku menyerat nada suara.
Wanita paruh baya itu tak membalas ucapan, ia hanya membulatkan jari sebelah kanan sebagai kode pertanda bahwa ia menjawab ucapanku. Gelagatnya sudah sama persis dengan gaya anak-anak masa kini.
"Sip!" katanya, lalu ia kembali masuk ke rumah untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Aku pun menghabiskan waktu di dalam ruangan yang sangat kumuh ini, sudah sepuluh tahun hidup dalam sebuah belenggu dan pasung suami kejam.
Dari dinding sebelah kiri, arloji menunjukkan pukul 12.00 siang. Anissa tak kunjung pulang dari sekolahnya, perasaan sangat cemas menyergap jiwa. Membuang prasangka buruk, aku tetap berdoa yang terbaik untuk anak tercinta.
Udah jam segini, kok, anakku enggak pulang? Apa ada kegiatan ekstra di sekolahnya, ya? batinku berkata.
Setelah arloji menujukkan pukul 14:00 siang. Suara teriakan terdengar sangat keras dari ambang pintu.
"Mama ... Nisa pulang ...."
Menoleh ke arah kanan, aku pun menarik napas panjang dan membuang dari mulut. Akhirnya, sekarang aku bisa legah, karena buah hati telah sampai dengan keadaan tanpa luka.
Dari samping kiri, Anissa menatap wajahku tajam. "Ma ... tadi di sekolah ada teman baru," ucapnya, lalu ia mendekat ke tubuhku lebih rapat.
"Oh, ya? Siapa namanya?" kutanya.
"Namanya Refal."
"Wah, bagus banget namanya," responsku.
"Iya, Ma, rumah ia juga ada di atas sana." Setelah berucap, Anissa menunjuk ke arah jalan menuju rumah.
Aku pun menatap posisi tangannya, kemudian kembali menatap Anissa di samping kiri.
"Di sana?" kutunjuk juga mengikuti apa yang ia katakan tadi.
Anissa pun mengangguk dua kali.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments