Semua yang kulihat seperti berkabut, menoleh pada sekeliling terlihat sama. Tidak terlihat jelas.
Dimana aku? Apakah sudah mati?
Kabut itu memencar ketika secerca cahaya menyilaukan membuka jalan. Menuntunku untuk ke sana. Aku melihat Steven berdiri dekat tepian sungai Thames. Kuteriakkan namanya sangat kencang. Berulang-ulang, namun … Steven hanya menoleh dan tersenyum, lalu terjun ke dalam sungai.
Steven … Steven … Steven!
Aku berteriak kencang. Aku merasakan ada yang mencekik leher ini. Rasanya sakit, lepaskan jeratan ini. Membuka mata, ternyata itu hanya mimpi.
Napasku tersengal-sengal dalam masker oksigen ini, keringat yang mengalir dari pelipis hingga membasahi wajah. Memandangi langit dengan atap terputih yang pernah kulihat. Dan selang infus yang tertancap pada pergelangan tangan. Sakit, kesakitan menelan ludah sendiri. Teringat, Paman Karl sudah menggorok leher ini.
Siapa di sana?
Seseorang yang sedang tertidur di sofa, terasa damai melihatnya. “Henry,” ucapku pelan. Suaraku belum bisa sekuat biasanya.
Wajahnya terlihat letih, meskipun aku tidak bisa melihat jelas. Siluetnya begitu indah, hingga membuat hati ini berdebar. Lihatlah ke sini, aku ingin melihatmu. Tiba-tiba kepalanya bergerak dan berpaling kearah yang kumau. Aku tersenyum senang, melihatnya tertidur.
Tapi … ada apa yang melingkar di bahunya?
“Sebuah perban? Henry terluka?” keluhku pelan. Tiba-tiba sepasang mata indah itu terbuka. Jantungku semakin berdebar dan senyum ini tersipu meskipun masih dalam masker oksigen.
Henry bangkit dari sofa dan mendekat. Wajahnya sangat dekat, menatap dengan senyuman.
Deg! Deg!
Debaran ini masih sama untuknya.
“Hei…,” ucapnya lembut. Sembari membelai rambutku.
“Kamu berkeringat … apa masih bermimpi buruk?” Henry bertanya sembari mengambil sebuah handuk dan menyisir bagian yang basah karena keringat.
Aku mengangguk pelan, rautku meringis karena leher ini masih sangat terasa sakit. Henry menyuruhku untuk tidak banyak bicara apalagi bergerak. Jika inginkan sesuatu, katakan saja lewat senyuman. Dirinya bisa membaca keinginanku meskipun tidak diucapkan, katanya.
Sontak aku ingin tertawa lebar, namun terasa sakit. Aku terkejut dengan kata-kata yang seperti “tukang gombal”.
“Kamu mentertawakanku … iya … kan, awas yah,” ucapnya sembari tersenyum.
Indah sekali senyuman itu.
“Cynthia … maafkan aku karena terlambat datang, aku sangat menye …,” keluhnya terlihat sedih. Dirinya benar-benar menyesal. Spontan menghentikan tangannya yang sibuk mengelap keringat, aku memandangnya dan seakan mengatakan, tidak ada yang perlu disesali, aku senang bisa bertemu denganmu, memberikan senyuman terindahku.
“Terima kasih Cynthia, aku juga merindukanmu,” balasnya sembari mengecup bibirku. Henry memang benar bisa membaca pikiranku. Aku memang sangat merindukannya.
***
5 hari kemudian,
Duduk di tepi ranjang rumah sakit sembari melihat kearah jendela besar. Terlihat di kejauhan hanya kaca-kaca besar serupa. Pikiranku melayang memikirkan Steven, kenapa sampai sekarang mayatnya belum ditemukan. Aku harap dirinya selamat dan hidup di suatu tempat. Hingga suatu hari aku bisa bertemu dengannya lagi.
Aku baru menyadari, sikap Steven yang berubah di hari terakhir kita bertemu. Sikapnya seperti gelisah dan ingin mengatakan sesuatu. Apa Steven sudah mengira hal ini akan terjadi, lalu mengapa dirinya tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku benar-benar merasa kehilangan.
“Kamu sudah siap pergi, sayang?” Henry bertutur lembut sembari memelukku dari belakang.
“Iya, Steven,” jawabku spontan. Aku salah menyebut nama.
Henry mengempiskan senyumannya, melepas pelukannya perlahan. Aku tahu Henry sedikit kecewa, hingga membuatku menyesalinya.
“Maaf … aku tidak sengaja,” ucapku menyesalinya.
“Tidak apa-apa, aku tahu kamu sangat mengkhawatirkannya,” tutur Henry sembari meraih tanganku.
***
Dalam perjalanan aku di bawa ke kawasan paling elit di London. Kami berhenti di sebuah pemukiman Kensington Palace, aku tidak tahu jika Henry menempati salah satunya. Semakin terkejut ketika melihat David Beckham melewatiku sehabis pulang dari rutinitas jogingnya. Aku menepuk bahu Henry cukup keras. Sembari menutup mulutku tidak pecaya. Melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang melihat atlet idolanya di televisi.
“Itu … David Beckham?” decak kagumku tak percaya, sembari menunjuk padanya. Henry hanya tersenyum melihat tingkah spontanku. Tiba-tiba, Beckham menoleh padaku dan melambaikan tangan sekali, sembari berkata “ Halo!” wajahku memerah bingung untuk berucap apa.
“Halo, David,” jawab Henry seakan mengenalnya.
“Kamu mengenal David Beckham?” aku masih dalam keadaan syok.
“Tentu saja, kami bertetangga,” ucapnya santai.
Henry menyuruhku untuk masuk ke dalam, sedangkan aku masih saja menoleh ke rumah sebelah. Aku tidak percaya bisa melihatnya sedekat ini. Lalu, apakah aku juga bisa bertemu dengan pangeran William dan Harry. Senyumku terbuka lebar.
“Jangan coba-coba berpikir kamu bisa menemui pangeran Inggris, gadis lugu,” ucap Henry tiba-tiba sembari menarik tubuhku kedalam. Aku berteriak, kaget.
“Gawat, Henry bisa mendengar pikiranku,” keluhku dalam hati.
***
“Oh iya Henry … apa aku bisa mendapatkan tandatangan tetanggamu?” sembari mengikutinya membereskan bawaanku. Henry hanya sibuk memasukkan bawaan itu.
“Henry … siapa lagi yang tinggal di pemukiman ini? Ajak aku keliling kota ya, kali aja bisa ketemu,” ucapanku tidak digubrisnya.
“Henry!” teriakku kesal karena diacuhkannya. Henry sibuk membereskan ranjang yang akan kutiduri.
“Baiklah Cynthia, kamarmu sudah selesai, selamat istirahat,” ucapnya sembari meninggalkanku. Aku heran dengan sikapnya yang kembali dingin dan kaku.
“Berhenti Henry!” teriakku. Henry berhenti di sana sembari menolak pinggangnya. Aku mendekatinya.
“Kamu mau kemana?” ucapku manja.
“Aku harus menghadiri rapat penting, sekarang,” timpal Henry memberikan raut serius.
“Kamarmu di mana?” aku bertanya penasaran.
“Disebelah,” ucapnya sembari berlalu meninggalkan kamar ini.
“Kita enggak…,” ucapanku terpotong.
“Aku berangkat dulu, Cynthia!” sembari menutup pintu itu. Sikap dinginnya mulai lagi. Aku kesal dengan dirinya yang sering berubah mood. Jangan-jangan Henry memiliki tombol on-off untuk perubahan sikap.
***
Tingnong!
Tingnong!
Tingnong!
Suara bel rumah berbunyi.
Siapa yang membunyikan bel, di saat Henry sedang bekerja.
Aku membuka pintunya, sangat terkejut. Wajahku tidak bisa berbohong menebarkan ekspresi “planga-plongo akut”, David Beckham berada di depan rumah, membunyikan bel. Aku benar-benar tidak percaya.
“Excuse me, do you have a salt?” ucapnya sopan. Aku masih saja menatap kegantengannya meskipun hanya memakai kaos oblong berwarna putih dan memakai celana pendek bergambar bendera Inggris dan menara London dan snickers.
“What? Garam?” masih belum bisa sepenuhnya sadar.
“Salt, do you have?” David bertanya lagi untuk kedua kali.
“I have to check it first,” tuturku sembari memberikan jempolku yang mengarah ke dapur.
“Ok, I will wait,” jawabnya santai. Sembari memasukkan tangannya ke dalam kantung celana, aku menoleh ke belakang beberapa kali untuk memastikan kegantengannya … eh maksudnya memastikan jika itu benar David Beckham.
Membuka laci-laci pada kitchen set milik Henry, aku memerlukan waktu untuk menemukan sebotol garam karena lacinya banyak sekali.
“Is this?” timpalku sembari memberikan botol itu.
“Yes, … my wife, Victoria forgot to check salt in the middle of cooking, so … yeah,” ucapnya merasa tidak enak.
“Oh, no, no … no problem!“ aku menjawab canggung.
“Thanks!” sembari tersenyum mengangkat botol itu dan menggoyangkannya.
“Wait, can I take a selfie…,” ucapku ragu sembari menyeringai aneh. Aku memberitahukan jika namaku Cynthia.
“Ok, no problem,” sembari tersenyum mengizinkan untuk foto bersama.
Lalu aku berhasil mengabadikan foto bersama dengannya. Tiba-tiba Victoria keluar dari rumah dan bertanya pada suaminya kenapa lama sekali. David menjawab, karena Cynthia tidak tahu tempatnya. Sembari menunjuk padaku.
“Thanks Cynthia,” ucap Victoria sembari melambaikan tangannya.
‘Aku hanya bisa melambaikan tangan dengan seringaian aneh, karena menahannya agar tidak terlalu heboh. Padahal sejak tadi ingin melompat-lompat kegirangan.
“Cihuuuyyy!” aku kegirangan setelah menutup pintu itu.
Melihat foto bersama dengannya di dalam ponsel. Akan kupasang status di sosial media agar semuanya iri. Tapi niat itu kuurungkan, karena aku belum bertanya pada Henry apakah yang kulakukan akan aman.
Victoria pinjam garam ke tetangga. Ini bisa membuat heboh seluruh dunia jika ceritanya kusebar. Memang di Indonesia kalau garam habis bisa lari ke warung.Ternyata di Inggris bisa juga kehabisan garam minta tetangga. Aku tertawa keras karena geli sekali.
“Sering-sering saja Pakde Beckham minjem garam kek, besok merica, besok beras … eh Pakde enggak makan beras,” seruku bergulingan di atas ranjang sembari menatap terus menerus foto itu.
***
Berikan cinta dengan cara like tiap episode, vote, rate 5, tambahkan ke favorit kamu dan komen yang banyak ya )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Jeng Anna
Hahahaha...untung Chyntia ga pingsan waktu Pakde Beckam minta garem yaa 😅😅😅
2020-08-26
0
yulia ari
semangattt kak.
2020-07-27
0
kulul
hahaahha, pak de becham sini donk aku kasih garam satu truck
2020-07-22
1