10 Tahun yang lalu.
Niken dan Elsa berlari menyusuri trotoar dengan mengenakan baju hitam putih, rambut dikuncir dua, mengenakan papan nama yang digantung dileher mereka. Pintu gerbang sudah ditutup, mereka sudah terlambat.
"Yahhhh gimana dong?" Tukas Elsa dengan wajah yang ditekuk masam.
"Ohhh, jalan belakang." Niken punya ide yang cemerlang dengan meloncat ke tembok di belakang fakultas lain.
"Lu yakin?" Ujar Elsa ragu.
"Ealah... Udah ayo..."
"Kita nggak bakalan ketahuan?"
"Elsa, kita tuh udah jadi murid terbaik di sekolah. Ya kali-kali kek kita manjat dinding. Ini namanya kepepet. Kalau udah kepepet apa aja bisa dilakukan." Kata Niken.
"Kalau ada apa-apa, tanggung jawab lu ya." Balas Elsa.
"Ya kalau ada apa-apa, ditanggung sendiri dong Elsa."
"Yaaaa elu mah gitu."
"Okey-okey, kita sama-sama aja." Balas Niken akhirnya. Niken dan Elsa manjat ke dinding kampus yang nggak seberapa tinggi. Niken manjat terlebih dahulu. Namun begitu ia turun, sudah ada Adam dan Sameer yang memantau pergerakan mereka. Niken segera ditindak lanjuti oleh Adam.
"Niken, entar turunnya bantuin ya." Kata Elsa. Sameer menatap Niken dengan tajam.
"I-i-iya Elsa."
"Kamu, ikut gue." Kata Adam. Niken akhirnya meninggalkan Elsa karena sudah ketahuan duluan. Ia pun di hukum oleh beberapa kakak senior lainnya.
"Nggak usah manja. Ayo push up." Ujar Adam. Mau tak mau Niken menuruti semua perintah kakak seniornya itu.
"Aku capek kak. Boleh ya aku istirahat sebentar." Pinta Niken.
Adam menyunggingkan bibirnya, "ya udah sini sini." Ucap Adam. Niken tersenyum lalu duduk. Karena parasnya yang cantik, Niken di goda oleh beberapa senior lainnya.
"Namamu siapa?" Goda Ghani.
"Niken." Jawab Niken pendek. Adam, Ghani, Viki dan Yudi berkerumun mendekati Niken.
"Wahhh cantik ." Puji Ghani menyenggol Adam.
"Kenalan dulu." Ujar Viki mengulurkan tangannya. Meski agak seram untuk mengulurkan tangan, tapi Niken berusaha melawan rasa traumanya itu. Niken berusaha membalas uluran tangan mereka. Meski pun sebenarnya agak takut karena philophobia yang ia alami selama beberapa tahun terakhir ini semakin memburuk. Ghani, Viki dan Adam saling berebut. Sehingga membuat Niken kembali mengalami kecemasan yang sangat tinggi. Jantungnya berpacu dengan sangat cepat, seluruh tubuhnya bergetar dan dingin, keringat mulai muncul dengan berlebih. Niken merasa sesak nafas pula.
"Enggak... Jangan... Jangan....!!!" Teriak Niken. Saat melihat reaksi Niken yang aneh. Mereka bertiga terdiam. Niken tiba-tiba histeris.
"Ehhh kenapa nangis. Tuh kan elu sih. Udah ya jangan nangis cantik." Kata Adam.
"Biar gue aja." Kata Ghani.
"Gue aja." Tambah Viki.
"Jangan sentuh aku. Tolong..." Teriak Niken. Ia berjongkok dengan takut. Memejamkan kedua matanya. Kenangan pahit saat ia masih berusia 6 tahun itu muncul bagaikan sebuah senjata tajam yang hendak menerkamnya. Bayangan seorang lelaki dewasa yang sangat menyeramkan. Dan tangisan seorang sahabat yang sangat ia cintai.
Tiba-tiba sebuah tangan dengan hangat meraih pundak Niken. Kakek...? Sentuhan tangan itu mirip sekali dengan kakeknya. Karena hanya almarhum-lah yang mampu menenangkan rasa takut dan cemasnya. Kakek...? Batin Niken. "Kau tidak apa-apa?" Suara lelaki itu sangat lembut dan nge-bass Niken membuka matanya pelan-pelan, lalu ia melihat sosok lelaki bertubuh tegap dan bidang dengan jelas. Ia tak sadar saat dirinya dibawa oleh lelaki itu ke taman kampus. Niken berusaha mengatur nafasnya, meskipun ia masih takut.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya lelaki itu lagi. Niken menggelengkan kepala. Saat melihat Adam, Viki dan Ghani reflek Niken mencengkram kedua tangan dia.
"Me-me-mereka." Niken sangat syok, takut kalau-kalau mereka kembali mengganggunya lagi.
"Ssst tenang, mereka tidak akan mengganggumu lagi." Ujar lelaki itu.
"Aku Hans, namamu siapa?" Hans mengulurkan tangannya.
"Niken." Balas Niken pendek. Niken mengulurkan tangannya. Dan sentuhan tangan Hans sangat mirip dengan kakek. Sangat menenangkan. Kenapa ini? Kenapa sangat berbeda? Siapa dia sebenarnya? Batin Niken.
"Kalau ada yang mengganggumu lagi, kau bisa mengadukannya kepadaku. Kau mengerti?" Kata Hans menenangkan. Niken mengangguk. Hans tersenyum sambil mengusap keringatnya. Niken sangat tersipu dengan sikapnya yang hangat dan perhatian.
"Kak Hans...?" Seru Niken.
"Ya..."
"Terimakasih sudah menolongku." Hans mengangguk sambil tersenyum. Saat itu pula, Niken merasakan hal yang berbeda kepada Hans.
"Niken...?" Seru Naira.
"Itu dia." Tunjuk Via. Lalu mereka menghampiri Niken.
"Ngapain lu disini?" Tanya Naina.
"Ehhh si Elsa kemana?" Tambah Naira.
"Kayaknya dia masih dihukum." Jawab Niken. Naira menarik lengan Niken dan mencari Elsa sahabatnya. Elsa ada di kantin bersama Sameer. Kakak senior yang galaknya mirip singa.
"Ya Tuhan, itu anak, kita nyariin ehh malah asyik berdua-duaan dengan kating." Tukas Naina.
"Kating? Kating apaan Na?" Tanya Via.
"Kakak tingkat, Via." Jawab Naina.
"Lagian elu, seenak jidatnya aja ngenyingkat kata-kata." Imbuh Naira.
"Lihat tuh, si Elsa. Lagi ngerayu kakak tingkatnya dia. Nggak sadar kalau cowoknya posesif banget." Tambah Via.
"Bagus dong. Biar putus dia sama si Indra. Gue lebih suka Elsa sama kak Sameer." Balas Naira.
"Ya elu yang suka. Belum tentu si Elsa suka." Kata Naina.
"Nay, kayaknya kalau gue pikir-pikir nih ya, elu deh yang suka sama kak Sameer." Tebak Via.
"Enak aja. Dia tuh bukan tipe gue."
"Kalau tipe gue, yang kayak gitu." Ketus Niken saat melihat Hans bersama teman-temannya. Sontak saja membuat ketiga sahabatnya saling berpandangan.
"Elu sakit, Ken?" Tanya Naina.
"Entah. Gue juga nggak tahu kalau sekarang lu punya selera sama cowok." Ujar Naira.
"Elu nggak apa-apa kan, Ken?" Tambah Via.
"Kalian kenapa sih? Gitu amat sama gue. Gini-gini gue juga normal tau." Balas Niken.
Hans menggapaikan tangan kanannya. Niken tersenyum ceria. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kanannya.
"Aku kesana dulu." Kata Hans. Niken mengangguk pelan. Seiring waktu berjalan, Hans sering kali mendapati waktu luang untuk mendekati Niken. Dan Niken pun merasa aman jika sedang bersama Hans. Kadang kala Hans menelponnya, mengajaknya jalan menyusuri kampus, atau sekadar mengajak ia makan dan minum. Dia juga selalu menggenggam tangannya, selalu mengkhawatirkannya, dan sangat perhatian. Namun dengan cara Hans seperti itu, Niken selalu diancam oleh senior perempuan yang menjadi kekasihnya Hans.
"Lu tahu nggak? Dia itu playboy kampus. Seluruh kampus juga tahu, Niken. Jangan deh lu terjerumus oleh rayuan dia." Kata Naira. Niken hampir tak peduli.
"Iya, gue tahu dia itu playboy." Balas Niken.
"Terus...? Kenapa lu masih deket sama dia?" Kata Naira.
"Nay, elu pernah nggak ngerasain sesuatu yang belum pernah lu rasain. Seperti, kayak gini, kayak elu yang awalnya nggak percaya sama yang namanya sayang. Terus tiba-tiba ada cowok yang perhatian sama elu, dan ngebuka semua perspektif negatif lu menjadi sesuatu yang kayaknya berarti banget. Ya gue tahu, elu, Naina, Via dan Elsa pernah ngerasain yang namanya pacaran. Sementara gue? Karena dengan keadaan gue yang kayak gini. Susah buat gue percaya sama cowok. Terus tiba-tiba Hans datang dengan sesuatu yang berbeda. Iya gue tahu kalau dia itu playboy. Tapi pernah nggak sih lu mikir, mungkin aja dengan keberadaannya dia sekarang, di dekat gue. Bisa mengubah mind set gue tentang cowok." Jelas Niken. Naira, Naina, Via dan juga Elsa terdiam sejenak.
"Tapi kalau lu kenapa-napa, cerita ya sama kita. Nggak perlu lagi diem-dieman dan nyembunyiin rahasia apapun dengan kita. Kayak Elsa." Tukas Via. Elsa terdiam merasa terpojokan.
(Baca. The Secret Story)
***
Malam minggu itu Hans menjemput Niken dengan motor Vixion berwarna merah. Niken tampak anggun sekali dengan mengenakan baju berwarna mocca. Hans selalu mengajak Niken mengobrol. Niken tidak pernah merasa canggung apalagi merasa gugup. Hans selalu punya cara untuk mencairkan suasana. Setelah selesai menonton, mereka singgah ke tempat makan.
"Duhhh aku lupa." Kata Hans.
"Kenapa?" Tanya Niken.
"Ada kacang gorengnya. Aku alergi." Ujar Hans.
"Sini, biar aku sisihkan kacang gorengnya." Niken menyisihkan kacang goreng ke piringnya. Hans sangat senang menatap wajah Niken. Selain cantik, dia juga baik dan perhatian. Berbeda dengan perempuan yang selama ini ia dekati.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Niken. Hans tersenyum cerah.
"Kau cantik." Puji Hans. Niken tersipu malu. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Gugup.
Makan malam itu memberikan kesan berarti untuk Niken. Karena untuk kali pertama ia merasakan perasaan yang berbeda. Hati Niken melambung tinggi ke angkasa. Ada seberkas cahaya yang menelisik kedalam hatinya. Ia tertegun dengan perlakuan lelaki itu. Niken hampir melupakan bahwa Hans adalah lelaki playboy yang sering merayu banyak perempuan.
"Nggak apa-apa kan kalau kita jalan kaki sebentar?" Kata Hans. Niken menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, lalu ia mengangguk.
"Teman-temanmu tidak keberatan kalau aku sering ajak kamu keluar?" Tanya Hans.
"Uhmmm enggak sih. Mereka baik koq. Kita sahabatan udah lama, mereka juga ngerti." Jawab Niken.
"Syukurlah. Takutnya mereka marah sama kamu."
"Eng enggak."
"Kamu mau minum nggak? Aku beli dulu ya. Sebentar, tunggu disini." Ujar Hans, lalu ia berlari ke sebuah warung yang agak jauh dari tempat Niken berdiri.
"Hans kemana? Kenapa dia lama sekali?" Pikir Niken, ia lalu berjalan, hendak menghampiri Hans. Tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Tubuh Niken dibopong oleh seorang lelaki yang tak dikenal.
"Hans... Tolong.... Tolong.... Tolong...." Niken berteriak sekeras mungkin. Hans terkejut mendengar suara Niken, Hans segera berlari sekencang-kencangnya.
"Lepaskan aku. Lepaskan." Tubuh Niken dijatuhkan ke semak-semak, air matanya jatuh pelan-pelan. Mereka hendak memperkosa Niken. Lelaki itu menyentuh pipi Niken, lantas Niken meludahi wajahnya. Dia murka, lalu menampar Niken dengan sangat keras.
"Niken...?" Teriak Hans. Niken mendengar suara Hans tak jauh darinya.
"Hans... Tolong..." Hans siap meninju rahang dua preman itu. Tapi...
"Kau rupanya?" Kata preman yang memiliki tato di pipinya. Hans mengernyitkan dahinya.
"Kita bawa kemana dia?" Lanjut si preman yang satunya. Niken mengernyitkan dahinya. Seakan-akan kedua preman itu mengenali Hans.
"Ayolah Hans. Jangan berpura-pura begitu. Kita kan sudah merencanakan ini dari awal. Kau yang mengajak dia kencan, setelah itu kita nikmati bersama. Begitu bukan?" Tutur si preman dengan santai. Baik Niken maupun Hans sangat terkejut mendengar kalimat itu.
"Re, re, rencana apa?" Tanya Niken.
"Khasian sekali gadis polos ini." Katanya.
"Apa yang kalian bicarakan?" Hans pun tak mengerti apa yang dikatakan preman-preman itu.
"Namamu Niken bukan?" Tanya si preman. Niken mengangguk. "Dengar, aku melakukan ini karena Hans yang menyuruhku. Ini semua hanya rekayasa. Kau percaya bahwa lelaki itu baik padamu? Ccch, dasar wanita. Dia memang polos." Lanjut si preman. Niken tersentak, air matanya hampir saja jatuh. Ia pikir Hans berbeda dari yang lain. Tapi dia lebih bejad dari yang Niken kira. Hatinya sangat sakit, mendengar ucapan para preman itu. Baru saja ia merasakan indahnya jatuh cinta. Baru saja, ia hendak melepaskan perasaan takutnya yang selama ini menyelimuti dirinya. Tapi semuanya terasa palsu. Niken sangat terluka. Lelaki yang ia anggap berbeda itu, sangat melukai perasaannya. Sebulir air mata tak terasa jatuh. Niken menghapus air matanya, lalu beranjak berdiri.
"Tidak Niken. Itu tidak benar. Aku tidak mengenal mereka." Tukas Hans.
"Ahhh kau ini bagaimana Hans? Baru saja kemarin kau mengatakan bahwa kita akan menikmati gadis ini." Kata si preman. Karena merasa diadu dombakan. Hans menggertakkan rahangnya.
"Bajingan..." Tangannya meninju rahang salah satu preman itu. Emosi Hans naik pitam, ia menghajar mereka sampai babak belur. Sementara itu Niken berlari meninggalkan Hans yang sedang berkelahi. Menyadari Niken meninggalkannya, Hans pun berlari mengejarnya dan berhasil meraih tangan Niken.
"Niken... Niken... Tunggu. Niken....?" Seru Hans. "Aku bisa jelaskan semuanya kepadamu."
"Kalian semua sama." Bentak Niken sambil melepaskan tangannya.
Hans memandang Niken yang berurai air mata, "dengarkan aku. Aku sungguh tidak mengenal mereka. Percayalah padaku."
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Huh?!" Niken menengadahkan wajahnya.
"Aku berani bersumpah." Niken melayangkan tangan kanannya dan mendarat dipipi kiri Hans. "Niken..." Hans menarik tangannya. Tapi Niken melepaskannya dengan kasar.
"Jangan, jangan sekali-kali kau menyentuhku." Ujar Niken kemudian pergi meninggalkan Hans.
Hans sangat kesal dengan kejadian tadi. Semua usahanya gagal total. Ia tidak berhasil mendapatkan hati Niken. Mungkin saja saat ini Niken sangat membencinya. Dengan penuh amarah Hans pulang ke kostannya.
Begitu pun dengan Niken, ia pulang dengan membawa tangis dan luka.
"Ehh Niken baru pulang?" Seru ibu kost. Niken mengangguk. Ibu kost baru saja keluar dari kamar Elsa lalu mengunci kamar itu. Niken mengernyitkan dahinya.
"Elsa kemana bu?" Tanya Niken.
"Elsa udah pindah. Emangnya dia nggak ngasih tahu kamu?" Jawab ibu kost. Niken menghapus air matanya.
"Pindah? Pindah kemana?"
"Wah kalau itu ibu juga nggak tahu." Balas ibu kost. Niken termenung sejenak. Ada apa ini? Kenapa Elsa tiba-tiba menghilang? Akhir-akhir ini Elsa memang berubah. Semenjak orangtuanya bangkrut, Elsa menjadi pemurung dan sering menyembunyikan sesuatu. Niken menenggelamkan dirinya ke atas kasur.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments