Dad, I Can See The Ghost
Tak mudah menjadi seorang Kala Wisnu Ganendra Bimantara, yang terlahir dengan kemampuan istimewa. Sejak kecil ia suka histeris sendiri, apabila melihat ke arah sebuah rumah kosong dan tempat gelap. Atau ketika tengah diajak melintas di area yang kata orang terkenal angker.
Kala begitu ia akrab disapa, mengatakan jika ia sering melihat sosok-sosok yang mengerikan. Namun sejak bayi ia di asuh oleh keluarga mendiang ibunya, yang sangat realistis dan tak percaya pada hal-hal gaib.
Meskipun keluarga tersebut berasal dari wilayah, yang hampir seluruh warganya percaya pada hal mistis. Namun keluarga ibunya tidak demikian.
Sejak pertama ia sering berteriak ketakutan, keluarga ibunya tersebut selalu membawa Kala ke dokter. Mereka curiga kalau anak itu mengalami sakit yang serius.
Namun setiap kali mendatangi rumah sakit, setiap itu pula Kala dinyatakan tidak mengalami apa-apa. Untuk selanjutnya ia dianggap oleh keluarga ibunya sebagai anak yang hanya suka cari perhatian.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
Malam ini ia kembali histeris. Sang nenek, om, serta salah satu tantenya pun datang menghampiri. Sudah 15 tahun usianya, dan ia masih saja tidak berubah.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
"Kala, Kala."
Terdengar suara nenek, om, dan tantenya yang memanggil.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
Kala terus saja histeris, sampai kemudian.
"Buuuk."
"Plaaak."
Sebuah pukulan dan tamparan bertubi-tubi mendarat di wajahnya, hingga remaja laki-laki itu mendadak terdiam diantara orang-orang tersebut.
"Apalagi yang kamu liat hari ini, hah?"
Om atau suami dari tantenya kini bertanya dengan nada yang penuh kekesalan. Tatap matanya yang tajam menghujam, seolah hendak menelan Kala hidup-hidup.
"Itu Ganesha bangun gara-gara kamu."
Sang tante ikut menimpali, seraya menoyor kepala Kala dengan kasar.
"Kamu tau nggak susahnya menidurkan anak bayi?. Udah remaja juga, masih aja suka teriak-teriak nggak jelas." lanjut sang tante lagi.
Kala yang masih syok tersebut, terus melihat ke arah belakang sang nenek
"Di belakang oma, ada cewek rambut panjang. Mukanya hancur." ujar Kala gemetaran.
Keluarga itu menghela nafas hampir berbarengan.
"Itu terus yang kamu bicarakan selama bertahun-tahun, capek tau nggak."
Suami sang tante ikut menoyor kepala Kala.
"Awas kalau kamu teriak lagi, oma akan pasung kamu di gudang." Kali ini sang nenek mengeluarkan suara.
Tak lama mereka semua pun keluar dari kamar Kala, dan meninggalkannya sendirian. Tak ada pelukan bagi remaja itu, belum pernah sekalipun seumur hidupnya ia merasakan lembutnya perlakuan. Hanya pukulan demi pukulan yang ia terima selama ini.
Sejatinya ia bisa saja membalas, karena di sekolah ia pun sangat jago berkelahi. Ia sengaja ikut kelas beladiri secara diam-diam dengan menyisihkan uang jajan, lantaran selama ini dirinya selalu dianggap aneh dan di bully.
Ada beberapa siswa di sekolahnya yang pernah babak belur di hajar oleh remaja tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan, jika ia juga bisa menghajar om, tante, serta neneknya dengan tangan kosong.
Namun ia enggan melakukan hal itu, karena ia merasa jika mereka semua adalah keluarganya. Kala hanya memiliki mereka, dan merekalah yang telah membesarkan Kala sejak ibu Kala meninggal dunia.
Rasanya tak pantas saja jika ia membalas mereka dengan kekerasan, meskipun kadang terpikir demikian. Kala memandang kebaikan keluarganya yang masih memberi tempat tinggal, makan, serta uang saku padanya setiap hari.
Ia tak pernah mengetahui bahwa kebaikan itu hanyalah kedok semata. Sebab mendiang sang kakek mewariskan sebagian besar hartanya kepada Gayatri ibu Kala, jauh disaat Gayatri masih kecil. Dan Kala adalah pewaris tunggal yang sah dari Gayatri.
Mereka berniat menyingkirkan Kala suatu saat dan menguasai seluruh harta warisan yang ditinggalkan.
***
"Ini udah saatnya bu, Galuh udah nggak tahan sama anak itu."
Adik mendiang ibu Kala yang bernama Galuh, yang tadi ikut memukul sang keponakan, kini berujar pada ibunya. Mereka tengah rapat di ruang makan.
"Ibu harus memberikan Kala sama bapaknya. Toh Galuh pernah dengar kalau keluarga bapaknya itu kaya raya, mereka pasti mampu merawat anak itu. Kenapa harus kita terus yang di susahkan?." ujar Galuh lagi.
"Ibu sih dari awal anak itu lahir dan dititipkan ke kita saja, ibu sudah ndak setuju. Anak itu aib, mbakmu Gayatri itu tidak bisa menjaga kehormatan keluarga. Hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bahkan keyakinannya saja beda dengan kita. Kita saja belum pernah bertatap muka secara langsung dengan laki-laki itu maupun keluarganya. Siapa dia, seperti apa rupanya." ucap sang ibu.
"Tapi bapakmu bilang kasihan. Bapakmu yang mengampuni Gayatri, saat Gayatri mengaku kalau dia hamil. Bapakmu itu terlalu lembek jadi laki-laki, harusnya Gayatri dihapus namanya dari daftar penerima warisan." lanjut wanita tersebut.
"Tapi kan sekarang bapak sudah ndak ada bu, kasih saja anak itu ke keluarga bapaknya. Saya sama mas Sasono mau hidup tenang, Ghandi sama Gita juga mau damai. Kami bertiga bersaudara ndak mau nanggung dosanya mbak Gayatri."
"Ya sudah, kalian cari tau lah dimana sekarang bapak dari anak itu. Terus kirim saja dia kesana." ucap sang ibu.
"Di buku catatan mbak Gayatri, masih ada alamat laki-laki itu. Galuh menemukan catatan itu di kamar mbak Gayatri." jawab Galuh.
"Ya sudah, kamu cari informasi apa dia masih disana atau ndak. Kalau iya, segera kirimkan Kala kesana."
"Baik bu." jawab Galuh lagi.
***
Di suatu tempat.
Seorang dokter spesialis kejiwaan atau psikiater baru saja selesai menangani pasien. Ini telah masuk jam makan siang, maka ia pun beristirahat sejenak dan mendapatkan makan siangnya di kantin rumah sakit.
"Bro."
Enrico, rekan sesama dokter sekaligus sahabat sejak jaman sekolah, terlihat menghampiri sang dokter.
"Lo udah kelar, gue pikir masih operasi." ujar sang dokter kejiwaan pada dokter Enrico.
"Udah kelar dan gue laper banget, sumpah." jawab Enrico.
"Siang dokter Philip, dokter Enrico."
Seorang perawat melintas dan menyapa keduanya.
"Siang sus." jawab keduanya serentak, lalu duduk di kursi meja yang tersedia.
Sementara suster itu berlalu, tak lama kemudian seorang dokter wanita melintas dan sempat menoleh serta tersenyum pada mereka.
"Gimana Phil?" tanya Enrico pada Philip.
"Gimana apanya?" Philip balik bertanya dengan nada heran.
"Itu, dokter Zara." ujar Enrico lagi.
"Ya apa, lo berharap gue jawab apa?" lagi-lagi Philip bertanya.
"Lo bener-bener nggak ngeh, kalau dokter Zara itu suka sama lo?"
"Hhhhh." Philip menghela nafas agak dalam.
"Tau gue." ujarnya kemudian.
"Tapi ya udahlah, mau diapain?" lanjutnya lagi.
"Emang lo nggak ada perasaan sama dia?" lagi dan lagi Enrico bertanya. Philip menggeleng sambil melahap makanannya.
"Jangan-jangan, lo masih inget sama Gayatri."
Philip kembali menghela nafas agak dalam dan menjatuhkan pandangannya ke piring makan.
"Udah enam belas tahun, bro. Mungkin dia udah menikah dan punya anak tiga." ujar Enrico sambil bercanda.
Sementara Philip masih diam.
"Lo sama dia itu beda keyakinan. Orang tua lo nggak ngasih, orang tua dia juga nggak merestui, nggak bakal ketemu. Mending lo udahin aja. Liat gue, walaupun gue gagal dalam membina rumah tangga, tapi gue pernah menikah. Lo belum pernah sama sekali, padahal yang suka sama lo banyak."
"Nggak mudah buat gue, Ric." Philip akhirnya bersuara.
"Gue tau udah enam belas tahun berlalu, tapi rasanya kayak baru kemaren."
Philip menjatuhkan pandangan matanya jauh ke depan. Kini pria berusia 38 tahun itu seakan tak memiliki gairah lagi untuk melanjutkan makannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Herni Widiani
bagaimana kabarmu?
2022-04-26
1
Nuratika Nuratika
Horor rupanya😅😅
2022-03-27
1
hadiya nur Jannah
kalau horor jangan serem" amat ya kak tkt gax bisa tidur.😃😃😃
2022-03-07
2