"Kal."
Egan yang baru pulang dari sekolah, menghampiri Kala. Saat itu Kala tengah mengikuti pelajaran online dan hampir selesai.
Sekolahnya sendiri memfasilitasi bagi siapapun siswa yang berhalangan hadir, untuk tetap bisa mengakses pelajaran dari mana saja.
"Iya." jawab Kala kemudian.
"Lo lagi belajar online ya?" tanya Egan.
"Ini udah mau selesai koq." jawab Kala.
"Gue mau tanya, kata bik Marni lo ada cerita sama papa. Bik Marni nggak sengaja denger, soal lo yang ngeliat sesuatu di belakang salah satu temen gue semalem. Emang bener?" Egan bertanya dengan penuh antusias.
Kala diam sejenak.
"Apa lo percaya sama hal begituan?" tanya nya penuh keraguan.
"Percaya koq." jawab Egan tegas.
"Gue bahkan ikut komunitas ghost photography. Ya, walaupun papa nggak mendukung sih. Dia lebih suka kalau gue mempelajari ilmu pasti, katanya itu lebih bermanfaat." lanjutnya kemudian.
"Gue ngeliat sosok tinggi gede dan matanya merah, di belakang teman lo yang pake kacamata." ujar Kala.
"Akbar?" tanya Egan dengan ekspresi wajah yang terperangah.
"Satu doang kan yang pake kacamata?" Kala balik bertanya.
"Iya, itu Akbar namanya." jawab Egan.
"Serius ada sosok di belakangnya?" Egan masih begitu penasaran.
"Itu yang gue liat sih." ujar Kala lagi.
Egan mencoba mengingat-ingat kembali.
"Pantes, waktu itu si Chika temen gue yang katanya bisa ngeliat begituan, dia bilang Akbar itu ada yang jagain. Bawaan, dan pemberian kakek buyutnya atau apanya gitu. Tapi si Chika ini nggak cerita bentuknya gimana, kita taunya si Akbar itu ada yang jagain doang." tukas Egan.
"Si Chika-Chika itu bisa ngeliat juga?" tanya Kala.
Ia merasa seperti memiliki teman senasib.
"Iya, katanya sih bisa. Dia anak sekolah gue, adek kelas." jawab Egan.
"Lo sendiri kelas berapa?" tanya Kala lagi.
"Gue kelas dua, tapi sebagian temen gue juga ada yang kelas satu. Lo kelas berapa emangnya?" Egan balik bertanya.
"Kelas satu." jawab Kala.
"Selain dari sosok itu, ada lagi nggak yang lo liat?" tanya Egan.
"Nggak ada." jawab Kala.
"Udah berapa lama lo bisa ngeliat hal kayak gitu?" lagi-lagi Egan melontarkan pertanyaan.
"Dari kecil."
"Lo gimana, ngerasa terganggu atau?"
"Banget, makanya gue pengen tau ada nggak orang yang sama kayak gue. Yang kata lo Chika-Chika itu tadi, dia sendiri gimana?. Takut kah, terganggu kah?. Atau santai aja?"
"Mm, sejauh yang gue kenal sih ya, dia kayaknya santai aja deh. Kayak misalkan lagi jalan nih, kemana gitu. Barengan sama temen-temen fotografi, kan dia gabung juga tuh." ujar Egan.
Kala memperhatikan remaja tersebut.
"Sering nih, dia tuh kayak tiba-tiba ngingetin kita semua. Ntar disitu jangan pipis sembarangan ya, jangan ngomong kotor, soalnya penunggunya galak. Kayak gitu-gitu lah dia ngomong. Anak-anak ya akhirnya nurut aja, karena takut juga kalau misalkan terjadi apa-apa."
"Dia nggak pernah ketakutan sampe histeris gitu?" tanya Kala.
"Takut sih, ada saatnya dia takut. Tapi kalau sampe histeris, kayaknya nggak. Dia nyantai banget anaknya, kayak menerima aja kondisi dia yang nggak sama dengan orang lain."
Kala terdiam, penerimaan semacam itulah yang ingin ia rasakan saat ini. Namun hal tersebut begitu sulit baginya.
"Gue pengen bisa kayak gitu, tapi kayaknya nggak mungkin deh." ujar Kala.
"Kenapa emangnya?" tanya Egan.
"Gue selalu ketakutan parah kalau ngeliat begituan, soalnya serem banget. Semalem aja gue nggak berani ngeliat ke arah temen lo lama-lama."
"Coba deh, ntar sekali-kali gue ajak lo ketemu Chika. Siapa tau kalian bisa sharing, atau kolaborasi bareng di YouTube nya dia." ujar Egan.
Kala tertawa.
"Emang dia punya YouTube?" tanya nya kemudian.
"Ada namanya jurnal Chika. Ntar deh kita nonton bareng." jawab Egan.
"Oke deh." ucap Kala.
"Coba lo sekolah dan tinggal disini selamanya." celetuk Egan.
"Pasti seru." lanjutnya lagi.
***
"Ric."
Philip tiba-tiba muncul di ruangan Enrico, setelah Enrico berhenti mengganggunya untuk beberapa saat. Enrico hanya ingin memberi waktu untuk sahabatnya itu, agar bisa berpikir jernih. Kini ia muncul dengan sendirinya, tanpa paksaan.
"Phil, ada apa?" tanya Enrico heran.
"Ambil sampel darah gue." ujar Philip.
Seketika Enrico pun tersenyum penuh haru. Darah Philip diambil, ia akan segera menjalani tes DNA. Kemudian akan di cocokkan DNA-nya tersebut dengan DNA milik Kala.
Sejatinya kemiripan wajah mereka berdua sudah menjelaskan, jika memang Kala adalah anak biologis Philip. Namun hasil tes DNA bisa dijadikan bukti yang kuat, apabila terjadi sesuatu kelak di kemudian hari.
"Apa sekarang lo mau ketemu dia?" Enrico bertanya ketika sampel darah milik Philip telah selesai diambil.
"Nanti aja, tunggu hasil ini keluar. Biar semuanya clear." jawab Philip.
"Oke."
"Apa dia baik-baik aja?" Philip balik bertanya pada Enrico.
"Ya, dia juga akrab sama Egan belakangan ini. Egan jadi punya saudara dan temen main game online kalau malam." jawab Enrico.
Philip menarik nafas, dalam hatinya ia tenang mendengar hal tersebut.
"Kabari gue secepatnya." ujar pria itu kemudian.
Enrico mengangguk, tak lama Philip berlalu dan meninggalkan ruangan tersebut. Ia kini melangkah menuju ke ruangan prakteknya. Ia berjalan dengan tenang, karena merasa telah mengambil tindakan yang tepat.
"Sumpah, parah sih tuh orang."
"Hahaha."
Terdengar suara seseorang yang Philip kenal. Ya, itu suara Egan. Segera Philip menoleh, karena Egan memang sering menyambangi rumah sakit ini.
Namun kemudian Philip tertegun, lantaran menemukan Egan yang tak sendirian. Egan bersama dengan Kala, dan entah mau kemana mereka. Dari arah yang diambil, tampaknya mereka akan menuju ke ruangan tempat dimana Enrico berada.
Philip terdiam melihat fotocopyan dirinya tersebut. Kala memang sama persis dengan dirinya saat masih remaja, hanya saja ia memiliki mata dan barisan gigi seperti Gayatri.
Hati Philip remuk redam, Gayatri tak pernah memberitahu dirinya jika ia hamil akibat malam itu. Kala tumbuh besar tanpa kasih sayang orang tuanya.
Egan masih cekikikan, Kala juga masih tertawa. Sebab tadi mereka berpapasan dengan seseorang yang menurut mereka sangat lucu.
"Eh Kal, kalau di rumah sakit gini banyak nggak sih setannya?" tanya Egan penasaran.
Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan, karena rahangnya sudah sangat lelah tertawa.
"Ada, tuh di kaki lo gelendotan." jawab Kala.
"Buset, iiiiih."
Egan menyentakan kakinya, karena ketakutan. Kala kini tertawa-tawa, seumur hidup ia belum pernah bercanda seperti ini dengan temannya.
"Gue bercanda koq." ujar Kala kemudian.
"Lu ngagetin aja."
Egan berujar dengan wajah yang masih diliputi ketakutan, namun ia penuh tawa.
"Kita mau ngapain sih disini?" Kali ini Kala bertanya.
Karena tadi Egan hanya minta di temani ke rumah sakit, tanpa mengatakan apa alasannya.
"Mau ngambil kamera gue yang tinggal disini." jawab Egan.
"Koq bisa tinggal?"
"Ya, gue sama papa itu kan kadang suka jalan bareng. Gue waktu itu abis dari hunting foto, disuruh kesini sama papa. Karena kita mau jalan, sehabis jam kerja dia. Eh ketinggalan, kameranya. Minta papa bawa pulang, lupa mulu anjir."
Kala tertawa.
"Namanya juga bapak-bapak." ujarnya kemudian.
Egan ikut tertawa-tawa bersama Kala. Namun tiba-tiba Kala terdiam, ketika menatap ke suatu arah. Egan menyadari perubahan di wajah anak itu dari yang tadinya biasa, kini berubah penuh ketakutan. Bahkan ia mulai dibanjiri keringat.
"Kal."
Egan memanggil nama Kala, hingga Kala pun tersadar dan membuang pandangan ke arah lain.
"Lo ngeliat sesuatu?" tanya Egan dan Kala pun mengangguk.
"Di depan kamar 406." ujarnya tanpa melihat lagi ke arah yang di maksud.
Egan sempat melihat kesana sejenak, tak lama ia pun mendorong Kala untuk terus melangkah tanpa memperhatikan sekitar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
anggita
Kala👽🔥
2022-02-15
0
Bidadarinya Sajum Esbelfik
serreemmm.. colab sm Rio gih 🤣🤣🤣
2022-02-06
3
Sky Blue
Smoga ad kbahagiaan dlam hdup Kala..,
Smnagt slalu kax..,
🥰🥰🥰
2022-01-02
3