"Hans....!!!" Niken mendengar suara diluar ruangan apartemennya. Kebetulan ia sedang merapikan ruang tamunya. Niken membuka pintu. Pandangan mereka bertemu.
"Hai...?" Seru perempuan itu. Niken tersenyum agak canggung. "Kau tahu kemana perginya penghuni apartemen ini?" Tanya perempuan itu. Niken menggaruk belakang lehernya.
"Aku... Tidak tahu." Jawab Niken.
"Ihhh dasar. Kau masih ingat aku bukan? Aku Haya." Katanya dengan mengulurkan tangannya. Niken mengangguk lalu balas mengulurkan tangannya.
"Niken." Balasnya. Perempuan bernama Haya itu memandangi wajah Niken yang cantik dan bersih. Untuk kali pertama, Haya sudah mengagumi Niken. Tanpa make up dan baju kaos biasa dengan celana sebetis yang memperlihatkan kakinya yang jenjang dan mulus bersih.
"Kau mau menunggunya diapartemenku?" Kata Niken.
"Ohhh bolehkah?"
"Of course. Silahkan." Niken mempersilahkan Haya masuk ke apartemennya.
"Menunggu itu sangat menjengkelkan bukan." Ucap Niken. Haya setuju dengan kalimat itu.
"Benar, kau sungguh bisa membaca pikiranku." Balas Haya.
"Ayo..."
"Kau sungguh baik. Terimakasih. Wawwww...." Kata Haya, takjub melihat desain apartemen Niken
"Kau sudah lama tinggal disini?" Tanya Haya.
"Lumayan." Jawab Niken.
"Keren... Kau bekerja dimana?" Tanya Haya, sambil nelihat-lihat sekitar ruangan apartemen Niken.
"Di Universitas Swasta Jakarta." Jawab Niken.
"Ohya? Kakakku juga disana. Kau seorang dosen?"
"Ya. Aku dosen psikologi untuk semua strata." Ujar Niken.
"Ohya? Kakakku juga seorang dosen. Aku boleh melihat isi lemari es-mu?" Kata Haya.
"Boleh. Silahkan." Niken mempersilahkannya.
"Kakak? Kakakmu siapa?" Tanya Niken.
"Tetangga sebelahmu. Hans, si tukang ngibul itu, kakakku. Aku heran kenapa aku menjadi adiknya. Sebenarnya aku tidak mau dilahirkan sebagai adiknya. Karena Hans itu suka sekali menyusahkan orang lain, termasuk aku sebagai adiknya." Tutur Haya. Niken tersenyum. "Ahh ternyata dia adiknya." Batinnya. Niken meraih ponselnya. Lalu memberi pesan kepada Hans.
Adikmu ada diapartemenku. Begitu pesan singkatnya. "Kau mau secangkir cokelat panas?" Kata Niken menawarkan cokelat panas.
"Ummm, aku takut merepotkanmu." Kata Haya segan.
"Ohhh tidak apa-apa. Sama sekali tidak merepotkan koq." Balas Niken.
"Kalau begitu aku mau satu." Kata Haya mengangguk penuh semangat. "Berapa usiamu?" Tanya Niken sambil menyiapkan dua cangkir cokelat panas.
Haya duduk dikursi makan. "Usiaku 20 tahun. Aku masih kuliah, kakak cantik." Jawab Haya.
"Apa? Kakak cantik? Panggil saja aku Niken. Tidak apa-apa." Tukas Niken.
"Tapi kau memang cantik, kak Niken. Sungguh? Aku tidak berbohong."
"Cokelat panas sudah siap." Niken menyodorkan cokelat panas kepada Haya.
"Wahhh keren. Kau bisa melakukan ini." Puji Haya.
"Tunggu." Niken mengambil sesuatu dilaci. "Beri sedikit creamer. Dan kau bisa menikmati secangkir cokelat panas."
"Wahhh sepertinya nikmat."
"Cobalah." Haya mencicipi cokelat panas sedikit demi sedikit.
"Ini benar-benar enak." Katanya.
Suara bel pintu berbunyi. Niken segera membuka pintu dan itu adalah Hans. Lelaki itu tersenyum manis, dan Niken balas tersenyum.
"Dimana bocah itu?" Tanya Hans.
"Dia sedang minum cokelat panas" Balas Niken. Hans masuk kedalam apartemen Niken, lalu memanggil adiknya. "Haya...?"
"Aku disini." Jawab Haya.
Hans menjewer telinga Haya. "Aah ahh, sakit." Niken melotot melihat pemandangan itu. Ia menelan ludah. Ia baru tahu kalau Hans terlihat galak saat itu.
"Aku tahu kenapa kau selalu datang ke apartemenku. Itu karena kau menghilangkan laptopmu, bukan? Ayo ngaku." Cercau Hans.
"Dari mana kakak tahu?" Tanya Haya sambil mengusap-usap telinganya.
"Nggak usah tanya dari mana aku tahu. Benar tidak? Baru dua bulan yang lalu kubelikan laptop. Sekarang sudah hilang lagi." Hans kesal dengan ulah adiknya.
"Aku tidak sengaja menghilangkannya. Itu dicuri di kostanku." Jawab Haya.
"Kau ini benar-benar ya..." Hans menjewer telinga Haya lagi.
"Eeeh... Hans... Jangan. Khasian Haya." Tukas Niken. Haya setuju dengan Niken dan ia merasa ada yang melindunginya selain kakaknya. Lalu ia memeluk Niken.
"Wahhh. Kau ini memang keterlaluan Haya." Hans benar-benar kesal.
"Maaf. Aku tidak sengaja." Kata Haya.
Hans mengatur nafasnya. "Kau mau secangkir cokelat?" Niken menawarkan.
"Lihat saja nanti ya." Kesal Hans kepada adiknya. Niken menyiapkan secangkir cokelat panas, 3 menit kemudian ia menyodorkannya kepada Hans. "Duduklah. Ini bisa meredakan amarahmu." Tukas Niken.
"Awas lu ya." Ancam Hans lagi kepada adiknya.
"Ihhh kakak. Apaan sih."
"Kak Niken toiletnya dimana?" Bisik Haya tepat ke telinga Niken.
"Disana." Jawab Niken.
"Aku ke toilet dulu ya." Niken mengangguk. Dan Hans mengernyitkan dahinya.
"Haya izin ke toilet." Tukas Niken. Hans mengangguk pelan.
"Dia itu benar-benar membuatku jengkel." Ujar Hans. Niken mendesah pelan.
"Dia juga mengatakan hal yang sama kepadaku." Balas Niken.
"Apa?"
"Kalau kau sangat menjengkelkan."
"Aku?" Hans menunjuk dirinya sendiri. "Dia saja yang sangat rese. Susah diatur." Lanjut Hans.
"Kau juga."
"Tidak."
"Terkadang kau juga menjengkelkan." Balas Niken.
"Tidak. Darimana aku menjengkelkannya?" Tanya Hans.
"Selalu mempermainkan wanita."
"Tidak."
"Uhmmm bohong. Dulu kau playboy."
"Itu dulu Niken." Hans memiringkan kepalanya ke arah kanan. Menatap Niken dengan seksama. Sama seperti Haya, Hans juga sangat menyukai Niken yang cantik natural.
"Sekarang juga masih sama. Bagaimana dengan perempuan tadi malam? Kau bersama perempuan ditengah malam. Lalu kau bertemu wanita lain dikampus. Dan perempuan pertama waktu itu." Tutur Niken seakan-akan mengingatkannya untuk berterus terang.
"Semalam?" Niken mengangguk pasti. "Ohhh Wina. Dia temanku. Sahabatku. Kemarin dia, Tanu dan beberapa sahabatku yang lain datang untuk merenovasi ruangan yang rusak." Lanjut Hans.
"Sahabat? Sahabat jadi cinta mungkin?" Tebak Niken.
"Dia sudah menikah Niken. Bagaimana mungkin aku menjadikan dia kekasihku, sementara dia sudah mempunyai suami. Lagi pula suaminya itu juga temanku." Jelas Hans. Niken mendesah pelan. Ohh Wina. Dia sudah menikah. Batin Niken. Pelan-pelan hatinya membaik.
"Dan perempuan yang waktu itu...?" Tanya Niken. Hans mengernyitkan dahinya lagi.
"Mungkin yang kau maksud itu Tia?" Balas Hans.
"Bukan. Waktu pertama kau menyapaku bersama kekasihmu." Tukas Niken. Hans mengingat-ingat lagi.
"Ehmmm oh Tyas? Dia juga sudah menikah. Anaknya sudah 2. Dia bukan kekasihku. Diantara Wina, Tanu, Tyas, Fredy, Gilang, dan aku. Hanya aku yang belum menikah." Jelas Hans. Entah mengapa hati Niken merasa lebih baik dari sebelumnya. Ada secercah harapan yang tiba-tiba muncul di dalam perasaannya.
"Kalau Tia?" Selidik Niken.
"Kau mengenalnya?" Tanya Hans.
"Iiiya, dia yang waktu dulu ngelabrak aku. Sewaktu kau mengejar-ngejarku." Jawab Niken.
"Chch, dia..." Hans menyeruput cokelat panasnya. "Aku sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan dia." Lanjut Hans. Lega sekali. Penjelasan Hans sangat berarti untuknya. Seperti yang Tanu katakan tadi siang, sudah saatnya ia membuka lebar-lebar perasaannya untuk seseorang yang mungkin ingin masuk ke dalam hatinya.
"Kenapa? Apa kau cemburu?" Selidik Hans tiba-tiba.
"Untuk apa aku cemburu?" Dengan cepat Niken menyangkal. Ia menyembunyikan perasaan bahagianya saat itu.
"Bolehkah aku bertanya satu hal." Kata Hans.
"Apa?"
"Mengapa kau selalu menghindariku?" Tanya Hans.
"Apa aku harus menjawab?" Balas Niken. Hans mengangguk. Niken menggigit bibirnya. Perasaan itu muncul, jantung Niken berdetak 3x lipat lebih cepat. Niken tak tahu apakah itu cinta atau bukan. Hans menunggu sebuah jawaban, namun semuanya terasa hening. Mata Hans sangat memikat hatinya. Dan pandangan Niken juga berbinar-binar. Baik Niken maupun Hans saling menatap satu sama lain.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments