Derungan kencang dari mesin mobil balap yang ditancap dengan kecepatan penuh. Mengejar waktu untuk segera berada di sisinya yang saat ini sedang mengalami kritis. Cynthia bertahanlah.
Melesat bagaikan peluru, menyalip mobil-mobil di depan. Yonglex menghubungi seseorang. Tiba-tiba dua mobil polisi memberikan pengawalan, mengiringi mobil ini, membuka jalan hingga sampai ke rumah sakit lebih cepat.
Suara decitan keras rem mendadak terdengar. Aku berlari ke dalam mencari Cynthia yang sedang ditangani. Berada di depan ruang operasi, lampu merah masih menyala. Pertanda operasi masih dilakukan. Sudah dua jam menunggu, kenapa operasinya lama sekali. Aku berharap, para dokter itu bisa menyelamatkannya.
Hingga lampu hijau menyala. Seorang dokter keluar dari ruangan itu. Aku mendekatinya.
“Mr. Henry…,” Seru dokter itu sembari melepas masker dan penutup kepalanya.
“How is she, doctor?” tanyaku berharap sangat cemas. Meskipun wajahku mungkin terlihat biasa saja, namun sebenarnya aku sungguh merasa sangat takut saat ini. Aku takut kehilangan dirinya.
“The carotid artery almost severed, due to a knife stroke. But we success to handle it,” terang dokter itu. Pembuluh arteri karotis Cynthia hampir putus, untung saja dokter bisa mengoperasinya dengan lancar, meskipun banyak kehilangan darah.
“Thank God, may i see her?” pintaku pada dokter untuk menemaninya. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan dan dokter yang menangani.
“Alright, after she’s been transferred to recovery room,” ucap dokter itu sembari tersenyum. Aku dibolehkan menemaninya, setelah Cynthia dipindahkan ke kamar pemulihan.
Aku mengucapkan terima kasih dan menjabat tangannya. Bahuku terasa sakit, baru terasa sekarang.
“Your shoulder is bleeding, you have to treat it,” imbuh dokter itu. Sembari melihat perdarahan yang cukup parah. Bahuku harus diobati, dokter itu memaksa.
“Later, I’m fine,” timpalku. Meskipun rasanya semakin nyeri.
“No, what if the infection? Don’t worry about her, she will handled well,” saran dokter itu meyakinkan. Sembari memaksaku untuk segera memeriksakan bahu. Dokter itu kuatir terjadi infeksi, jika bahu yang terserempet timah panas tidak segera diobati.
***
Di ruangan IGD, dokter mengobati bahu yang terserempet peluru. Untung saja hanya menyerempet tidak bersarang di sana, ucap dokter itu. Tiba-tiba Yonglex menghampiri untuk melaporkan soal rapat besar.
Yonglex mendapatkan telepon, jika rapat pemegang saham akan dilaksanakan esok hari. Aku menjawabnya dengan tegas, “Tunda! Jika mereka masih melaksanakannya besok, mereka akan kehilangan diriku,” gertak Henry. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan, yang terpenting saat ini hanya kesembuhan Cynthia.
“Sampai kapan, Bos?” tanya Yonglex yang masih menggenggam ponselnya menempel pada telinga.
“Selama mungkin sampai aku melihatnya baik-baik saja,” jawabku. Akhirnya Cynthia keluar dari ruangan operasi dan dipindahkan ke sebuah kamar VIP. Aku mengikutinya hingga ke kamar.
***
Melihat seseorang yang kucintai terluka dalam keadaan nestapa, hanya terbaring lemah. Rasanya ingin kuhancurkan dunia dalam sekali genggaman. Namun, jika kulakukan apa Cynthia akan segera sadar. Sekuat apapun seorang laki-laki, jika tidak bisa melindungi wanitanya, jangan sebut aku “laki-laki” [Henry Elfred, RS London]
Menemaninya di sisinya dengan perasaan bersalah, aku sangat menyesal, semuanya terlambat kucegah. Pikiranku teralihkan karena harus menyakinkan para komisaris dan pemegang saham. Hingga, sebentar saja melupakanmu Cynthia. Sungguh, sedetikpun aku tidak bermaksud untuk itu.
Aku hanya ingin menyelesaikan semua ini, agar bisa segera kembali menemuimu.
Tidak kusangka, Paman Karl mengambil kesempatan dari kelemahanku. Ketika berada jauh darimu, kukira sudah menutupi identitas Cynthia dengan sangat hati-hati.
Yonglex datang membawakan secangkir kopi yang dibelinya disebuah café dan croissant sandwich. Aku tersenyum melihatnya.
“Ada yang lucu Bos?” tanya Yonglex penasaran. Sembari meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja.
“Mungkin Cynthia akan menyukainya? Croissant sandwich,” celoteh Henry sembari tersenyum melihatnya.
“Bos, kepolisian belum berhasil menemukan mayat Steven,” imbuh Yonglex. Aku memerintahkannya untuk mencarinya hingga ketemu.
“Kabari terus!” seruku dengan mata di dahi. Mataku hanya terpatri pada Cynthia yang masih saja belum sadar.
Ketika Yonglex akan keluar dan berjaga-jaga di pintu. Aku memanggilnya, menanyakan sesuatu.
“Bagaimana keadaan Paman? Apa dirinya terluka?” tanyaku.
“Paman Karl saat ini berada di penjara … dan keadaannya baik-baik saja hanya cedera ringan,”
Aku hanya memberikannya anggukkan, syukurlah.
“Bos, saya minta maaf karena terlambat mengetahui rencana Mr. Jack dan Paman Karl. Saya tidak mencurigainya jika mereka akan bersekongkol,” dirinya merasa gagal dan bersalah.
“Kalau begitu kamu harus menebusnya di lain waktu.” sembari memberinya perintah untuk keluar. Aku hanya ingin berdua saja dengan Cynthia.
“Jangan, jangan lakukan itu. Berhenti, jangan tembak,” keluh Cynthia dalam tidurnya. Kepalanya menggeleng cemas, Cynthia mengalami mimpi buruk. Aku melihat dirinya gelisah, berkeringat dan mengigau. Suaranya tidak begitu terdengar, seperti serak akibat pembuluh darah arteri karotisnya yang hampir putus.
“Cynthia, aku di sini, tenanglah,” ucapku lembut sembari mengusap keringatnya.
“Steven, jangan tinggalkan aku. Steven … kembalilah. Aku takut,” keluhnya lagi mengigau.
Hingga pukul 05.00 pagi, Cynthia baru saja bisa tertidur pulas. Semalaman mengingau tidak karuan, memikirkan Steven. Aku mendengar jelas namanya disebut berulang-ulang, kekhawatirannya pada keadaan Steven.
“Aku akan menemukan Steven untukmu Cynthia, tenanglah,” ujarku sembari memegang handuk bekas keringatnya yang terus menerus mengalir. Bahkan, airmatanya tidak hentinya membasahi wajahnya. Aku semakin menyesal dalam kesedihan ini.
Merasakan handuk yang basah atas keringat dan airmatanya, sembari menunduk, kelenjar airmata ini mulai memproduksinya hingga menetes butir-butir tetesan berwarna keruh. Sudah lama sekali aku tidak pernah menangis. Ketika menghilang di hutan.
***
Usiaku saat itu 7 tahun, sedangkan Jack 15 tahun. Diajaknya bermain ke hutan sembari mengajariku menembak tupai. Sangat menyenangkan menyusuri hutan, untuk pertama kalinya merasa takjub dengan apa yang kulihat. Aku merasa sangat kecil di dalamnya. Pohon-pohon yang sangat tinggi hingga menyentuh matahari, mereka berbicara satu sama lain dengan hembusan. Berdansa dengan alunan angin yang menerpa. Bahkan, burung-burung yang hinggap di dahan, disapanya hingga betah.
Seekor tupai melompat sangat jauh dari dahan ke dahan yang berbeda, seperti sudah biasa. Ini taman bermainnya. Aku sungguh terpukau dengan tupai itu, hingga Mr. Jack menembaknya dengan senapan angin. Tupai itu terluka, jatuh ke tanah.
Aku berlari mendekatinya, tupai itu masih hidup meskipun kesakitan. Mr. Jack mengarahkan senapannya lagi kearah tupai. Aku segera mengangkatnya dan menyembunyikan dengan kedua tangan.
“Aku akan membawanya pulang, jangan tembak tupai ini lagi,” ucapku padanya. Namun Mr. Jack tidak menurungkan niatnya dan masih saja mengarahkan senapan itu.
Aku memohon padanya beberapa kali untuk tidak menembaknya. Tiba-tiba mata senapan itu mengarah padaku. Sepertinya sejak tadi Mr. Jack membidikku bukan tupai ini. Tubuh ini gemetar ketakutan, hingga hampir berkemih di celana.
“Jack … Jack, apa yang…,” ucapku ragu dan takut. Matanya sangat menakutkan, seperti mengancam. Rautnya berubah tidak seperti biasanya. Tiba-tiba, terdengar suara “Daarr” melesat dari senapan itu seperti slow motion aku bisa melihat peluru itu keluar dari selongsong. Tertembak di dada, mengeluarkan darah. Meringis dengan tupai yang masih kupeluk.
Mr. Jack, mendekatiku dan mengarahkan senapan itu sekali lagi ke kepala. Sembari berkata, “Aku membencimu, Ayahku lebih sayang padamu,” keluhnya dengan raut kebencian.
“Daaarrr ….” Peluru itu mengenai wajah. Di dekat mataku mengalir darah, aku tersungkur ke tanah. Mr. Jack berlari kencang meninggalkanku di hutan. Aku menoleh kearahnya pergi, airmata ini mulai mengalir. “Kenapa semua orang membenciku?” keluhku dalam hati.
Aku hanya terbaring dengan atap pepohonan yang menutupi matahari. “Kalau begitu aku akan mati saja di sini.” sembari menutup mata dan membiarkan kesakitan ini mendera.
***
Membuka mata, matahari menghilang digantikan rembulan. Hutan ini tampak berbeda penampilannya. Suaranya tidak seceria pagi, rasanya hampa seperti aku. Aku mencari tupai itu, tubuhnya sudah dingin dan kaku. Mencari kayu dan mulai menggali, “Aku akan menguburmu, kawan,” ucapku pada tupai.
Hingga galian itu cukup dalam untuk menutupinya, kuletakkan bangkainya kedalam hingga tertutup rapat dengan tanah. Aku bangkit dan mencari jalan pulang, hingga tidak sampai-sampai seperti harapan. Seakan berputar-putar melewati tempat yang sama. Aku tersesat sendirian, hingga terjerembab dalam lereng yang tidak terlihat.
Berguling-guling hingga berhenti sendiri, tulang keringku terbentur batu. Membuatnya terasa sakit untuk berjalan. Aku mulai menangis kencang berharap ada yang datang.
Malam semakin dingin, tubuh ini menggigil meringkuk sembari menarik dahan kering bagai selimut. Suara lolongan anjing hutan dan binatang malam terasa menakutkan. Aku ingin pulang, berada di kamarku akan terasa nyaman saat ini. “Aku hanya ingin pulang,” ucapku berkali-kali.
Hingga keesokan harinya.
Neeeiiighh!
Neeeiiighh!
Suara ringkikan, lengkingan yang membangunkanku. Jilatan lidahnya yang dingin meraba wajahku. Aku terkejut melihat kuda hitam dengan matanya yang besar. Dikibas-kibaskan rambutnya yang panjang seakan menanyakan keadaanku. Sontak aku terperanjat takut, karena kuda ini liar.
Perlahan kuda itu mendekat dan menyudutkanku ditepian lereng. Menatapku dengan matanya yang indah, membuatku tersenyum. Kuberanikan diri untuk menyentuh wajahnya dan membelai rambutnya.
Kuda itu membungkuk seakan mengajakku untuk naik keatasnya. Aku berusaha berdiri dan perlahan menaikinya. Kuda itu membawaku pulang dengan selamat. Mulai saat itulah, aku menamainya Braco dan menjadi teman sejatiku.
Tersadar dari ingatan masa lalu.
***
Hari sudah pagi, dokter datang memeriksa. Cynthia belum juga sadar meskipun kondisi fisiknya membaik. Aku menanyakan keadaannya ketika dokter memeriksa bekas operasinya.
“Doc, she went delirious overnight, is that a normal sign?" tanyaku tentang mengingaunya semalam. Aku kuatir keadaannya memburuk.
“What she experienced was very bad. It seems like she was traumatized. Comfort and support her,” terang dokter sembari menepuk bahu Henry, memberinya dukungan. Aku akan mengikuti saran dokter untuk selalu membuatnya nyaman.
Sebelum meninggalkan ruangan dokter itu menasehati agar menjaga kesehatan. Sebab, seseorang yang sedang menjaga pasien harus dalam kondisi sehat dan prima. Lalu, Yonglex datang membawakan sarapan. Aku menyantap makanan yang di bawa olehnya, setelah mendengar ucapan dokter itu.
Cepatlah pulih Cynthia.
***
Berikan like, vote, rate 5, tambahkan ke favorit dan komen yang banyak ya )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Jeng Anna
Berasa spt di London beneran, thor....makasih, karyamu bagus sekali. Semoga yg like makin banyak, mgkn belom tau aja klo ada novel bagus
2020-08-26
0
yulia ari
semangatt terus kak, mampir di Istri Keduaku Adalah Cinta Pertamaku yaa lagi ada yang Bucin 🙏😍
2020-07-23
1
Angela Jasmine
Semangat 👍👍
2020-07-16
1