Sella POV
Malam ini adalah momen yang aku tunggu sepanjang hidup di dunia, yaitu bisa memiliki Mas Revan dan mencampakkan Marissa sebagai istri sahnya di rumah. Emang enak lu, Marissa. Dulu waktu SMA gue pacaran sama Revan dan sekarang lu yang menikah sama dia, omelku dalam hati.
Tangan kanan mengambil obat tidur yang ada di dalam tas. Dengan segera, aku memasukkan tiga butir sekaligus pil tidur untuk membuat Revan tak berdaya. Dengan begitu, aku bisa menjebaknya di sebuah hotal dan memintanya untuk menikahiku secepatnya. Terakhir, aku bisa menguasai semua harta dan perusahaan milik Revan.
Dasar, lelaki bodoh! Mudah banget lu dikibuli. Malam ini, kita akan lakukan sebuah adegan mesrah semalaman di atas ranjang. Van! Secepatnya lu bakal menjadi suami gue, batin berkata-kata.
Setelah obat itu larut dalam sebuah jus jeruk, Revan datang dengan berjalan sangat kencang. Ia pun menatap ke arah wajahku seketika, kemudian memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan.
"Sis, kok, makanannya enggak dimakan?" tanyanya seraya mengubah posisi duduk di atas kursi sofa.
"Bos, saya sengaja ingin menunggu. Lagian enggak mungkin dong, kalau saya diteraktir tetapi malah makan duluan." Selesai berkata-kata, aku menggumam dalam hati.
Ih, kalau bukan karena harta lu, Van. Enggak mungkin gue bersedia melakukan hal ini, cepat lu minum jus jeruk itu. Biar lu pingsan dan kita bisa berkeringat di ranjang malam ini.
Tanpa berpikir panjang, Revan meneguk jus jeruk itu hingga tandas. Aku menelan ludah dan menarik napas panjang, terasa sangat bahagia hidup ini setelah semua rencana berjalan sesuai skenario. Tatapan pun seketika bertutar dengan sebuah arloji di tangan sebelah kiri, tepat di pukul 23:00 malam.
Dari depan penglihatan, sepertinya Revan mulai merasakan pusing dengan menekan beberapa kali kepalanya. Ia pun sesekali mengedipkan mata dan seperti orang yang tengah mengantuk berat, tanpa mampu berkata, Revan menadahkan kepala saja di atas meja.
Dari ujung tempat duduk, aku berujar. "Bos, kita pulang aja, yuk."
"Sell, kepala saya, kok, sakit sekali. Rasanya enggak kuat untuk menyetir mobil, kamu aja yang membawa, bisa?" tukasnya seraya merogoh kantong celana dan meletakkan kunci mobil di atas meja.
"Iya, Bos. Biar saya aja yang bawa mobilnya." Dengan perlahan, aku mengambil kunci mobil sodoran darinya di atas meja, kemudian Revan tertidur pulas.
Menggunakan tangan kanan, aku mencoba untuk membangunkannya. "Bos-Bos, bangun, Bos."
Akan tetapi, Revan tetap saja tertidur. Dengan memanggil pelayan pria resto tersebut, kami memasuki mobil pribadi yang sudah terparkir di depan lokasi.
"Mas, terima kasih."
"Sama-sama, Mbak," respons palayan resto yang sudah membawa tubuh Revan untuk memasuki mobilnya.
Dengan menginjak gas secara perlahan, kami berdua keluar dari sebuah halaman resto dan segera pergi menuju rumah. Di sepanjang jalan, Revan memekik gelisah. Ia sesekali berkata sendiri karena telah hilang kesadaran.
Dari samping kanan, aku berkata. "Bos, kita pulang atau bagaimana?"
Revan terdiam seribu bahasa, sedikit demi sedikit ia mencoba mengangkat kepalanya. "Sis, kita berhenti di hotel aja terserah di mana. Soalnya ... saya enggak kuat lagi untuk membuka kedua mata saya."
"Oke, Bos. Saya akan menjalankan perintah." Selesai memberikan jawaban, aku membatin lagi.
'Ha ha ha ... mampus lu, Van! Emang enak gue jebak pakai pil tidur, pokoknya malam ini adalah langkah awal untuk aku memiliki kamu. Biar secepatnya aku bisa mencampak, 'kan Marissa dari rumah itu. Buat apa kamu mempertahankan istri gila seperti ia, jelas wajahku lebih cantik darinya.'
Malam itu, di sebuah kamar hotel 121. Aku menghabiskan suasana indah bersama dengan Revan yang telah tak menggunakan pakaian lagi, rupanya ia sedikit sadar seputar kejadian malam ini. Karena setiap kali aku mulai mendesah, ia pun mengikuti dengan irama yang mengasyikkan.
Arloji menunjukkan tepat di pukul 24:00. Tengah malam adalah ritual paling ******* untuk kami meluapkan nafsu birahi di atas ranjang putih, disaksikan oleh bulan dan bintang seraya menambah gejolak cinta yang setiap menit bertambah melonjak. Setelah Revan menghentikan aksinya, kami pun terlelap dengan saling berpelukan.
***
Pagi telah tiba, kicauan burung di luar taman hotel terdengar keras. Mereka seperti mengiyakan restu ini terjalin indah. Bagaimana tidak, aku yang sekarang dalam dekapan—suami—Marissa selalu menatap penuh cinta pada sosok pemuda macco di ruang hotel.
Dalam samar, aku membuka kedua bola mata diiringi dengan Revan yang juga terbangun. Ia pun terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini, dengan tangan kanan—Revan membuka selimut dan menatap ke dalam sebuah ruang penuh cinta.
Lalu, ia menutup kembali selimut itu. Dengan perlahan, aku membuka kedua bola mata. Seketika kami tukar tatap dan kubuang ekspresi sedang bingung.
"Van! Apa yang kamu lakukan sama saya? Kamu telah menodai saya, Van!" dari samping kiri, pemuda perkasa itu pun kebingungan. Ia menggeser posisi tidurnya dan sedikit menepis.
Revan mengernyitkan kedua alisnya. "Sis, saya enggak tahu kalau kita bisa satu kamar. Dan saya enggak ingat apa-apa tadi malam," pekiknya seraya membuang ekpsresi seperti orang bodoh.
"Van! Kalau saya hamil bagaimana? Karena kita belum menikah! Saya malu jika mengandung anak di luar nikah, Van ...!"
Seraya mendekatkan badan, Revan pun memeluk tubuhku dengan perlahan. "Sis, maafin saya. Pas-pasti saya akan tanggung jawab dengan apa yang terjadi hari ini."
"Kamu jahat, Van! Saya kira kamu adalah pemuda baik-baik, nyatanya enggak." Selesai berkata dipelukannya, aku pun memukul dada lawan bicara sambil menitihkan air mata.
Entah mengapa, kedua bola mata mampu untuk menangis natural tanpa diberikan tetesan apa-apa. Sehingga, Revan pun seperti tengah kebingungan dan memeluk tubuh ini erat.
'Ha ha ha ... akhirnya, gue bisa juga membuat pemuda bodoh ini merasa bersalah. Mudah banget untuk mendapatkan kamu, Van!' celotehku dalam hati.
Suasana semakin garang dengan beberapa persiteruan. Aku pun semakin yakin kalau Revan akan segera menikahiku dan mengatasnamakan seluruh hartanya untukku.
Satu jam kemudian ...
Kami sama-sama memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Keringat yang masih lengket karena peristiwa malam itu begitu melelahkan, jika tidak untuk masa depan yang cerah, mungkin aku tidak mau melakukannya.
Setelah selesai mandi, kami kembali menuju kamar hotel dan duduk di ranjang berwarna serba putih. Tatapan lurus mendelikkan bola mata menuju cermin, rambut yang masih acak-acakan membuat pemuda tampan berkumis tipis itu mendekat dan duduk di samping kiri.
Kedatangannya yang secara tiba-tiba, membuat tubuh ini menggeser posisi duduk. Kemudian, Revan meraih sisir di atas meja dan sebuah bandana merah. Dengan penuh kelembutan, pemuda dengan sejuta pesona itu menyisir rambut ini dan mengikat rapi menggunakan bandana.
Kemudian, ia menarik tangaku sangat perlahan, sepertinya Revan akan mengajak keluar hotel. Akan tetapi, aku tak mau mengikuti ajakannya, tubuh pun masih terdiam bagai patung batu. Karena melihat wajah ini penuh dengan kelecewaan, akhirnya pemuda berkumis tipis itu merubah posisi tubuh menjadi jongkok dan bersipu di hadapan.
"Sis ... kita pulang sekarang, ya."
Dengan menggunakanan kepala sebagai bahasa tubuh, aku mengeleng dua kali. Kemudian, Revan meletakkan kedua tangannya tepat di bibirnya yang berwarna merah muda.
"Sis, kamu jangan takut sama saya. Kalau kamu hamil, saya akan bertanggung jawab," ucapnya sangat lirih, ia pun menelan ludah berkali-kali.
"Jadi, kalau misal saya enggak hamil. Kamu enggak akan tanggung jawab karena sudah mengambil keperawan saya, Van! Kamu kira saya pelacur?" pekikku sambil menekan wajah dengan kedua tangan.
Dari posisi depan, Revan mendekat dan semakin dekat. Ia pun memeluk tubuh ini lagi, sementara dari posisi wajah membelakangi tubuhnya aku membatin. 'Yes! Akhirnya, aku sebentar lagi akan hidup kaya raya. Setelah ini, dendam lama akan segera terbalaskan untuk membuat Marissa sengsara seumur hidup.'
Revan melepas pelukannya dan menarik tangan ini sangat erat, ia menggandeng penuh cinta untuk keluar dari kamar 121. Berjalan sangat lambat, kami sampai di depan sebuah parkiran. Pemuda berkumis tipis itu membuka pintu mobilnya dan aku segera memasuki mobil tersebut.
Ia menginjak gas dengan kecepatan normal untuk kami segera pulang ke rumah. Sesekali aku menatap samping kanan, kala itu Revan sedang menyetir sambil mengenakan kacamata hitam. Menambah karisma ketampanannya sebagai pemuda perkasa, kami pun sampai di depan pintu gerbang rumah.
Aku keluar pintu mobilnya dan berjalan lebih laju dari biasanya, Revan pun menarik tangan kiri ini dari belakang.
"Sis, tunggu!" pekiknya seraya menaikkan satu nada suara.
Posisi sedang berada saling tukar tatap. "Van! Kamu mau apa lagi dari saya? Enggak puas kamu udah menodai malam itu?" paparku seketika membungkam lawan bicara.
"Sis ... please! Jangan seperti ini."
"Cukup! Van! Lepasin tangan saya, biar saya masuk ke rumah dan merenungi perbuatan kamu sebagai lelaki yang enggak punya hati."
Langkah lebar membuatku sampai menuju rumah dengan cepat. Dengan tangan kiri, aku membanting pintu sangat keras. Lalu, kupandang dari balik horden jendela. Rupanya, Revan tengah kesal dan kecewa pada dirinya sendiri.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Lee
Boomlike mendarat kak..
semangat yaa
2022-03-06
0