15

Suasana di villa sudah tampak sepi. Pandu dan Arga sudah kembali ke kamar, sedangkan Rasya masih sibuk di depan televisi. Menonton acara lawak kesukaannya ditemani secangkir teh susu panas dan keripik singkong. Suara tawa Rasya terdengar menggelegar di ruangan itu.

Pandu yang belum tertidur pun merasa begitu terganggu. Dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal, lelaki itu keluar kamar dan hendak memarahi si perusuh kecil tersebut. Namun, ketika sampai di pintu menuju ke ruangan itu, tubuh Pandu terdiam melihat pemandangan yang membuat sudut bibirnya tertarik.

Rasya sedang berjoget dengan lihai, menirukan gerakan di acara televisi. Pinggul digoyang dengan tangan seolah sedang memegang mic ala biduan dangdut sedang konser. Gadis itu terlihat begitu percaya diri dengan suara cemprengnya.

Oh mungkinkah diri ini, bisa mengubah buih yang memutih

Menjadi permadani, seperti pinta yang kau ucap dalam janji cinta.

"Aishh sedihnya, asekk asekk jos! Sogok ... sogok ... Ahh! Tak sogok ... sogok.. Aaaa."

Pandu terkekeh melihat gadis itu terus saja berjoget mengikuti irama musik koplo yang menggema di sana. Rasya terlihat begitu menggemaskan baginya.

"Emak ... aku pengen kawin!" teriak Rasya. Gadis itu berbalik seolah hendak memeluk sesuatu. Namun, gerakannya terhenti saat melihat Pandu sedang berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada.

Karena tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya yang terkejut, akhirnya pantat Rasya mendarat bebas di atas keramik putih tulang yang barusan dia injak. Melihat Rasya yang merintih, Pandu melangkah lebar mendekati gadis itu.

"Bagaimana kamu bisa jatuh?" Suara Pandu sedikit membentak.

"Yaelah, Om. Bantuin napa, jangan bentak-bentak, sakit nih pantat!" protes Rasya dengan satu tangan terulur. Pandu pun membantu perusuh itu berdiri.

"Sakit?" tanya Pandu dengan senyum meledek.

"Enggak!" sahut Rasya ketus. Dia mematikan televisi lalu hendak kembali ke kamar. Namun, baru saja melewati tempat Pandu berdiri, ponsel Rasya terdengar berdering, mengejutkan Pandu yang saat itu sedang melamun.

"Hallo, Bu ... apa? Bapak masuk rumah sakit?"

Suara Rasya terdengar memekik, tetapi beberapa detik selanjutnya, gadis itu berjalan pergi menuju ke taman belakang, meninggalkan Pandu begitu saja. Namun, Rasya tidak menyadari kalau Pandu mengikut di belakangnya.

"Besok pagi Rasya usahakan pulang, Bu." Suara Rasya terdengar begitu lembut, berbeda saat sedang berdebat dengan Pandu.

"Iya, besok pagi Rasya pamit sama Mas Gatra. Enggak enak kalau izin lewat pesan doang. Mas Agus belum pulang?" Rasya kembali terdiam, mendengar jawaban dari seberang.

"Ya udah, kalau gitu Rasya matikan dulu. Selamat malam, Bu. Rasya sayang kalian." Rasya menurunkan ponsel yang layarnya masih menyala. Dia menghela napas berat. Jujur, dia merasa begitu bingung saat ini karena dirinya belum gajian, sedangkan dirinya tidak mungkin pulang tanpa membawa uang.

"Aku telepon Mas Gatra saja, deh." Rasya kembali menekan layar yang belum padam, mencari nomor Gatra dan menekan icon hijau. Sementara Pandu, sedari tadi hanya mengamati gadis itu dari ambang pintu.

"Selamat malam, Mas," sapa Rasya saat panggilan itu terhubung.

"Ra, tumben sekali kamu meneleponku. Kamu kangen?" sahut Gatra dari seberang dengan menggoda.

"Ish! Mas Gatra suka banget godain aku. Bikin aku pengen salto aja." Raya terkekeh.

"Ada-ada saja kamu, Ra. Kapan kamu balik ke restoran?"

"Belum tahu, Mas. Aku masih disuruh nemenin Om Panu berlibur. Nanti kalau udah pulang aku bakal kerja lagi di Gama."

"Aku tunggu, Ra. Jangan berbohong ya."

"Enggak, Mas. Tenang aja."

Pandu yang mendengar perbincangan itu, tiba-tiba merasa begitu kesal. Ada rasa panas yang menjalar di hatinya. Bahkan tangan lelaki itu sampai terkepal erat. Pandu berbalik dan hendak pergi dari sana. Namun, ucapan Rasya yang baru masuk gendang telinganya, seketika menghentikan lelaki tersebut.

"Mas, boleh aku pinjam uang? Tidak banyak, lima juta aja. Nanti Mas Gatra bisa potong gaji aku tiap bulan, cukup sisain buat bayar kontrakan aja."

Suara Rasya yang begitu lirih, justru membuat hati Pandu terasa mencelos. Tubuh lelaki itu berbalik, lalu melangkah lebar dan merebut ponsel Rasya sehingga membuat gadis itu terlonjak.

"Om!" bentak Rasya. Dia berusaha merebut ponsel yang kini sudah terangkat tinggi. "Balikin ponsel aku!"

"Tidak akan!" Pandu tetap berdiri dengan tenang, membiarkan Rasya terus melompat untuk mengambil ponselnya.

"Aku lagi enggak mau bercanda, Om! Balikin!" Rasya memegang lutut, dengan napas terengah. Melihat Pandu yang masih saja mengangkat benda pipih itu, Rasya berjalan masuk dengan kaki menghentak-hentak. Namun, Pandu tidak peduli, dia justru membuka menu di layar yang kebetulan belum terkunci.

Pandu mengirimkan nomor yang bertuliskan 'Bunda' ke nomor pribadi miliknya, setelah itu dia menghapus pesan tersebut agar Rasya tidak mengetahui.

"Om Panu!" pekik Rasya dari ambang pintu. Gadis itu putar balik karena ternyata Pandu tidak mengejarnya. Gadis itu melangkah lebar lalu merebut ponselnya dari tangan Pandu.

"Bersiaplah! Besok pagi kita harus melakukan perjalanan jauh," ucap Pandu dengan tenang. Dia berjalan melewati Rasya begitu saja.

"Ke mana, Om?" Rasya mengekor di belakang Pandu, berusaha mencari tahu. Namun, lelaki itu tidak membuka suara dan berjalan begitu saja menuju ke kamar.

"Om kenapa enggak jawab, sih? Sariawan?" tanya Rasya, tetapi Pandu tetap saja membisu.

"Pandu Nugraha Andaksa!" panggil Rasya berteriak dengan tangan berkacak pinggang. Pandu menghentikan langkahnya lalu berbalik dan menatap Rasya dengan sangat tajam.

"Maaf ya, Om. Aku mau balik kamar. Dada Om Panu!" Rasya melambaikan tangan dengan cengengesan.

"Jangan pergi! Kamu harus membayar kelancanganmu!" hardik Pandu. Langkahnya terus mendekati Rasya yang sedang mundur dengan perlahan.

"Ampuni hamba, Paduka Raja. Mohon maaf, hamba harus ... kabuuuurrr! Ah, Emak sakit!" pekik Rasya. Gadis yang sudah berbalik dan hendak kabur itu, justru menabrak pintu dan pantatnya kembali menyentuh lantai.

"Lain kali kalau jalan mata dipakai jangan cuma dijadikan pajangan," cibir lelaki yang saat ini sedang menahan tawa. Rasya tidak menjawab, hanya berjalan pergi meninggalkan Pandu.

"Cantik-cantik ceroboh."

"Makasih, Om. Aku emang cantik!"

Pandu mengusap dada karena terkejut dengan Rasya yang tiba-tiba menyahut, dan hanya kepala gadis itu yang menyembul dari balik tembok. Pandu berlari mendekati tempat Rasya, tetapi gadis itu sudah berlari kencang menuju ke kamarnya.

"Dasar!"

Terpopuler

Comments

Cici_sleman

Cici_sleman

author kyone mudeng boso jowo deh😅

2024-01-28

0

Mbah Edhok

Mbah Edhok

Si Pandu ... puyeng sendir, kan.
maksud hati hendak ngerjain eee malah dikerjain ... puciang ...

2022-11-05

0

Desi

Desi

Wedan.e kambuh

2022-10-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!