Bi Ira POV
Di sebuah ruang tamu, tepatnya di atas kursi sofa berwarna hitam kecokelatan. Kedua bola mata memandang dengan penuh hati-hati, seakan tidak percaya bahwa seorang pemuda tidur hingga pagi hari. Perasaan yang hancur ketika malam itu, pasti membuatnya merasa terpukul.
Apalagi perbuatan istrinya yang bertingkah seperti orang gila. Namun, untuk mengkaji rumah tangga orang lain begitu tidaklah pantas untukku. Apalagi, sekarang statusku adalah janda. Sebisa mungkin untuk tidak mencampuri masalah yang ada di rumah tempatku bekerja saat ini.
Arloji menunjukkan pukul 07:00 pagi. Dengan langkah lebar, aku sampai di samping tubuh pemuda yang menjadi bos dalam tempat saat ini bekerja.
Kusenggol tangannya perlahan. "Tuan ... bangun. Sekarang sudah pukul 07:00, entar telat pergi ke kantornya," ucapku dengan nada suara lembut.
Lalu, lawan bicara hanya menggumam saja. "Hmmm ...."
"Tuan ... sudah pagi, entar telat bangunnya," timpalku lagi.
Seketika ia membuka matanya spontan. Bangkit dari posisi rebahan, dan duduk menatap tajam ke arahku saat ini.
"Berisik banget, sih, kamu! Enggak lihat kalau saya lagi tidur!" hardiknya seraya menukar tatap menuju lantai.
Batin pun berkata. Astaga! Ya, Allah ... enggak biasanya Tuan Revan membentakku. Bukankah, setiap hari ia selalu meminta untuk dibangunkan. Ach, ya, sudahlah. Aku pergi aja dari sini, sebelum ia benar-benar marah.
"Tuan ... saya ke dapur dulu, ya?"
Tanpa balas kata, langkah kaki berlari memasuki ruang dapur. Waktu terus bergulir, sang waktu seakan mengajakku untuk melaksanakan berbagai aktivitas seperti biasanya. Ya, salah satunya adalah belanja keperluan rumah di pasar pagi.
Dengan menggunakan taksi langganan, aku menuju pusat perbelanjaan sayuran. Sesampainya di tengah jalan, rupanya sedang macet panjang. Pusing menyergap kepala, seraya menoleh menuju luar jendela taksi, aku melihat mobil Tuan Revan tengah ada di samping kanan.
Karena sangat penasaran, aku pun tetap menatap jendelanya yang terbuka. Tampak dari balik jendela kaca, bahwa ia sedang bercumbu dengan sekretaris—kantornya bernama—Siska.
Deg—
Aku pun membuang tatap menuju supir di depan. Lalu, tak berapa lama kutoleh lagi mobil yang masih berhenti di samping kanan. Posisi masih sama saja, bercumbu dan sangat mesrah di dalam mobil.
Batin kembali bekata. 'Astaghfirullah ... bukankah itu Tuan Revan dan Non Siska? Tetapi kenapa sangat mesrah banget seperti orang yang sudah menikah? Oh, Gusti ....'
Lima belas menit antrean panjang akhirnya kelar, macet pun berakhir dan membawa taksi yang tengah aku naiki berada di belakang Bos Revan. Karena volume kendaraan semakin banyak dan saling berimpit, aku kehilangan mobil yang tadinya berada di depan.
Sampailah di sebuah pasar pagi, aku membawa kating berwarna biru dan bergegas menelusuri tempat penjualan sayuran. Setelah semua terbeli, aku langsung menuju taksi dan kembali pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, aku tak henti-hentinya berpikir keras akan sebuah penglihatan tak lazim tadi.
Merumuskan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi, aku membuang perasaan negatif dengan berpikir positif bahwa yang terlihat barusan adalah orang lain. Karena yang kutahu, Bos Revan penyayang pada istrinya. Enggak mungkin ia selingkuh pada wanita lain, apalagi dengan sekretarisnya sendiri.
Taksi pun sampai di depan pintu gerbang rumah, aku bergegas turun dan membayar ongkos pada supir.
"Pak, terima kasih sudah mau mengantar saya ke pasar," celetukku dengan wajah penuh kecemasan.
Dari ambang pintu, supir taksi menjawab. "Iya, Bi, Sama-sama. Oh, ya, saya jalan duluan."
"Iya, Pak."
Menjawab seperlunya saja, aku bejalan dua kali lebih kencang dari biasanya. Hingga di sebuah teras menuju pintu rumah, aku menabrak—Diman—penjaga rumah.
"Aduh ... Diman! Kalau jalan lihat-lihat, dong," omelku seraya mengernyitkan kedua alis.
"Yey! Situ aja kali yang buru-buru, sampai saya ada di pintu juga enggak kelihatan. Lagian, ada apa, sih, buru-buru gitu? Kayak lagi lihat hantu aja," ledeknya.
"Jangan kepo! Bukan urusan kamu, Man ...."
"Huh! Nih, perempuan kalau laki udah gue—"
"Gue apa hayo? Ngomong lu, Man." Kedua tangan kukepal seraya menantang lawan bicara.
Tanpa memperpanjang pertikaian, Diman langsung berjalan meninggalkanku. Setelah ia pergi, barulah aku meringis sendirian.
"Huh ... gitu aja takut lu, Man. Belum lagi gue keluarin jurus seribu bayangan seperti kartun apa, tuh? Maruko atau Marko, ya? Ach ... intinya begitulah," ucapku sendiri di depan pintu.
Tak lama, aku sampai di dapur dan memasak makanan laut sebagai kesukaan Non Marissa. Sudah hampir dua hari ia tak mau makan, mungkin dengan menu yang sedikit berbeda, ia mau untuk mengganjal perutnya. Agar lebih segar dan sehat kembali.
Selesai masak, aku membawa menu di dalam sebuah mangkuk dan berjalan penuh hati-hati menaiki anak tangga gedung lantai dua. Dengan tangan kanan, aku membuka pintu secara perlahan. Tampak jelas bahwa, Non Marissa sedang menangis seharian tanpa henti.
Mungkin karena terlalu depresi dengan kehilangan anaknya untuk yang ketiga kalinya. Setika awal masuk, aku gemetar dan takut kalau mengganggunya. Akan tetapi, ia tidaklah anarkis ketika malam itu.
Non Marrisa menoleh ke arah wajahku, ia pun berkata. "Kamu siapa?"
"Non ... ini saya, Ira. Masa Non lupa sama saya?" jelasku.
"Ira?" responsnya singkat.
"Iya, Non. Saya Ira, pembantu di rumah ini."
"Pembantu di rumah?" katanya lagi.
Aku pun mengangguk dua kali. Tak terasa, air mata turut ambil andil dalam suasana pagi ini. Wajah cantik seperti bidadari, sekarang berubah sangat kusam dan menyedihkan. Rasa tak tega tumbuh dari dalam lubuk hati paling dalam. Tanpa mampu memandang lagi, aku langsung memeluk wanita yang ada di depan mata.
"Ira ... kenapa nangis?" tanyanya.
"Non ... maafin saya, jika akhirnya Non harus keguguran karena kurangnya perhatian saya di rumah ini."
"Gugur? Apa yang gugur?" jawabnya.
Pelukan seketika kulepas, dengan air mata yang masih mengalir deras, aku menatap penuh hati-hati lawan bicara. Ia pun mendongak heran membalas tatapanku, dengan tangan kanan ia menghapus air mata di pipiku.
"Non, sekarang makan dulu, ya ... biar cepat sembuh." Selesai berkata, aku menyodorkan sesendok nasi padanya.
Ia pun menggeleng dua kali.
"Non ... makan, ya ... kalau enggak, nanti saya akan marah," cetusku.
Akhirnya, lawan bicara mengangguk. Sekian lama membujuk, pagi ini aku berhasil untuk merayunya dan ia makan sangat lahap. Mungkin jika ia diperlakukan dengan lembut maka ia akan bisa menurut, begitu pula sebaliknya.
Satu mangkuk nasi habis, air yang ada di atas meja juga habis ia minum. Perasaan ini pun menjadi sedikit legah.
"Non ... saya balik ke dapur lagi, ya ...."
"Jangan ...," ucapnya spontan.
"Bibi mau masak lagi. Nanti ... ketika kerjaan beres, pasti saya akan datang ke sini."
"Janji?"
"Ia, Non. Saya janji," timpalku.
Non Marissa pun memejamkan matanya. Kemudian, aku menutup tubuhnya dengan selimut berwarna putih. Setelah selesai memberikan makan, aku bergegas meninggalkannya. Sesampainya di depan pintu, kutoleh ke arahnya lagi.
"Non, semoga Allah memberikan kesembuhan. Serta bisa membuat Non sehat kembali seperti biasanya, amin ...."
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
AHMAD ARIANDI, S.M.
Thank u kk
2022-01-13
0
El_Tien
aku mampir lagi untuk mu kak
2022-01-13
0