Malam itu aku tidak bisa tidur memikirkan ciuman itu. Ada apa denganku, itu hanya kecupan biasa. Mungkin orang lain sudah pernah merasakan yang lebih daripada itu, kenapa aku harus memikirkannya terus.
“Gara-gara Henry kampreeettt!” dengan rambut acak-acakan dan mata panda.
Bersiap-siap untuk segera menemuinya.
Semua sudah berkumpul diruang meeting. Aku terlambat lima menit, tidak peduli lagi jika bos memarahiku. Ini semua salahnya. Aku kesal tidak bisa tidur.
Tatapan matanya hanya sekilas melihatku dan langsung fokus pada pembicara yang sedang memaparkan slide makalahnya. Pak Henry memberikan kode padaku untuk memberikan berkas yang diperlukannya. Kebiasaannya yang selalu menbuat perincian sendiri atas perencanaannya, bos seorang perfeksionis. Terkadang aku membencinya karena hal itu membuatku lembur. Sekaligus memujanya, bos memang hebat.
Setelah dua jam lebih akhirnya selesai juga. Diselingi dengan coffee break, segera mengambil se-cup kopi. Aku sangat membutuhkannya saat ini. Ketika sudah menghabiskan gelas kedua. Mendadak Henry memanggilku dan aku mendekatinya dengan jaga jarak.
“Ada apa denganmu pagi ini?” ucapnya tanpa melhatku, tetapi dengan mata didahinya.
“Aku?... tidak ada apa-apa pak,” ucapku santai.
“Lalu kenapa menghabiskan dua gelas kopi sekaligus, maag-mu akan kambuh,” ucapnya.
“Sa-saya sedikit mengantuk pak,” balasku santai.
“Sana siapkan berkas C yang kau harus minta dari klien, aku tetarik dengan perencanaannya.”
“Sudah saya mintakan sebelum bapak suruh,” jawabku santai sembari berlalu pergi.
“Apa … ada apa dengannya?”
“Oiya pak, lain kali jika bapak habis minum jangan memintaku untuk menemanimu,” seruku yang memberinya tatapan kesal.
Henry hanya terbelalak bingung dengan perkataanku. Paling tidak aku sudah lega telah mengucapkan itu. Sehingga dia tidak akan memintaku untuk menemaninya lagi. Aku sedikit sedih karena sepertinya Henry tidak berpengaruh apa-apa soal ciuman itu. Dirinya masih fokus bekerja sedangkan aku seperti tidak berpijak di bumi. Bergentayangan seperti hantu yang sedang berada di dua alam.
Aku kecewa padanya, yang menganggapku perempuan gampangan. Seharusnya Henry meminta maaf atas perbuatannya itu atau paling tidak mengirimkan teks WhatsApp. “Dasar Bos arogan.”
Aneh kenapa dari tadi aku menyebutnya sekedar nama saja bukannya Bos atau Pak.
Sepertinya aku butuh istirahat.
Ketika makan siang bersama, seperti biasa aku disampingnya dan beberapa investor lainnya. Menikmati sajian sembari berbincang soal bisnis. Tiba-tiba aku teringat makan malam bersamanya. Aku mulai gelisah, dan menatapi wajahnya dari sini. Memperhatikan bibirnya seperti ter-zoom. Bibirnya yang indah. “Oh Tuhan ada apa dengan otakku ini.”
Mendadak perutku sakit, aku meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Bos Henry memberikan kodenya. Segera berlari ke kamar mandi. Aku memuntahkan semua makanan yang tadi disantap. Perutku terasa melilit dan kembung. Sepertinya apa yang dikatakan Henry benar, maag-ku kambuh.
Membersihkan mulutku sembari mencucinya diwastafel. Mencoba untuk berdiri tegak dan berpangku pada kedua tangan diatasnya. Aku bercermin dan menatap wajah yang memantul disana.
“Aku harus kembali fokus dan melupakan ciuman itu.” Sembari menyakinkan diri. Aku bukan perempuan yang sepadan untukknya, mungkin itu hanya ciuman biasa buka hal yang luar biasa.
Muncul pesan singkat diponsel.
“Tidak perlu kembali kesini, istirahatlah,” ucapnya dalam pesan itu.
“Baiklah, jika aku tidak dibutuhkan lagi.” Sembari berjalan menuju kamarku.
***
Terbaring diranjang ini dengan rasa lelah dan perut yang semakin nyeri saja. Sudah tiga kali aku muntah mengeluarkan seluruh isinya. Jendela kamar yang masih terbuka sudah meredup cahaya yang memancar kedalam kamar. Cahaya dari rembulan yang kian gelap. Aku tidak sanggup lagi untuk melangkah dan menyalakan lampu.
Suara bel berbunyi.
Samar-samar aku mendengarnya hanya saja aku tidak sanggup lagi. Tubuhku lemas dan hanya ingin tidur saja. Setelah beberapa lama tidak terdengar lagi deringan bel. Suara ponsel yang terdengar redam dari dalam tas-ku juga akhirnya tidak kuangkat. Aku hanya memandang sebentar keluar jendela dan melihat cahaya dari bintang-bintang. “Sangat indah”, lalu tidur lagi.
Mendadak suara pintu yang dibuka oleh seorang petugas hotel. Aku menatap sosok yang ada dibelakangnya. Seorang yang kukenal, “Henry”.
Aku berusaha bangun dan duduk, “aku tidak apa-apa Pak, hanya butuh istirahat,” ucapku.
Seorang dokter memeriksa keadaan dan memberikan resep obat. Setelah itu mereka pergi dan tinggal Henry sendiri.
“Bapak kenapa tidak kembali saja!”
“Tidak apa-apa aku akan melihat keadaanmu sebentar lagi.”
Henry memberikan semangkuk bubur yang diberikan dari restoran hotel. Ketika dirinya mau menyuapi, aku menolaknya.
“Berikan saja padaku, aku bisa makan sendiri!”
Lalu, Henry mulai membuka laptopnya disini dan mengerjakan sesuatu.
“Pak, kembali saja kekamar. Ini sudah malam saya juga mau istirahat!”
“Kamu tidur saja, aku akan berada disini sebentar lagi.” balasnya dengan mata di dahi.
Kebiasaannya bicara tidak melihat, dasar!
Malam itu yang teringat aku tertidur dibawah pengaruh obat. Perlahan perut yang nyeri hilang dan kantuk yang begitu berat. Membawaku ke sebuah mimpi indah.
Henry selalu berada disisiku dan tidak pernah beranjak. Memeriksa keadaan hingga pagi. Hingga kecupan selamat tidur yang disematkan pada kening. Sembari mengcapkan, “Lekas sembuh Cynthia.”
Terbangun dari mimpi indah, meskipun itu hanya bunga-bunga tidur. Membuatku bersemangat dan tersenyum bahagia.
***
Dibalik kamar ini setelah semalaman menjaganya, aku akan mandi untuk menyegarkan diri. Dasar perempuan lugu, menjaga dirinya saja tidak bisa. Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya tidak memikirkan ciuman itu. Aku tahu Cynthia memikirkannya terlalu dalam hingga jatuh sakit.
Kenapa aku tidak bisa melupakannya sejak wawancara itu, baru kali ini hatiku tersentuh lagi setelah pengkhianatan wanita itu. “Thalifa Guzman, aku tidak akan melupakan perbuatanmu.”
Pertemuan terakhir hari ini dengan para investor, pemgembang dan perencana proyek. Seperti biasa aku selalu datang lebih awal untuk mengecek kelengkapan dan kekurangan dalam pemaparan kemarin. Menatap berkas-berkas ditanganku dengan teliti, aku mendengar langkahnya memasuki ruangan.
Langkah kakinya yang kecil dan kurus, seperti anak ayam. Tubuhnya terlalu kurus untuk gadis dengan tinggi 163 cm.
“Selamat pagi Pak,” ucapnya padaku.
“Pagi.” aku hanya melihatnya dengan mata yang lain. Mata hati.
Dirinya menyiapkan berkas-berkas yang kuminta kemarin, langsung menyodorkan dimejaku.
“Apa kau sudah sarapan?”
“Nanti saja pak … aku baik-baik …,” ucapnya kupotong.
“Jika kau tidak sarapan tidak usah mengikuti meeting ini. Aku tidak mau terlihat kejam karena sekretarisku terlalu kurus, kering, kerempeng.” Seruku sembari memberikan catatan pada berkas.
Cynthia hanya diam terpaku disana, sangat terkejut. Wajahnya kubuat bersedih lagi. Berbeda dengan sebelumnya ketika masuk keruangan ini, terlihat bahagia.
Maafkan aku Cynthia, kamu harus makan.
Aku melihatnya keruangan sebelah yang tersaji sarapan dengan menu lengkap. Mengikutinya dengan mengintip, dirinya sedang melahap semangkuk croissant kesukaannya yang bertaburkan keju dan gula pasir. Itu kesukaannya. Gadis itu sangat lucu, kenapa bisa sangat menyukainya. Teringat waktu aku membawakan makanan ke kantor untuk para karyawan, dari sebanyak yang kusediakan. Cynthia hanya mengambil croissant, bahkan mengambil 2 sekaligus.
Ketika ditanya oleh yang lain kenapa menyukainya, Cynthia menjawab karena seperti memakan
berjuta-juta lembaran ketika menggigitnya. “Lihat ….” Sembari menunjukkan kedalam bekas gigitan itu dengan mulut yang penuh. Aku tertawa mengingat itu.
Aku akan menyediakan berjuta-juta croissant hanya untukmu Cynthia.
Tak lama semua datang dan aku mulai memberikan tanggapan mengenai beberapa perencanaan yang disetujui dan tidak. Dan pertemuan itu selesai sesuai rencana.
Sebelum kembali ke kamar dan bersiap-siap untuk pulang. Aku melihat Mr. Fukuya investor dari Jepang berbincang dengan Cynthia. Namun, aku tidak menggubrisnya. Cynthia sudah tahu batasan tugasnya, meninggalkannya disana dengannya.
***
Bersiap-siap untuk pulang. Menelepon seseorang untuk menjemput dan tiket pesawat yang sudah dipesan. Memberikan teks pesan singkat padanya agar segera bersiap-siap. Setelah 15 menit dirinya tidak membalas.
“Kemana Cynthia?”
Meneleponnya karena kuatir.setelah dering kesekian kalinya tidak diangkat juga. Aku menjadi sangat kuatir. Mencarinya diruang meeting dan tempat lainnya tidak ada. Bertanya kepada seorang staff disana, terlihat bersama dengan tamu dari Jepang.
“Mr. Fukuya!”
Aku bertanya dikamar berada Mr Fukuya menginap, ternyata satu lantai diatasku. Aku berlari dan lift semua sedang turun. Memasuki tangga darurat dan memutari anak tangga satu lantai. Tubuhku berkeringat dan sedikit kelelahan. Entah apa yang terjadi padanya, aku takut dia dimanfaatkan oleh Mr. Fukuya.
Kamar 1208. Mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal sebelum mengetuk kamar itu. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan mereka keluar sembari mengucapkan salam perpisahan dan berjabat tangan. Lalu, Mr. Fukuya terkejut melihatku juga berada didepannya.
“Aku mengatakan juga mau mengucapakan perpisahan, karena ini adalah hari terakhir,” sambungku menutupi yang sebenarnya.
Mr. Fukuya sangat senang dengan sambutan dari kami yang ramah. Lalu kami meninggalkannya disana dengan senyumannya yang mengembang.
Setelah dirinya masuk kedalam. Cynthia bertanya, “dari mana pak … basah keringetan semua, bau tahu!” serunya sembari berjalan meninggalkanku.
Cynthia berjalan cepat masuk kedalam lift dan aku mengikutinya. Masih dengan napas yang kelelahan. Tiba-tiba lift ini berguncang keras dan mematikan sistem listriknya. Cynthia melompat kepadaku dengan ketakutan.
“Pak, kenapa ini?” sembari memegang lenganku erat.
Aku hanya menikmati aroma rambutnya yang tercium didepanku.
“Katanya bau koq dekat-dekat…,” ucapku meledeknya.
“Pak, jangan becanda lagi, kenapa ini?” ucapnya semakin ketakutan.
“Coba pencet tanda itu, bilang kalau kita terjebak disini!”
Cynthia memencetnya dan menunggu seseorang menjawabnya. Ketika ada suara yang menjawab, dengan cepat mengabarkan jika lift ini mati dan terjebak di lantai 9 atau 10.
Petugas itu memberitahukan jika ada masalah, mungkin sekitar setengah jam baru bisa kebuka. Petugas sedang berusaha memperbaikinya.
“Setengah jam? Tidak bisa lebih cepat pak, saya takut ruang sempit. Bagaimana jika kami kehabisan napas!”
“Nanti aku akan berikan napas bantuan,” ucapku becanda.
Cynthia semakin kesal dan aku justru tersenyum dalam hati. Aku menyandarkan diri disudut ruang itu sembari duduk. Mencoba mengatur napas pendek-pendek untuk menyisakan oksigen.
Cynthia masih saja berdiri ketakutan.
“Cyn, bisa tidak kau duduk. Kepanikanmu itu membuatku semakin tegang!”
“Bagaimana ini …,” ucapnya semakin ketakutan.
“Cynthia … duduk!” ucapkan sedikit menekan.
Entah kenapa Cynthia duduk disampingku, terlalu takut untuk menempati sudut satunya.
“Sudah tidak perlu takut, setengah jam tidak lama, mungkin kurang dari itu kita akan keluar.”
“Pak nanti hotel ini dikomplen yah, kenapa lift-nya bisa macet begini,” serunya hampir menangis.
“Sudah, tenang yah,” sembari menepuk-nepuk bahunya.
“Oiya, pak Henry darimana tadi, koq ngos-ngosan?”
“Cari kamu, telepon tidak diangkat.”
“Maaf, hape-nya ketinggalan dikamar. Tapi, kenapa ngos-ngosan.”
“Aku kuatir ….”
“Kuatir?”
Cynthia kumohon jangan bertanya lagi, aku kuatir tidak bisa menahan diri lagi.
“Hmm … sepertinya kita akan terlambat pulang,” sahutku mengalihkan pembicaraan.
“Jangan-jangan pak Henry kuatir sama aku karena Mr. Fukuya yah, tenang saja pak. Aku bisa menjaga diri koq …,” ucapnya lugu sembari memberikan senyuman kebanggaan itu.
Dasar bocah, senyumku mengembang dibuatnya.
“Koq senyum pak, memang ada yang lucu!”
Dasar gadis naif, senyumku mengembang lagi.
“Masa bodoh ….”
Aku sudah tidak bisa lagi menahan perasaan suka ini.
Menyentuh pipinya dan perlahan menariknya dekatku dan menciumnya. Kali ini aku benar-benar menciumnya, bukan sekedar kecupan seperti semalam. Aku ingin mengatakan dengan bahasa tubuhku bahwa inilah bahasa hatiku.
Memberikannya rasa hangat, melampiaskan kekhawatiranku barusan. Aku ingin kamu tahu bahwa inilah yang kupikirkan tentangmu. Tidak ingin mengakhirinya namun aku ingin menjaganya sebelum merusaknya.
Melepasnya meskipun masih dengan irama napas yang sama, aku dan Cynthia menyatu. Saling memandang. Mungkin ini pengalaman pertamanya yang sulit untuk dilupakan. Menyentuh bibirnya sekali lagi dan berucap.
"Aku menyukaimu, Cynthia."
***
Berikan dukungan untuk penulis ya )
Jangan lupa Like, Vote, Boom dan Comment.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Sonetha
semangat thor
2020-08-26
0
𝕸𝖆'𝕶' 𝖈𝖚𝖙𝖊
maaf baru mampir lagi...
2020-08-02
1
Nofa_
semangat thor up nya. 👏
jgn lupa mampir jg ke karya ku yaa 😊
2020-07-23
1