Revan POV
Ya, Tuhan ... mengapa semua menjadi seperti ini? Kok, gue enggak ingat sama sekali kejadian tadi malam, batin berkata sendiri.
Kedua tangan memukul kepala beberapa kali.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!"
Setelah beberapa menit menadahkan tatapan menuju jalan raya, kutatap lagi rumah Siska yang sudah terkunci sangat rapat. Akhirnya, mau tidak mau langkah kaki kembali menuju mobil dan pulang ke rumah.
Di sepanjang jalan, aku tak lagi dapat berpikir tenang. Memekik gelisah setelah apa yang telah terjadi saat ini. Sembari berkhayal, seketika lamunan buyar setelah mendapati siluet seseorang melintas secara tiba-tiba dari depan mobil.
Kala itu, rem yang diinjak sekuat tenaga membuat posisi mobil berubah empat puluh lima derajat menuju samping kiri perbatasan jalan lintas. Ban membunyikan sebuah suara yang sangat mengundang para pasang mata menatap mantap, karena aku tak ingin terkena masalah lagi, akhirnya diri ini keluar mobil dan menemui orang
tersebut.
Tepat di hadapan wanita yang sedang jongkok di tengah aspal hitam, aku pun berkata sedikit gemetar. "Maaf, Bu."
Seseorang dari arah samping kiri ikut campur dan mendatangiku. "Mas, kalau enggak bisa nyetir enggak usah punya mobil. Jual aja, bikin bahaya di jalanan."
Menggunakan tangan kanan, aku merogoh beberapa lembar uang kertas dan menyodorkan tepat di hadapan wanita itu.
"Nih, Bu, sebagai tanda maaf saya," paparku seraya memasang wajah melas.
"Enggak usah, Mas! Lain kali kalau nyetir pakai mata dan otak, jangan anggar mobil mahal. Ini bukan jalan kamu, Mas," pekiknya sangat emosi.
"Iya Bu, maaf," responsku singkat.
Kemudian, kedua orang itu pergi meninggalkanku di posisi yang sama. Tanpa bisa berkata apa-apa, aku pun segera kembali menuju mobil dan masuk dengan penuh hati-hati.
Selang beberapa menit di perjalanan, akhirnya mobil yang menjadi alat transportasi setiap hari sampai di depan rumah. Wajah yang sedari tadi menadah menuju bumi, aku berjalan sedikit menyeret karena kegelisahan itu tak kunjung usai.
Memasuki rumah dengan sangat hati-hati, tatapan mantap menuju sosok wanita yang biasanya menyapa dengan senyuman indah. Akan tetapi, belakangan hari sangat berbeda. Marissa telah depresi berat akibat janin yang tengah ia kandung gugur. Tak hanya itu, peristiwa kelam ia alami hingga tiga tahun berturut-turut.
Jiwa merasa terbelenggu akan sebuah kenyataan pahit, mencoba untuk menerima, tetap saja tidak bisa. Membuka dasi hitam yang terikat ketat di leher. Dengan tangan kanan, aku membuangnya di sofa tepat di mana Marissa sedang duduk seraya menggendong boneka yang hampir menyerupai sebuah bayi.
Karena aku tak ingin membuatnya berlarut dalam runtukan masa lalu, tangan kanan merampas boneka dipelukannya.
"Kamu ngapain menimang-nimang boneka, Mar!" pekikku seraya merampas boneka yang ia gendong.
Kemudian, Marissa memekik dan mengubah posisinya menjadi berdiri. Tepat di hadapan kedua bola mata, wanita yang dulu kukenal sangat lembut berubah menjadi kasar. Ia pun menampar pipi kanan ini dengan keras.
Plak!
"Jaga ucapan kamu! Kembalikan bayi saya, cepat!" hardiknya dengan menaikkan nada suara, tetapi masih sedikit mengayun ucapan.
Dari hadapannya, aku membuang boneka itu dan menginjak di atas lantai. "Nih, anak kamu sudah aku pijak-pijak. Dasar perempuan gila kamu, Mar!"
"Kamu yang gila!" pungkasnya seraya menadahkan badan menjadi jongkok, ia pun mengambil boneka itu disertai isak tangis tersedu-sedu.
Aku menarik napas panjang dan membuang dari mulut hingga beberapa kali, kedua tangan menyentuh kening dan mulutku. Tak habis pikir kalau istri tercinta menjadi gila hanya karena gugurnya ketiga anak waktu itu, alhasil perasaan cinta musnah dan timbul sebuah kekesalan.
"Bi Ira ... Bi ...," teriakku sangat keras, selang beberapa menit setelahnya, kedua telinga menangkap suara dari dalam dapur.
"Iya, Tuan ... sebentar ...."
Wanita paruh baya yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia dengan sigap berdiri di samping kiri, ia pun tengah membentuk barisan seperti formasi bodyguad seraya memasang wajah melas.
"Bi! Mengapa Marissa keluar kamar? Kan, saya sudah pernah bilang kalau ia enggak boleh keliaran di luar. Mau di letak mana wajah saya jika orang-orang pada tahu bahwa saya punya istri gila!"
Sambil berbicara dengan beberapa bait hentakan suara, aku menujuk wajah Marissa dengan jari sebelah kanan. Kemudian ia melah menggigit jariku dan aku meringis kesakitan.
"Ach ...," responsku seraya menukar tatap menjadi ekspresi orang bodoh.
"Rasain, emang enak kena gigit," cengirnya sembari membanting tubuh dan duduk lagi di atas kursi sofa berwarna hitam.
Dari ambang posisi, aku mengernyitkan kedua alis. "Tuh! Bibi lihat, 'kan, perbuatan Marissa semakin hari semakin gila!"
"Tuan! Nyonya adalah istri—Tuan! Jangan bersikap kasar padanya," respons Bi Ira seraya mengikuti Marissa dan duduk di sebelah kiri, kemudian wanita paruh baya itu mengelus Marissa yang ia panggil dengan sebutan nyonya.
Kutoleh kanan dan kiri. "Ach! Kalian berdua sama aja gilanya!"
Selesai membentak, kulangkahkan kedua kaki untuk menaiki anak tangga lantai dua, di sepanjang perjalanan menuju kamar, mulut mengerocos tanpa henti.
"Punya pembantu—gila! Punya istri pun gila, drama seperti apa ini."
Sesampainya di depan kamar, dengan tangan kanan aku membating pintu dengan keras. Tubuh yang sudah sangat lelah, ditimpali dengan sebuah masalah ketika malam itu bersama Siska di sebuah hotel berbintang. Pikiran menjadi amburadul, belum lagi harus memikirkan perusahaan yang tengah sibuk menjalankan proyek tak tahu arahnya ke mana.
Kedua bola mata mencoba untuk terpejam, karena suasana menjadi hening dan dingin, akhirnya aku dapat tidur dengan cepat.
Malam telah tiba ...
Tiba-tiba, telinga menangkap sebuah suara yang datang dari luar. Ya, aku pun mendengar lantunan merdu azan di masjid dekat dengan rumah. Seketika hati nurani terasa sangat terpanggil untuk melaksanakan salat wajib sebagai umat muslim, akan tetapi kedua kaki sangat berat untuk beranjak dari ranjang.
Selang beberapa menit, azan berhenti untuk berkumandang. Masih dengan posisi tubuh yang telentang di atas ranjang, aku mengambil ponsel dan menatap layar dengan ratusan notifikasi social media. Tak mampu untuk membalas satu persatu. Dalam samar aku menatap layar ponsel di sebuah social media, rupanya Siska tengah meng-upload fotonya sedang menangis sedih.
Perasaan bersalah itu tumbuh dengan sendirinya. Bagaimanapun juga, aku telah mengambil mahkota yang ia jaga sebagai pengangkat derajatnya sebagai seorang wanita. Mematikan kembali data selular, aku melompat dari kasur dan berjalan menuju balkon rumah.
Aku menatap mantap arloji di tangan sebelah kiri, rupanya sang waktu telah menunjukkan pukul 20.00. Merenungi semua yang terjadi, bersama bintang-bintang dan rembulan kala itu seperti tengah mempermalukan diri ini.
Sakit memang, dipecundangi sang waktu dengan pesona yang menjanjikan berjuta keindahan. Mengapa dulu semesta membawaku melambung jauh menuju angkasa, merasakan nikmat cinta dan kemudian membuat jiwa tersesat untuk menuju arah pulang.
Sebelum akhirnya peristiwa demi peristiwa menyeret kenyataan tertelan bulat-bulat dalam mulut dan rongga leher, sekarang semesta telah mengangkatku setinggi-tingginya dan membanting keras menuju bumi hingga terkapar tak beralasan.
Mengucapkan janji setia di depan penghulu dan para saksi, hingga akhirnya aku harus berlari sekencang-kencangnya ketika cinta itu pergi saat jiwa mulai berikrar sampai mati. Merumuskan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam kepala, aku memutuskan untuk keluar dan menuju kamar Marissa.
Beberapa menit setelah berjalan, kedua bola mata menatap mantap sosok wanita yang selalu berdandan aneh. Padahal Marissa adalah wanita cantik dengan pesona luar biasa, hingga akhirnya sebuah kenyataan itu mengharuskan penampilan sang istri berubah total dan membuat perut terasa mual.
Di atas kursi sofa berwarna hitam, aku duduk di samping kiri sang istri. Mengelus rambutnya secara perlahan, dan ia menatap lirih menuju tatapan mata ini. Tampak dari pandangan itu bahwa ia sedang depresi berat. Boneka yang menjadi sasaran pelepas rindu terhadap buah hati, mengakibatkan ia berpikir tidak lagi waras.
"Sayang ... kamu jangan seperti ini terus, kamu harus bisa bangkit dan kita menjalani hidup sebagai mana mestinya," paparku seraya memberikan pandangan padanya untuk berubah, kemudian dari arah belakang asisten rumah tangga datang sambil membawa dua gelas minuman hangat.
Setelah Bi Ira meletakkan minuman itu, ia berdiri dan menatap Marissa yang bertingkah sangat tidak lazim manusia pada umumnya.
"Sayang, coba aku pinjam anaknya dulu." Setelah berkata, dengan tangan kanan aku mengambil boneka itu dan meletakkan benda berambut pirang tersebut di samping kiri.
Marissa terdiam, ia pun meneteskan air matanya dan menangis sangat histeris. Rasa iba menyergap jiwa. Tanpa mampu berkata-kata, aku memeluk sang istri bersama isak tangis yang juga keluar dengan sendirinya.
Bi Ira pun menangis di posisinya ketika awal datang, suasana malam yang semakin garang, ditimpali dengan sejuta persoalan tanpa jawaban kepastian. Kini, aku mulai bisa merasakan betapa Marissa butuh kasih sayang, meski ia telah gila dan hilang ingatan.
Mudah-mudahan, suatu saat nanti sang istri bisa kembali bersama dalam menjani rumah tangga ini lebih damai lagi. Itulah harapanku sekarang.
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam alquran surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّ بِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْؕ-فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَیْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُؕ-وَ الّٰتِیْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُوْهُنَّ فِی الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْهُنَّۚ-فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَیْهِنَّ سَبِیْلًاؕ-اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِیًّا كَبِیْرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukul, 'lah mereka. Kemudian, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Si Bungsu
like + Favorit
mampir kembali ke (nona buta wasiat papa)
2022-01-24
0