Revan POV
Pagi ini sangat indah, terik matahari bersinar sangat terang seakan menembus melalui jendela kaca balkon rumah. Tepat di mana acara pernikahan akan segera berlangsung beberapa jam lagi, aku bergegas mengenakan jas pengantin berwarna hitam. Setelah rapi, tak lupa untuk menyemprotkan parfum di seluruh bagian badan.
Wangi sangat memesona membuat aku jatuh cinta pada penampilanku kali ini. Tak henti-hentinya kedua bola mata menatap mantap cermin berbentuk segitiga. Dengan tangan kanan, aku menyisir rambut beberapa kali. Memakan waktu hampir tiga puluh menit, akhirnya semua telah selesai.
Pernikahan tidak berlangsung di rumah. Akan tetapi, kami memilih gedung serba mewah yang ada di pusat kota. Sementara di rumah juga ada Marissa, apa kata orang-orang nantinya jika aku menikah lagi sedangkan sang istri masih dalam keadaan gila.
Langkah kaki membawaku untuk segera keluar kamar, berjalan santai sambil bersenandung tanpa henti.
Tepat di sebuah koridor yang menghubungkan antara ruangan tamu menuju kamar—Marissa. Seketika aku berhenti dan memalingkan posisi tatapan menuju pusat penglihatan.
Pintu menuju akses ke ruang bawah tanah itu terbuka lebar, mungkin karena Bi Ira sedang memberi makan sang istri yang aku pasung beberapa minggu lalu.
Hati dan perasaan seketika sangat bimbang, kemudian aku membatin. 'Marissa sedang apa, ya, di sana? Tiba-tiba aja kangen ini memyergap. Ah, apa salahnya jika aku meminta izin dan doa restu pagi ini. Agar suatu saat nanti ia enggak begitu terkejut kalau aku telah menikah lagi.'
Menelusuri anak tangga yang terbuat dari susunan semen, begitu terjal dan langkah pun harus ekstra hati-hati. Dari ambang penglihatan, Bi Ira sudah ada di sana menyuapi sang istri penuh dengan kasih sayang.
Tanpa ada berontak, sepertinya Marissa sudah sedikit tidak anarkis seperti biasanya. Sedikit demi sedikit, langkah kaki sampai di pusat lokasi.
Aku pun berhenti seraya menatap lirih sang istri yang masih terpasung sangat kencang, pergelangan kakinya tampak memerah karena bekas dari belenggu rantai dan besi sebagai alat pengunci pergerakannya. Seraya menadahkan kepala, aku kembali berjalan.
Sampailah di samping wanita yang dulu pernah menjadi bidadari di hidupku. Akan tetapi, saat ini berubah tiga ratus enam puluh derajat, kecintaan itu perlahan sirna dan digantikan oleh Siska yang telah berhasil merajai hati ini.
Bi Ira mendongakkan kepalanya, ia pun berkata. "Tuan ... rapi benget pagi ini, emang mau ke mana?" tanyanya, lalu wanita paruh baya itu meletakkan piring di pangkuannya.
"Saya hari ini akan menikah dengan Siska, Bi." Setelah menjawab, kemudian tatapan berpaling menuju lantai.
"Astaghfirullah ... Tuan. Nyonya sedang sakit seperti ini, tetapi Tuan tega menikah lagi?" katanya dengan menaikkan nada suara.
"Bi, saya enggak punya pilihan lain. Siska sedang mengandung anak saya sekarang, kalau tidak segera saya nikahi, apa kata orang-orang."
Bi Ira pun menyambar. "Tuan, ingat karma. Kalau Allah enggak tidur, suatu saat nanti pasti akan ada pembalasan akan semua yang Tuan telah lakukan."
"Saya tidak perduli dengan karma, karena sampai saat ini Marissa tak bisa memberi saya keturunan. Ia bukan wanita yang sempurna, apa salah kalau saya cari penggantinya!" hardikku seraya menunjuk wajah Marissa yang sedang mendongak ke atas langit-langit.
Seketika suasana sangat hening, wanita paruh baya yang aku sudah anggap sebagai ibu kandung justru membela— Marissa—istri gila itu. Seraya mengubah posisi jongkok, aku pun menatap wajah sang istri dari jarak dua puluh senti meter.
Menggunakan tangan kanan, aku mengelus rambut wanita yang sedang menadahkan kepalanya. "Mar, hari ini saya akan menikah. Please ... berikan doa restu itu pada saya. Kelak, jika ingatan kamu udah pulih. Kita akan hidup rukun kembali, akan tetapi kalau kamu tetap tidak bisa sembuh. Pasung ini akan menemanimu hingga akhir maut yang membawamu pergi selamanya."
Sang istri membuka perlahan mulutnya, mungkin ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, selama ini ia berkata hanya mengandalkan halusinasi tak tentu arah. Mungkin kali ini aku bisa pastikan kalau wanita gila di samping kiri bakal mengatakan hal yang sama.
"Mas, suatu saat nanti kita akan bertemu dalam sebuah permainan yang sesungguhnya. Untuk saat ini, kamu berhasil membuat saya seperti sampah. Ingat ucapan saya untuk tujuh belas tahun yang akan datang, kamu akan merasakan sepuluh kali lebih sakit dengan apa yang terjadi hari ini."
Mendengar ucapan itu, aku menarik napas. Kedua bola mata mulai berkaca-kaca, akhirnya Marissa mulai bisa mengingat sedikit demi sedikit apa yang sedang terjadi.
Karena aku tak mau berlama-lama di tempat kumuh tersebut, akhirnya posisi badan berubah menjadi berdiri tegap dan melangkah pergi.
"Aku bersumpah demi langit dan bumi yang sedang menyaksikan saat ini, suatu saat nanti kau akan merasakan apa yang aku rasakan, Mas."
"Dasar perempuan gila! Terlalu banyak mengkhayal kamu, Mar. Berjalan aja enggak bisa mau menyumpah saya, ha ha ha ...," cibirku seraya membuang ledekkan padanya, dengan menatap tajam menuju arloji di tangan kiri, aku meninggalkan kamar yang terletak di bawah tanah.
Di sepanjang jalan, aku hanya membayangkan kata-kata sang istri yang mulai konyol. 'Untuk berdiri tegak saja ia tak mampu, pakai acara mau balas dendam. Barang kali katak saja akan tertawa mendengar ucapannya itu,' batinku berkata.
Sesampainya di halaman rumah, aku memasuki mobil dan segera meluncur ke lokasi ijab kabul. Tempat yang sudah aku bayar mahal serta hiburan dari artis-artis mancanegara juga turut ambil andil dalam momen bahagia pagi ini. Memakan waktu hampir dua puluh menit, akhirnya aku sampai di depan pusat lokasi.
Para tamu sudah memadati halaman dan beberapa ada yang telah menghambur masuk. Sebagian dari mereka sudah duduk di kursi bernuansa serba merah. Dengan menggunakan kedua tangan, aku memperbaiki jas hitam dan mendekat menuju para saksi dan penghulu berkopiah. Serta, dibalut serban putih.
Jantung berdetak sangat kencang, karena ini adalah momen paling bahagia seumur hidup. Sebelum menikah, aku sudah memiliki anak dalam kandungan Siska, tak seperti Marissa yang tidak becus menjadi seorang istri. Dengan menarik napas panjang, aku menatap mantap sebuah mobil yang telah berhenti di ambang pintu.
Siska pun datang bersama dengan sanak saudaranya, ia berjalan sangat anggun dan cocok sekali memakai mahkota berwarna biru muda itu. Apalagi gaun pengantinnya juga sangat mahal dan bagus, menambah nilai lebih untuk diri ini memandang tanpa jemu.
Yang aku herankan saat ini adalah, mengapa—ibu kandung—Siska tak ikut menghadiri pernikahan putrinya. Karena aku pun tak ingin ibunya yang kampungan itu hadir, sehingga diri ini tetap stay cool dan menanti ikrar itu cepat terlaksana.
Akhirnya, Siska sampai di hadapanku. Ia mengedarkan senyum semringah dan sesekali menadahkan wajah menuju lantai.
Dari samping kiri, penghulu berkata. "Apa acaranya bisa kita mulai sekarang?" tanyanya.
"Bisa, Pak, kita mulai aja sekarang," sambarku seraya menatap lawan bicara.
Kemudian, para saksi pun duduk di tempat yang telah tersedia. Pak penghulu juga duduk berhadapan denganku saat ini, ia menyodorkan tangan kanannya dan tangan sebelah kiri memegang microphone.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
"Saya nikahkan engkau, Ananda Revan Maulana Rikas Santoso Bin Jamaluddin Maulana Rikas Santoso dengan Siska Veronika Anastasya Binti Sulaiman, dengan emas kawin lengkap, uang tunai dan satu buah mobil dibayar tunai."
Aku pun menjawab dengan lantang.
"Saya terima nikahnya, Siska Veronika Anastasya Binti Sulaiman, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?" tanyanya pada ketiga saksi. Dan ia pun menoleh ke arah akan dan kiri.
"Sah ...," ucap ketiga saksi diikuti dengan para tamu yang berada di sekitar ijab kabul.
"Alhamdulillah ...," timpal pak penghulu lagi.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ ، وَأَعُوْذَ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Latin:
Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltahaa alaih.
Artinya:
"Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan atas yang Engkau ciptakan." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah).
Selesai membaca doa, aku menyodorkan tangan kananku pada istri sah di samping. Ia pun meraih dan mencium sangat lembut. Sebagai respons, lalu kukecup keningnya penuh dengan kasih sayang.
Selang beberapa menit, kami pun bergegas menuju pelaminan dan akan melakukan pemotretan untuk mengabadikan sebuah momen indah hari ini. Tampak para pengunjung yang datang dari kalangan karyawan atau pun dari CEO terkaya tanah air memadati acara, mereka pun berbaris rapi menaiki pelaminan dan memberikan doa untukku saat ini.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments