Beberapa menit menunggu di depan pintu ruang UGD. Para dokter dan tenaga medis lainnya memasuki ruangan yang tengah merawat sang istri, kecemasan kembali menyergap diri ini. Merumuskan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam kepala.
Aku pun mondar-mandir di depan pintu ruang UGD. Tangan kanan menutup mulut yang terasa sangat keluh untuk diucapkan. Kemudian, beberapa menit menunggu. Seseorang membuka pintu ruangan dengan perlahan, ia adalah dokter yang sedang memberikan perawatan terhadap istriku.
Seketika pria berseragam serba putih itu menelan ludah beberapa kali. "Pak, ada yang ingin saya katakan tentang keadaan istri anda sekarang," ucapnya seraya menadahkan kepala menuju lantai.
Aku pun menatap mantap lawan bicara, sembari menanti akan ucapannya lagi. "Terus, Dok? Bagaimana dengan keadaannya?" tanyaku sangat penuh harap.
Ia pun menarik napas panjang lagi. "Begini, Pak. Istri anda ...," dokter pun mengantung ucapannya.
Dengan kedua tangan, kucengkeram kerah bajunya. "Apa yang terjadi pada istri saya, Dok! Tolong jangan gantung ucapan atau Anda akan menerima semuanya."
"Oke, Pak. Saya akan mengatakan kabar baik ini, kalau istri Anda sudah melewati masa kritisnya," lanjut dokter dengan wajah penuh kemenangan.
Aku menyentuh wajah dengan menggunakan kedua tangan. "Alhamdulillah ... ya, Allah ... engkau telah mendengar doa hamba."
Pria berseragam putih sebagai dokter rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo menyentuh pundakku perlahan. "Sekarang, Anda bisa menemui istri Anda. Tetapi jangan terlalu lama, biarkan ia beristirahat untuk memulihkan kembali tenaganya."
"Oke, Dok. Terima kasih," lanjutku.
Dengan wajah semringah, aku dapat mulai bisa menghirup udara segar. Ya, berjalan sangat perlahan melintasi para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya yang telah berbaris rapi seperti membentuk sebuah formasi bodyguard.
Duduk di samping kiri, meski selang oksigen sudah dilepas, Marissa tetap menerima infus dengan frekwensi yang sangat lambat. Kusentuh tangan kanannya, dan mencium beberapa kali.
"Sayang ... apa yang kamu rasakan saat ini?" kutanya dengan mengernyitkan kedua alis.
Akan tetapi Marissa tak menjawab. Ia malah membuang tatapan datar kepadaku. Seketika aku melanjutkan untuk menoleh kanan dan kiri ruangan UGD. Lalu, kembali membuang tatapan menuju para dokter yang masih memadati ruangan.
Aku berkata lagi. "Sayang ... kamu kenapa? Kok, kelihatannya bingung gitu?"
Kembali menanti untuknya mengeluarkan sepatah kata. "Kamu siapa?" tanyanya.
"Aku Revan. Suami kamu, Sayang."
"Enggak! Saya belum pernah menikah, kamu bukan suami saya," responsnya seraya menatap dengan ekspresi jijik.
Tak terasa, air mata keluar dari kedua bola mata. Rupanya, Marissa telah amnesia dan melupakan bahwa aku adalah suaminya. Kini, aku tak mampu tuk menambah episode kesedihan untuk hari ini.
Kedua telinga menangkap suara seseorang berjalan dua langkah. Kutoleh ke belakang, ia adalah dokter yang tengah menangani sang istri.
"Pak, coba Anda keluar dari ruangan sebentar. Biar kami yang akan memeriksa keadaan pasien," ujar dokter yang ada di belakang badan.
Seketika aku merubah posisi, berdiri tegap dan berjalan meninggalkan sang istri yang tak mau mencegah kepergianku.
Sesampainya di tempat duduk ruang UGD, aku kembali merasakan sebuah kepedihan, apalagi kalau bukan menafsirkan sebuah peristiwa yang telah terjadi saat ini.
"Tuan. Kok, enggak masuk ke ruangan," ucap seseorang yang sepertinya bersuara perempuan.
Kepala mendongak ke atas. "Bi, saya udah masuk ke dalam dan melihat keadaan Marissa. Akan tetapi ...."
"Tetapi apa, Tuan?" sosor Bi Ira sangat penasaran.
"Marissa amnesia. Ia tak ingat sama sekali dengan saya," lanjutku.
"Astaghfirullah ...."
Bi Ira duduk di sebelahku. Ia juga meneteskan air mata dan menangisi semua yang telah terjadi. Tiba-tiba, ponsel berdering sangat keras. Aku merogoh kantong celana untuk melihat panggilan yang datang secara tiba-tiba.
'Siska, ada apa lagi ia menelpone-ku. Bukankah aku tadi udah bilang kalau enggak bisa masuk kantor, kenapa lagi dengannya?' batin berkata.
Karena aku juga tidak sedang sibuk, akhirnya aku mengangkat telphone-nya dan beranjak meninggalkan tempat duduk.
Sampailah di sebuah ruangan dengan portal yang bertuliskan 'Ruang Bedah' seketia Siska mengerocos tanpa henti.
[Hallo, Bos.]
[Ya, hallo, Sis.]
[Bos, maaf saya menelphone. Soalnya ini berita penting banget untuk disampaikan.]
[Berita apa, sih, Sis? Enggak bisa kalau besok aja kamu ngomongnya.]
[Ini soal perusahaan, Bos. Proyek kita menang tender. Dan para perusahaan berani memberikan investasi terbesar mereka untuk kemajuan perusahaan kita. Kurva keuntungan perusahaan kita juga melesat, menjadi seratus kali lipat dari keuntungan yang biasanya.]
[Sempurna ... kerja kalian patut diberikan sebuah apresiasi.]
Aku pun memberikan tepuk tangan pada sekretaris terbaik yang bekerja maksimal di perusahaan. Ya, Siska adalah karyawan yang paling bisa diandalkan soal bisnis. Sejak kehadirannya di perusahaan, mampu mendobrak perekonomian dalam menyusun taktik dan strategi pasar masa kini.
[Bos, bagaimana kelanjutan untuk proyek ini?] tanyanya.
[Jadi gini, Sis. Kamu kumpulkan semua karyawan perusahaan. Berikan pengumuman pada mereka untuk berkumpul di rumah saya—lusa, karena kita akan menggelar sebuah pesta keberhasilan ini. Bagaimana?]
[Baik, Bos. Saya akan memberitahukan para karyawan semua agar datang ke sebuah acara yang, Bos adakan— lusa.]
[Oke, terima kasih, Sis.]
[Sama-sama, Bos.]
Seketika telphone mati. Di satu sisi, aku merasakan kesedihan. Akan tetapi di sisi lain, aku merasakan kebahagiaan.
Sempat terpikir dalam waktu singkat bahwa Siska cocok untuk dijadikan istri kedua, mungkin ia bisa memberikan aku keturunan nantinya. Namun, aku juga masih mencintai Marissa dan telah berjanji untuk menemani hidupnya hingga akhir hayat.
Begitu pun pada kedua orang tuanya dahulu. Aku sudah berjuang mati-matian demi mendapatkan cintanya, hingga mengorbankan agama untuk masuk Islam demi Marissa. Akan tetapi jika dipikir-pikir, kapan lagi aku punya keturunan.
Apalagi, Marissa sudah tiga kali gagal dalam mengandung janin. Bisa-bisa peluang untukku memiliki buah hati sangat kecil.
Tanpa menunggu lama, aku beranjak dari depan ruang bedah dan kembali menuju kursi tunggu. Menarik napas panjang dan menelan ludah, kemudian kutatap mantap menuju sebuah ruang UGD.
Seraya melirik menuju sang istri yang sudah tertidur pulas. Aku pun membatin, 'Sayang ... kenapa kamu bisa lupa padaku. Bukankah, aku adalah suamimu selama ini. Mau sampai kapan kamu amnesia dan terus-terusan hilang ingatan.'
Tak lama, suara azan berkumandang. Aku pun menatap arloji di tangan kiri seraya memastikan bahwa waktu salat zuhur telah tiba. Berjalan dengan langkah kaki yang sedikit lambat, kubasuh wajah dengan air wudu dan dengan segera memasuki musala yang tersedia di rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo.
Setelah selesai kumandang azan, aku menunaikan empat rakaat siang ini. Seraya menyisipkan doa di tiap lantunan bait-bait ayat suci alquran yang kusebut dalam sebuah ungkapan isi hati.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ. اَللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِىْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ
"Ya, Allah. Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu keselamatan ketika beragama, kesehatan badan, limpahan ilmu, keberkahan rezeki, taubat sebelum datangnya maut, rahmat pada saat datangnya maut, dan ampunan setelah datangnya maut."
"Ya Allah, mudahkanlah kami dalam menghadapi sakaratul maut, berikanlah kami keselamatan dari api neraka, dan ampunan pada saat hisab."
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments