Melepas kancing pertama, kedua dan ketiga. Tiba-tiba Henry menghentikanku.
Cyn … Cynthia, jangan. Jangan lakukan ini,” ucap Henry sembari menahanku untuk membukanya. Aku memandangnya dengan sisa gejolak yang masih menyala. Sembari mengigit bibir dan mencoba mengatur napas yang terlanjur memburu. “Apa hanya aku yang ingin melakukannya?” ucapku sedikit kecewa.
Henry memandangku dengan serius, “aku laki-laki, sangat ingin melakukannya,” ucapnya sungguh-sungguh. “Tapi, aku tidak ingin merusakmu. Aku ingin simpan untuk nanti.” Sambungnya lagi.
“Kelamaan di koin namanya, bukannya hal seperti ini sudah biasa. Kamu membuatku malu dan kehilangan muka.” Wajahnya mencembik dan bersidegap.
“Hahaha … kenapa malu, justru aku senang ternyata kamu sangat napsu-an.” Sembari menahan tawa.
“Tuh … kan jahat! Aku mau pulang saja,” ucapku sembari bangkit dari duduk kearah pintu keluar.
“Cyn, jangan … kumohon, tinggallah disini sebelum aku ke London.” Henry menahan tanganku.
“Baiklah, tapi jangan mengejekku terus,” memberikan tatapan ancaman.
“Baiklah, aku janji,” ucapnya tersenyum.
Malam itu kami berbincang hingga pagi, duduk di sofa dan menceritakan masa kecil dan banyak hal. Hingga tidak sadar kami tertidur di sofa yang sempit itu dengan berpelukan satu sama lain.
Hingga, keesokan harinya Henry sudah tidak ada di sana. Bahkan catatan kecil atau surat juga tidak ada. Aku sangat kesal dengan sikapnya yang kurang peka. Seharusnya Henry meninggalkan ucapan perpisahan atau apa saja yang membuatku sedikit tenang. Sesuatu yang bisa kusimpan jika rindu padanya.
***
Ikut denganku, cepat. Seseorang yang muncul dihadapanku secara tiba-tiba. “Kamu siapa?” ucapku bertanya.
"Tidak banyak waktu sebelum penjahat suruhan itu menangkapmu!"
“Aku tidak mau, aku tidak mengenalmu,” ucapku
lagi.
"Percayalah padaku, aku adalah suruhan Pak Henry."
“Henry?” benarkah apa yang dikatakannya.
Sudah beberapa bulan sejak kepergiannya ke London, tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Cepat naiklah ke motorku, sahutnya sembari menyodorkan tangannya.
Akhirnya aku mencoba percaya padanya dan naik ke atas motor itu. Dengan kecepatan tinggi dan helm yang diberikannya untuk dipakai olehku. “Berpeganganlah,” ucapnya sembari menoleh.
Benar saja, pengemudi itu menoleh kearah kaca spionnya dan dari arah belakang sebuah mobil sedang mengikuti. Ada apa ini?
Mencoba untuk mengelabui kejaran itu, dengan lincah masuk kedalam gang-gang sepi dan hampir menabrak tong sampah. Namun, mobil itu masih bisa mengejar.
Hingga beberapa blok akhirnya mobil itu berhasil dikelabui. Pengemudi itu membuka helmnya dan memojokkanku di gang sempit itu.
“Kamu Cynthia kan?” tukasnya.
Sembari mengangguk dalam helm full face yang sangat longgar untuk ukuran kepalaku.
Pengemudi itu melepaskanku dan aku membuka helm ini.
“Bisa kamu jelaskan kenapa menculikku kesini?”
“Hah, menculik? Aku yang telah menyelamatkanmu, jika tidak saat ini nenekmu itu tidak akan pernah melihat cucunya lagi.”
“Aku tidak percaya padamu. Untuk apa menculikku yang tidak berguna ini,” tukasku kesal dan sedikit berteriak padanya.
Habis aku kesal bicaranya sangat angkuh.
“Siapa bilang kamu berguna, kamu hanya beruntung karena si Henry keparat itu menyukaimu. Jika tidak …,” pungkasnya semakin emosi.
“Jika tidak apa? hah … kamu hanya orang suruhan yang tidak jelas. Aku mau pulang!” ujarku semakin kesal.
“Kamu tidak boleh pulang, sudah dua bulan ini aku mencarimu.”
“Aku tidak kemana-mana, hanya sedang merawat nenek yang sedang sakit. Nenek memintaku untuk cuti panjang.”
“Apa? jadi aku susah payah mencarimu padahal kamu di kampung bersama nenek karena harus merawatnya. Benar-benar sial. Kenapa kampungmu itu tidak terdaftar diinformasi kantor?”
“Untuk apa aku memberitahu kantor kampung nenekku? Hah ….”
“Oiya, bener juga.”
“Ya sudah ayo ikut aku,” sahutnya sembari menarik tangan.
“Tidak usah aku akan kembali pada nenek.”
“Jika kamu kembali pada nenekmu, mereka akan menyakiti kalian berdua. Apa itu yang kamu inginkan?”
“Benarkah? Akan terjadi sesuatu jika aku pulang kerumah ….”
“Jika tidak percaya, kita akan melihat dari jauh.”
***
Dari sebuah rumah kosong yang sudah terbengkalai aku dan orang asing ini sudah cukup lama berada di ruang gelap dan bau apek ini. Bau lembab karena tidak berpenghuni. Namun, ucapannya belum terbukti, rumah nenek tidak didatangi oleh siapapun saat ini.
“Baiklah, aku akan pulang sekarang. Ucapanmu hanya khayalan belaka,” pungkasku seraya ingin keluar cepat-cepat dari sini.
“Tunggu … diam,” ucapnya sembari menutup mulutku mendadak!” sembari menunjuk kearah timur laut.
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti sedikit jauh dari perkampungan. Jalanan yang terlalu sempit untuk dimasuki. Dua orang keluar dari mobil itu dan mencari rumah.
“Bagaimana dengan nenekku, aku harus kesana menyelamatkannya,” sergahku ingin keluar.
“Jangan, aku yakin nenekmu akan selamat, mereka hanya memerlukan dirimu.” serunya berbisik.
“Diriku? Untuk apa? entahlah … mungkin berhubungan dengan pekerjaannya.”
“Memangnya kenapa pekerjaannya?”
“Dasar perempuan lugu … dalam dunia perminyakkan banyak sekali mafia di dalamnya, apa kamu tidak tahu?”
“Apa? Mafia … apa Henry juga mafia?” lirihku penasaran.
“Bukan, Henry lebih cocok jadi makelar … hahaha!” tawanya begitu spontan mengejek.
“Kamu masih bisa becanda di saat seperti ini!” rasanya ingin kutampar mulutnya yang cerewet.
Setelah sepuluh menit mereka di sana, akhirnya keluar juga. Hampir saja aku nekat keluar dari persembunyian. Tetapi sepertinya mereka tidak membawa nenek bersamanya. Nenek masih disana. Mereka pergi dengan mobil itu, lalu kami masuk ke dalam rumah.
Bibi sedang menangis dan tersungkur di depan nenek yang terbaring sakit. Semua perabotan terlempar dan berantakan.
“Bibi, nenek baik-baik saja?” sontak memeriksa keadaan mereka.
“Cyn, sebenarnya ada apa?” ucap Bibi sembari memegang kedua lenganku.
“Cynthia juga tidak tahu Bi, Nenek. Yang penting kalian baik-baik saja!” tidak percaya semuanya hancur berantakan.
“Ayo kita harus pergi sekarang juga!”
“Kemana? Tidak aku di sini saja bersama Bibi dan Nenek.”
“Cynthia, please. Aku sudah janji dengan Henry untuk membawamu padanya!”
“Lalu, jika benar Henry yang menyuruhmu. Kenapa bukan dia yang ke sini sendiri.”
“Itu karena … ini karena … salahku, ah … nanti saja aku jelaskan di jalan.”
“Bi … Nek … kalian disini saja yah, aku akan pergi sebentar untuk mencaritahu ada apa ini sebenarnya. Untuk sementara kalian bersembunyi di rumah Paman saja!”
“Baiklah, nanti Bibi akan bawa Nenekmu ke rumah Paman. Di sana memang lebih terpencil karena dataran tinggi.”
Dengan berat hati aku meninggalkan mereka. Wajah Nenek yang sangat mengkhawatirkanku, tetapi jika aku tidak pergi, orang jahat itu akan datang lagi ke sini dan akan menyakiti kami semua. Aku akan datang pada Henry dan memintanya untuk menjelaskan semua.
***
Pria itu menghubungi seseorang yang mengaku sebagai tangan kanan Henry. Dirinya terlihat berbincang dengan seseorang ditelepon. Aku sudah siap dengan berganti baju dan membawa tas jinjing berisi barang-barang yang sedikit kuperlukan. Pria ini menyuruhku untuk tidak membawa banyak barang.
“Kamu sudah siap?” tanyanya.
“Ya, mau kemana kita?” balasku.
“Ke London, orang suruhan Henry sudah menyiapkan jet pribadi di hangarnya, kita harus sampai sana setengah jam lagi,” jelasnya.
“Baiklah.” ucapku sedikit malas.
Di atas motor itu aku bertanya padanya, “Oiya, namamu siapa?” tanyaku sembari berteriak.
“Steven,” jawabnya.
“Apa pekerjaanmu?” tanyaku lagi.
“Apakah itu perlu ditanyakan saat ini,” balasnya.
“Aku hanya penasaran, itu saja,” ucapku sedikit kesal.
“Saatnya hanya pekerja lepas …,” jawabnya asal.
Tiba-tiba sebuah mobil entah darimana datangnya, menyerempet motor kami. Steven mencoba menghindari tapi berhadapan tiang listrik sehingga terjungkal dengan keras. Steven sengaja melompat dari motor dan memelukku hingga terseret ke aspal. Aku dan Steven terlempar cukup jauh, namun tubuhnya yang melindungiku membuatnya tidak terlalu parah.
Aku mengaduh karena luka goresan di seluruh tubuh sedangkan Steven, mungkin terluka dibagian bahu dan punggung.
“Kamu tidak apa-apa?” ucapnya sembari menggoyangkan bahuku.
“Iya, tidak apa-apa,” ujarku pelan karena syok.
“Ayo, kita harus lari sebelum mereka kembali mengejar.”
Kami berlari ke dalam jalanan dan gang-gang sempit. Beberapa orang mengejar kami dibelakang. Kakiku terasa perih dan terus mengeluarkan darah. Sedangkan Steven berusaha untuk terus menggenggamku sambil berlari mencari tempat persembunyian.
Steven menarikku ke dalam pelukannya dibalik dinding bekas reruntuhan ini. Aku merasakan degup jantungnya yang sangat cepat. Begitu juga dengan diriku. Darah mengalir dari pelipis sebelah kanannya.
“Sial kau Henry. Celaka aku dibuatnya, kukira ini pekerjaan mudah,” ucap Steven sangat kesal.
“Di situasi seperti ini kamu masih sempat mengeluh dan mengutuknya!”
“Dan kamu gadis bodoh, masih senang membelanya. Aku yang menyelamatkanmu bukan Henry!” semakin emosi.
Aku hanya terdiam menahan kesal atas ucapannya.
“Jika Henry di sini juga akan melakukan hal yang sama … bahk …,” ucapanku terpotong.
Tangan Steven menutup mulutku. “Diam cerewet, suaramu terdengar.”
Seorang nenek tua keluar dari sebuah rumah di samping kami bersembunyi dan melambaikan tangan, menyuruh kami bersembunyi ke dalam rumahnya.
Sembari menunjuk pada nenek tua itu, aku memberitahu Steven.
Lalu, kami masuk ke dalam dan bersembunyi.
Nenek itu bisu dan hanya memberikan gesturnya. Menuntun kami masuk ke dalam kamar yang sempit. Disana ada jendela, Steven mengintip para penjahat itu berhasil kebingungan menghilangnya jejak kami.
“Terima kasih Nek.”
***
Setelah beberapa saat nenek itu memberikan kami sebuah baskom berisi air dan handuk untuk membersihkan luka dan obat antiseptik seadanya. Satu teko air mineral dan dua potong roti. Nenek itu mengatakan, jika kami sudah lebih baik agar segera pergi dari sini. Dirinya takut para penjahat itu menemukan kami di rumahnya. Nenek itu hanya tinggal dengan suaminya yang sakit di kamar sebelah.
Pintu itu ditutupnya dan berbalik ke belakang Steven sedang berusaha membuka bajunya.
“Tolong aku,” serunya. Aku tersipu malu dan mencoba mendekatinya.
“Jangan katakan ini pertama kalinya kamu melihat tubuh laki-laki?” Steven mengejek.
Aku hanya diam karena kesal dengan perkataannya.
“Apa … hahaha, benar ini pertama kalinya. Kamu belum disentuh Henry si playboy munafik itu.”
Lalu, aku sengaja membuka baju itu dengan kasar, agar Steven tahu aku kesal padanya.
“Aw … aw ….” Steven mengaduh.
Aku mengambil obat oles itu dan mengobatinya dibahu dan punggungnya yang terluka. Setelah semua sudah terobati, aku menyuruhnya berbalik.
“Kenapa?” tanyanya.
“Apa kamu tidak sadar jika pelipismu terluka?” jawabku.
Steven memegang pelipisnya dengan tangannya dan aku menghentikannya agar tidak bertambah parah.
Aku mulai mengoleskannya di pelipisnya, Steven mulai menatap wajahku dari jaraknya. Entah kenapa aku seperti di telanjangi dengan tatapannya itu. Aku meniup lukanya agar obat itu cepat kering. Kelopak matanya mengedip seperti gerakan slow motion. Tiba-tiba Steven meraih tanganku dan memegangnya erat.
Matanya tegas tertuju langsung dan memiringkan kepalanya dengan menebar senyumnya.
“Akhirnya, aku tahu apa yang dilihat Henry padamu,” ucapnya sembari tersenyum mengembang.
Aku hanya menatapnya dan berusaha menelaah perkataannya yang misterius itu.
***
Berikan cinta buat penulis ya )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Kenzi Kenzi
apa
..yg dilihat henry pada diri.cyinta,apa coba banhlg stev😏😏
2020-08-31
0
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
lanjut dati sini....
2020-07-27
0
Kadek
kk aku mmpir lagi
nitip satu like ya
2020-07-15
1