Suara baling-baling helikopter yang berputar keras dan meninggi, terngiang di telinga membuat semakin nyeri luka di kepala. Masuk ke dalam helikopter itu, tubuhku diletakkan dalam sebuah kursi dan dokter yang sudah siap memeriksa. Setelah itu aku tidak ingat lagi.
Membuka mata dengan penglihatan berkunang-kunang, semuanya masih bias. Memandangi sudut ruangan yang asing dengan foto-foto keluarga menempel pada dinding-dindingnya. Rak yang penuh dengan piala-piala dengan lambang kuda tertera. Belum jelas kemenangan siapa dan kejuaraan apa itu.
Aku bangun dan terduduk dengan balutan perban di belakang kepala. Rasanya kepala ini ingin pecah, namun ada tugas yang harus kuselesaikan. Mengantar Cynthia padanya dengan selamat.
Terdengar jeritan kuda dan suara seseorang yang terdengar bersemangat. Euphorianya menggugah rasa penasaranku untuk melihatnya. Mendekati jendela dengan tirai tertutup, perlahan menyibaknya. Sinar mentari yang langsung menyilaukan, membuat mataku memicing ngilu.
Sepertinya penglihatanku menjadi sensitif setelah benturan di kepala ini.
Perlahan melihat pemandangan, sebuah lahan rerumputan berhektar-hektar dengan sekat-sekat pagar kuda-kuda indah di dalamnya.
Properti milik siapa ini? Benar-benar usaha yang cerdik.
Memastikan piala-piala yang terpampang di sana, tertera nama Henry Elfred, kejuaraan berkuda sejak kecil. Sungguh aku tidak tahu masa kecil Henry dibesarkan di tempat seperti ini. Bahkan, properti ini sepertinya tidak terdaftar atas kekayaan miliknya atau keluarganya. “Sungguh cerdik!”
Berjalan keluar dari kamar menuju pintu utama. Pondok kayu dengan interior modern yang membuatnya sangat indah dan elegan. Kayu Jati dan Mahoni yang membuatnya kokoh dengan ukiran-ukiran unik menjadi penghias utama setiap ruangan dan bau khas dari gaharu yang semerbak diseluruh ruangan.
“Aku ingin tahu di mana saat ini berada?” sembari memeriksa jaket yang berada dibangku, robek diseluruh bagiannya bahkan meleleh. Mencari ponsel di kantungnya, namun tidak ada.
Bagaimana ini, aku kehilangan benda penting itu.
“Mencari ini Tuan?” tanya seorang pelayan kebersihan.
“Ah … iya itu sepertinya ponselku.” Menoleh padanya, sembari mengambil dari tangannya.
“Di sini tidak bisa menggunakan ponsel karena menggunakan peredam pemancar jaringan,” timpal pelayan itu lagi.
“Apa? kenapa?” aku sedikit heran.
“Tuan Henry dibesarkan di sini oleh Ayahnya Mr. Jack, rumah ini memang khusus untuk melindungi keluarga Elfred, terutama yang dianggapnya sebagai keluarga,” ucap pelayan itu sembari pergi karena Mr. Jack melihatnya berbicara terlalu banyak dengan Steven.
“Kamu sudah sadar?” tanya Mr. jack yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Cynthia ikut bersamanya yang sejak tadi diajarkan menunggang kuda.
“Apa di sini tidak bisa menggunakan ponsel sama sekali?” tanyaku penasaran.
“Kalau kamu mau menghubungi seseorang akan kuberikan alatnya. Namun, tidak ada yang akan bisa mengetahui keberadaan lokasi ini,” imbuh Mr. Jack.
“Aku hanya perlu menanyakan soal David temanku … yang keber …,” ucapannya terpotong.
“David sudah kami kubur dengan layak, temanmu sudah tewas ditembak dalam bungkusan plastik di belakang mobil,” jawab Mr. Jack.
“Apa?” Steven terperanjat tidak percaya. Tubuhnya menahan amarah hingga bergetar.
“Aku mau bilang padamu, jika yang kulihat itu mayat terbungkus plastik,” ucap Cynthia menjelaskan.
Steven langsung berlari keluar dan tersungkur ke tanah. Sembari berteriak kencang melepaskan penyesalannya dan kemarahannya.
“Kenapaaaa!” Steven merasa geram hingga memukul-mukul tanah beberapa kali, melampiaskan kemarahannya ke bumi.
Cynthia berada di belakangnya dan bingung, tidak sanggup menenangkannya. Mr. Jack memberikan kode padanya untuk membiarkan Steven meluapkan emosinya.
Steven semakin marah dan berjalan tanpa arah. Cynthia memanggilnya beberapa kali, namun tidak digubrisnya. Dirinya hanya semakin larut dalam kesedihan dan kemarahan sekaligus. Kehilangan teman dengan cara biadab seperti ini tidak bisa ditangkap dengan akal sehatnya. Terlebih Steven sangat marah pada dirinya yang melibatkan David ke dalam masalahnya.
Steven menangis dan meraung-raung mencari pelampiasan hingga dirinya berada di lumbung jerami. Semuanya dibuat berantakan hingga seluruh kuda ketakutan dan melenggang pergi. Berteriak dan murka, hingga tidak bisa lagi menatap langit. Tertunduk tak berdaya seperti terhujam ribuan pisau yang menusuk jantung.
Rasanya sakit tanpa bisa melawan. Steven semakin bingung dengan situasi ini lalu bangkit dan menunggangi salah satu kuda. Memecutnya hingga berlari sangat kencang. Steven pergi entah kemana kuda itu membawanya.
“Steven, tenanglah … Steven, kamu mau kemana?” Cynthia berusaha mencegahnya yang berlari mengejarnya.
***
Hari sudah gelap, namun Steven belum juga pulang. Cynthia semakin khawatir dengan dirinya karena lukanya belum sembuh betul.
“Mr. Jack kemana kuda itu membawanya?” tanya Cynthia sembari melihat arah kepergian Steven. Berharap kuda itu membawanya kembali.
“Mungkin ke tempat biasa kami melepasnya di dataran sana, tempat yang sangat liar dikelilingi hutan-hutan yang belum terjamah. Atau kuda itu akan membawanya kembali jika sudah lelah,” jawab Mr. Jack sembari meneguk kopi panasnya.
“Tenang saja, Steven akan kembali dengan kuda itu,” sambungnya lagi.
“Tapi ini sudah malam, bagaimana jika kuda itu tidak bisa membawanya pulang?” Cynthia yang benar-benar khawatir.
“Braco adalah kuda kesayangan Henry, kuda itu akan membawanya pulang. Yakinlah!” sembari masuk ke dalam rumah.
Pikiran Cynthia tidak bisa tenang karena waktu semakin malam. Bagaimana jika kuda itu terluka dan tidak bisa membawanya pulang. Dirinya memutuskan untuk menunggangi sebuah kuda berwarna putih bernama Wine.
"Wine, kamu mau kan membantuku mencari Steven?" ucap Cynthia berbicara pada Wine. Wine seakan mengerti ucapannya dan menganggukkan kepala.
***
Meneriakkan beberapa kali namanya, namun suara gaungan itu terdengar tanpa balasan. Menghiasi malam dan memecah kesunyian malam. Baru kali ini Cynthia berjalan di tengah hutan yang gelap dan hanya sinar rembulan menerangi. Hanya sebuah senter yang dibawanya sebagai bekal perjalanan.
Suara hewan malam dan sorot matanya yang membuat merinding bulu kuduk. Dimana Steven berada. Memanggil namanya lagi, hingga terdengar suara ringikan kuda dikejauhan.
“Braco?” teriak Cynthia. Mungkin saja kuda itu akan menjadi panggilannya.
Ternyata dirinya hanya salah mendengar. Tidak ada kuda disekitar, mungkin hanya suara angin. Tiba-tiba hujan turun dengan deras, Cynthia bingung untuk meneruskan perjalanan atau kembali. Namun, memutuskan untuk mencari tempat teduh.
Kuda ini seakan menggiringnya ke suatu tempat.
“Apakah kamu tahu tempat berteduh?” Cynthia bertanya kepada kuda ini sembari mengelus kepalanya.
Kuda itu seakan paham ucapannya dan membawa Cynthia keluar dari hutan.
“Kuda pintar,” sanjungnya sembari memberi belaian.
Derasnya hujan membuat seluruh tubuhnya basah kuyup. Cynthia kedinginan dan mengigil terlebih angin sangat kencang. Tiba-tiba dikejauhan memancar sinar dari sebuah cahaya yang menuntunnya kesana.
Sebuah gubuk kayu dengan lampu minyak yang menjadi sumber pencahayaan membuatnya paling bercahaya di tengah hutan. Sesampainya, Cynthia mengingat tali pengekang kuda ditiang
gubuk, dirinya terkejut ketika melihat Steven yang berada di sana.
“Steven! Aku mencarimu kemana-mana?” keluh Cynthia. Steven mempersilahkan dirinya untuk masuk ke dalam menghangatkan diri.
Sebuah perapian yang dibuat Steven baru saja berhasil terbakar. Ruangan yang lebih hangat ketimbang di luar.
“Kamu pasti kedinginan, aku akan membuatkan sesuatu yang hangat,” ucap Steven sembari mengambil gelas satu lagi untuknya.
“Gubuk apa ini?” tanya Cynthia penasaran.
“Sepertinya ini gubuk rahasia Henry … aku melihat beberapa diary-nya di sana dan perlengkapan makanan kaleng yang sangat lengkap untuk keperluan darurat.” Sembari memperlihatkan catatan kecil penuh dengan tulisan Henry.
“Kenapa Henry ada di tengah hutan sendirian?”
“Kupikir, sejak kecil Henry sangat kesepian dan merasa ketakutan karena banyak yang ingin menculiknya. Aku sudah membaca beberapa, ini adalah tempat persembunyian Henry agar dirinya merasa lebih aman.”
“Bahkan Mr. Jack tidak bisa menemukan tempat ini,” ucap Cynthia membaca catatan kecil milik Henry.
“Ya, kupikir begitu!” tambah Steven.
Sembari memberikan segelas teh panas dan selimut tebal untuk Cynthia. Steven menyarankan agar dirinya menjemur pakaiannya yang basah.
“Apa? aku tidak mau!” jawab Cynthia tegas.
“Terserah, jika kamu ingin terserang pneumonia,” gertak Steven.
Cynthia memikirkannya dalam-dalam dan akhirnya mengikuti saran Steven.
“Berbaliklah aku akan melepas pakaian,” tutur Cynthia malu.
“Hmm ….” Steven berbalik tidak melihat.
Dengan membalut tubuhnya dengan selimut tebal dan sebuah kaos kaki besar milik Henry yang sudah lama berada di kotak rahasianya bersama catatan kecil itu. Cynthia merasa lebih dekat dengan Henry setelah mengetahui masa kecilnya. Duduk di perapian dengan Steven sambil membaca diary seseorang itu sangat menyenangkan.
“Kenapa tertawa?” tanya Steven sembari membuat memanaskan makanan kaleng.
“Aku tidak menyangka, hidup Henry seberat ini. Sejak kecil selalu dipenuhi dengan rasa ketakutan dan jauh dari orangtua,” raung Cynthia merasa iba.
“Hmm … perasaanku juga berubah terhadap Henry setelah membaca catatan itu, kupikir dirinya orang yang munafik. Tetapi, aku tidak akan percaya begitu saja, akan kutelusuri semua aibnya hingga …,” ucapannya terpotong.
“Sebenarnya apa pekerjaanmu hingga Henry mempercayai orang yang tidak percaya padanya?” Cynthia menutup catatan itu dan memberi Steven tatapan curiga.
“Ah … makan malam sudah siap!” Steven berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Hmm … dasar licik!” Cynthia yang mengetahui akal bulusnya.
***
Perut keduanya sudah terisi penuh dan malam semakin dingin, deraian hujan yang belum berhenti. Mulai merasakan kantuk yang sangat hebat, terlebih Steven yang masih cedera kepalanya. Sebelum tidur Steven mengambilkan lagi sebuah selimut yang tersisa untuk membalut tubuh Cynthia.
“Terima kasih,” ucapnya.
Di depan perapian ini Cynthia belum bisa tidur membayangkan Henry ketika kecil, sendirian di tempat seperti ini. Anak yang tangguh.
“Oiya Steven, apa Braco yang membawamu ke sini?” tanya Cynthia.
“Braco? Nama kuda itu? … keren banget!” ledek Steven.
Cynthia memukulnya dibahu.
“Aww … iya si Braco yang membawaku ke sini! Puas,” keluh Steven merasakan sakit dibahu yang sama yang pernah dipukulnya.
“Braco adalah kuda kesayangan Henry, jelas kuda itu ingat tempat ini!” timpal Cynthia menjelaskan.
“Cyn, tidurlah lebih dekat denganku agar lebih hangat. Aku tidak akan berbuat jahat,” raung Steven yang sudah memejamkan mata.
Cynthia melihat Steven yang sudah memejam, akhirnya mendekatinya lebih dekat dan ternyata memang lebih hangat jika menyatukan selimut. Sembari memunggunginya akhirnya Cynthia bisa tertidur.
“Cynthia, bagaimana jika aku berubah pikiran dan tidak sanggup melepasmu untuknya …,” ucap Steven dalam tidurnya.
***
Berikan Cinta sebanyak-banyaknya untuk penulis ya )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Kadek
mampir kk,, smngt ya
2020-07-22
1
Kadek
kk aku nitip vote ya
2020-07-18
1
yulia ari
yuhuuu
2020-07-17
1