Tak mudah menjadi seorang Kala Wisnu Ganendra Bimantara, yang terlahir dengan kemampuan istimewa. Sejak kecil ia suka histeris sendiri, apabila melihat ke arah sebuah rumah kosong dan tempat gelap. Atau ketika tengah diajak melintas di area yang kata orang terkenal angker.
Kala begitu ia akrab disapa, mengatakan jika ia sering melihat sosok-sosok yang mengerikan. Namun sejak bayi ia di asuh oleh keluarga mendiang ibunya, yang sangat realistis dan tak percaya pada hal-hal gaib.
Meskipun keluarga tersebut berasal dari wilayah, yang hampir seluruh warganya percaya pada hal mistis. Namun keluarga ibunya tidak demikian.
Sejak pertama ia sering berteriak ketakutan, keluarga ibunya tersebut selalu membawa Kala ke dokter. Mereka curiga kalau anak itu mengalami sakit yang serius.
Namun setiap kali mendatangi rumah sakit, setiap itu pula Kala dinyatakan tidak mengalami apa-apa. Untuk selanjutnya ia dianggap oleh keluarga ibunya sebagai anak yang hanya suka cari perhatian.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
Malam ini ia kembali histeris. Sang nenek, om, serta salah satu tantenya pun datang menghampiri. Sudah 15 tahun usianya, dan ia masih saja tidak berubah.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
"Kala, Kala."
Terdengar suara nenek, om, dan tantenya yang memanggil.
"Aaaaaaaa."
"Aaaaaaaa."
Kala terus saja histeris, sampai kemudian.
"Buuuk."
"Plaaak."
Sebuah pukulan dan tamparan bertubi-tubi mendarat di wajahnya, hingga remaja laki-laki itu mendadak terdiam diantara orang-orang tersebut.
"Apalagi yang kamu liat hari ini, hah?"
Om atau suami dari tantenya kini bertanya dengan nada yang penuh kekesalan. Tatap matanya yang tajam menghujam, seolah hendak menelan Kala hidup-hidup.
"Itu Ganesha bangun gara-gara kamu."
Sang tante ikut menimpali, seraya menoyor kepala Kala dengan kasar.
"Kamu tau nggak susahnya menidurkan anak bayi?. Udah remaja juga, masih aja suka teriak-teriak nggak jelas." lanjut sang tante lagi.
Kala yang masih syok tersebut, terus melihat ke arah belakang sang nenek
"Di belakang oma, ada cewek rambut panjang. Mukanya hancur." ujar Kala gemetaran.
Keluarga itu menghela nafas hampir berbarengan.
"Itu terus yang kamu bicarakan selama bertahun-tahun, capek tau nggak."
Suami sang tante ikut menoyor kepala Kala.
"Awas kalau kamu teriak lagi, oma akan pasung kamu di gudang." Kali ini sang nenek mengeluarkan suara.
Tak lama mereka semua pun keluar dari kamar Kala, dan meninggalkannya sendirian. Tak ada pelukan bagi remaja itu, belum pernah sekalipun seumur hidupnya ia merasakan lembutnya perlakuan. Hanya pukulan demi pukulan yang ia terima selama ini.
Sejatinya ia bisa saja membalas, karena di sekolah ia pun sangat jago berkelahi. Ia sengaja ikut kelas beladiri secara diam-diam dengan menyisihkan uang jajan, lantaran selama ini dirinya selalu dianggap aneh dan di bully.
Ada beberapa siswa di sekolahnya yang pernah babak belur di hajar oleh remaja tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan, jika ia juga bisa menghajar om, tante, serta neneknya dengan tangan kosong.
Namun ia enggan melakukan hal itu, karena ia merasa jika mereka semua adalah keluarganya. Kala hanya memiliki mereka, dan merekalah yang telah membesarkan Kala sejak ibu Kala meninggal dunia.
Rasanya tak pantas saja jika ia membalas mereka dengan kekerasan, meskipun kadang terpikir demikian. Kala memandang kebaikan keluarganya yang masih memberi tempat tinggal, makan, serta uang saku padanya setiap hari.
Ia tak pernah mengetahui bahwa kebaikan itu hanyalah kedok semata. Sebab mendiang sang kakek mewariskan sebagian besar hartanya kepada Gayatri ibu Kala, jauh disaat Gayatri masih kecil. Dan Kala adalah pewaris tunggal yang sah dari Gayatri.
Mereka berniat menyingkirkan Kala suatu saat dan menguasai seluruh harta warisan yang ditinggalkan.
***
"Ini udah saatnya bu, Galuh udah nggak tahan sama anak itu."
Adik mendiang ibu Kala yang bernama Galuh, yang tadi ikut memukul sang keponakan, kini berujar pada ibunya. Mereka tengah rapat di ruang makan.
"Ibu harus memberikan Kala sama bapaknya. Toh Galuh pernah dengar kalau keluarga bapaknya itu kaya raya, mereka pasti mampu merawat anak itu. Kenapa harus kita terus yang di susahkan?." ujar Galuh lagi.
"Ibu sih dari awal anak itu lahir dan dititipkan ke kita saja, ibu sudah ndak setuju. Anak itu aib, mbakmu Gayatri itu tidak bisa menjaga kehormatan keluarga. Hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bahkan keyakinannya saja beda dengan kita. Kita saja belum pernah bertatap muka secara langsung dengan laki-laki itu maupun keluarganya. Siapa dia, seperti apa rupanya." ucap sang ibu.
"Tapi bapakmu bilang kasihan. Bapakmu yang mengampuni Gayatri, saat Gayatri mengaku kalau dia hamil. Bapakmu itu terlalu lembek jadi laki-laki, harusnya Gayatri dihapus namanya dari daftar penerima warisan." lanjut wanita tersebut.
"Tapi kan sekarang bapak sudah ndak ada bu, kasih saja anak itu ke keluarga bapaknya. Saya sama mas Sasono mau hidup tenang, Ghandi sama Gita juga mau damai. Kami bertiga bersaudara ndak mau nanggung dosanya mbak Gayatri."
"Ya sudah, kalian cari tau lah dimana sekarang bapak dari anak itu. Terus kirim saja dia kesana." ucap sang ibu.
"Di buku catatan mbak Gayatri, masih ada alamat laki-laki itu. Galuh menemukan catatan itu di kamar mbak Gayatri." jawab Galuh.
"Ya sudah, kamu cari informasi apa dia masih disana atau ndak. Kalau iya, segera kirimkan Kala kesana."
"Baik bu." jawab Galuh lagi.
***
Di suatu tempat.
Seorang dokter spesialis kejiwaan atau psikiater baru saja selesai menangani pasien. Ini telah masuk jam makan siang, maka ia pun beristirahat sejenak dan mendapatkan makan siangnya di kantin rumah sakit.
"Bro."
Enrico, rekan sesama dokter sekaligus sahabat sejak jaman sekolah, terlihat menghampiri sang dokter.
"Lo udah kelar, gue pikir masih operasi." ujar sang dokter kejiwaan pada dokter Enrico.
"Udah kelar dan gue laper banget, sumpah." jawab Enrico.
"Siang dokter Philip, dokter Enrico."
Seorang perawat melintas dan menyapa keduanya.
"Siang sus." jawab keduanya serentak, lalu duduk di kursi meja yang tersedia.
Sementara suster itu berlalu, tak lama kemudian seorang dokter wanita melintas dan sempat menoleh serta tersenyum pada mereka.
"Gimana Phil?" tanya Enrico pada Philip.
"Gimana apanya?" Philip balik bertanya dengan nada heran.
"Itu, dokter Zara." ujar Enrico lagi.
"Ya apa, lo berharap gue jawab apa?" lagi-lagi Philip bertanya.
"Lo bener-bener nggak ngeh, kalau dokter Zara itu suka sama lo?"
"Hhhhh." Philip menghela nafas agak dalam.
"Tau gue." ujarnya kemudian.
"Tapi ya udahlah, mau diapain?" lanjutnya lagi.
"Emang lo nggak ada perasaan sama dia?" lagi dan lagi Enrico bertanya. Philip menggeleng sambil melahap makanannya.
"Jangan-jangan, lo masih inget sama Gayatri."
Philip kembali menghela nafas agak dalam dan menjatuhkan pandangannya ke piring makan.
"Udah enam belas tahun, bro. Mungkin dia udah menikah dan punya anak tiga." ujar Enrico sambil bercanda.
Sementara Philip masih diam.
"Lo sama dia itu beda keyakinan. Orang tua lo nggak ngasih, orang tua dia juga nggak merestui, nggak bakal ketemu. Mending lo udahin aja. Liat gue, walaupun gue gagal dalam membina rumah tangga, tapi gue pernah menikah. Lo belum pernah sama sekali, padahal yang suka sama lo banyak."
"Nggak mudah buat gue, Ric." Philip akhirnya bersuara.
"Gue tau udah enam belas tahun berlalu, tapi rasanya kayak baru kemaren."
Philip menjatuhkan pandangan matanya jauh ke depan. Kini pria berusia 38 tahun itu seakan tak memiliki gairah lagi untuk melanjutkan makannya.
***
"Sebaiknya kalian tidak usah berhubungan, berteman saja. Kita ini berbeda segalanya."
"Tapi mam."
"Philip, kamu akan mami dan papi jodohkan dengan anak dari teman kami. Sebaiknya kamu antar perempuan ini pulang!."
"Mam, kami saling mencintai satu sama lain."
"Philip, dengarkan mami mu bicara. Perempuan ini tidak pantas masuk ke keluarga kita."
"Pi, apa salahnya kalau Philip mencintai dia?"
"Maaf om, tante, saya permisi."
"Tri tunggu, jangan pergi."
"Tri..."
"Haaah."
"Hhhh."
"Hhhh."
Dokter Philip terbangun dari mimpinya yang begitu menyesakan dada. Sudah enam belas tahun berlalu, namun ia masih saja teringat pada peristiwa hari itu. Bahkan masih terbawa sampai ke dalam mimpi.
Padahal ia adalah dokter spesialis kejiwaan, namun terkadang ia tidak bisa menghandle permasalahan dalam jiwanya sendiri.
Gayatri Dewantari selalu hidup dalam ingatannya, meski ia tak pernah tau dimana kampung halaman perempuan itu. Dan meski ia tak pernah menghubungi Philip sama sekali sejak kepulangannya ke sana.
"Dert."
"Dert."
"Dert."
Handphone Philip bergetar, ternyata panggilan dari Enrico.
"Ya bro?" ujar Philip dengan suara masih setengah mengantuk.
"Phil, lo ke rumah sakit sekarang!"
Suara Enrico terdengar panik.
"Kenapa emangnya?"
Philip pun kini mulai cemas, ia menduga telah terjadi sesuatu yang serius pada sahabatnya itu.
"Pokoknya lo kesini, sekarang!. Gue nggak bisa jelasin di telpon, karena lo nggak akan ngerti." ucap Enrico.
Philip diam untuk beberapa detik.
"Ric, ini lo serius nyuruh gue datang?. Lo nggak lagi ngerjain gue kan?" tanya pria itu.
Sebab Enrico adalah salah satu teman yang cukup jahil dan suka mengerjai orang.
"Phil, tolong!"
"Oke, gue kesana sekarang."
Philip bergegas, dokter tampan bertubuh tinggi dan berbadan six pack tersebut mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meski ia tau resikonya sangat berbahaya, namun pikirannya kini sudah kemana-mana. Ia takut terjadi sesuatu pada diri Enrico.
Beberapa saat berlalu.
"Ric."
Philip berlarian menghampiri Enrico yang tampak resah menunggu di depan instalasi gawat darurat. Sebab tempat itu sangat dekat dengan lahan parkir yang biasa digunakan oleh Philip setiap hari.
"Ric, ada apa?" desaknya kemudian.
Saat itu wajah Enrico terlihat sangat kacau.
"Ikut gue!" ujarnya lalu melangkah cepat.
Philip berjalan mengikuti sahabatnya itu dengan tempo yang sama. Enrico membawa Philip masuk ke sebuah ruangan dan seketika waktu pun membeku.
Philip berdiri dengan tubuh yang gemetaran. Pasalnya kini dihadapannya, ia seolah melihat dirinya di 20 tahun yang lalu. Tepat pada saat ia dan Enrico masih SMA.
"Ric."
Gemetar suara yang keluar dari bibir Philip. Ia masih tak percaya saat menatap remaja laki-laki yang kini ada dihadapannya tersebut.
"Selamat malam, dok." ujar remaja itu lalu berdiri.
Jantung Philip seakan berhenti berdetak. Tanpa sadar ia melangkah ke arah remaja itu.
"Who are you?" tanya nya dengan nada suara yang bergetar.
"Nama saya Kala, dok." terdengar sebuah jawaban yang begitu asing ditelinga.
"Kala?"
"Iya, saya datang kesini karena memiliki masalah serius dengan kesehatan saya. Keluarga saya bilang, ada teman ibu saya yang bisa menolong. Namanya dokter Philip Imanuel, apa itu anda?"
"Siapa ibu kamu?" Suara Philip masih saja bergetar.
"Gayatri Dewantari."
Petir seakan menggelegar, kunci mobil yang digenggam erat pria itu kini terjatuh. Ia dan Enrico sama-sama membeku.
"Ibumu mana?" tanya nya kemudian.
"Ibu meninggal waktu melahirkan saya, dok. Katanya ada komplikasi selama kehamilan."
Tubuh Philip seperti ditusuk pedang tajam. Jantungnya seakan telah benar-benar berhenti berdetak, sementara nafasnya mendadak terasa sesak.
Perlahan, bayangan akan pertemuan terakhirnya dengan Gayatri kembali melintas dalam ingatan.
"Aku nggak bisa, Phil. Aku sudah menceritakan semua tentang kamu ke orang tuaku. Mereka juga sama tidak setuju. Maafkan aku, Phil."
"Tri, aku akan perjuangkan semuanya. Tunggu aku selesai koas dulu dan aku bisa cari kerja ditempat lain. Kita bisa pindah dan hidup sama-sama."
"Aku nggak bisa, Phil. Aku nggak mau mengecewakan keluargaku."
Air mata pun mewarnai malam itu. Untuk terakhir kali keduanya berpelukan, namun bukan sekedar berpelukan semata. Keduanya membiarkan diri mereka tenggelam ke dalam dosa.
"Ayahmu?"
Philip masih ingin memastikan semuanya.
"Saya nggak punya ayah, dok." jawab Kala.
"Mmm, maksud saya, saya nggak tau dia siapa dan ada dimana." lanjut remaja laki-laki itu kemudian.
Philip lalu dengan susah payah melangkah keluar dari ruangan tersebut. Kini nafasnya kian bertambah sesak.
"Phil."
Enrico menyusul dan memanggil namanya, Philip benar-benar syok dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
***
"Kala."
Enrico kembali ke ruangan tempat dimana Kala berada. Sedang Philip entah kemana, pria itu tampak belum bisa menerima semua ini, terutama soal kematian Gayatri.
"Iya dok." jawab Kala kemudian.
"Panggil om aja, om Rico." ujar Enrico.
"Oh, oke." jawab Kala seraya menatap pria itu.
"Kamu menginap di mana?" tanya Enrico.
"Belum tau om, saya belum cari hotel. Tadi saya memang fokus mau mencari rumah sakit ini dulu." jawab Kala.
"Ya sudah, kamu ikut om saja. Di rumah ada anak om, dia kira-kira seusia kamu."
"Saya nggak enak ngerepotin, om. Biar saya cari penginapan aja. Lagipula saya dibekali uang koq sama nenek saya."
"Terserah kalau besok, tapi malam ini sebaiknya kamu di rumah om aja dulu. Ini masih jam 1 malam loh, lagipula kan kamu belum ada KTP. Kamu akan sulit mencari hotel yang mau menerima anak dibawah umur." ujar Enrico.
Kala berpikir sejenak.
"Mmm, oke deh." jawab remaja itu kemudian, meski terdengar agak ragu.
Dokter Enrico pun membawa anak sahabatnya itu ke rumah. Karena Philip sendiri belum bisa memberikan keputusan atas remaja tersebut.
Sesampainya disana, kebetulan anak Enrico masih bermain game mobile Legends dengan teman-temannya. Teman-temannya menginap setiap dua minggu sekali.
"Egan."
Enrico memanggil anaknya yang tengah berada dilantai dua. Tak lama Egan pun turun.
"Iya, pa." ujar Egan kemudian.
Ia melihat ke arah Kala dan begitupun sebaliknya.
Enrico sedikit menarik Egan ke suatu arah.
"Ini anaknya om Philip." tukas pria itu.
"Hah, serius pa?" Egan tampak begitu terkejut.
"Om Philip punya anak?. Sama siapa?. Kan belum nikah."
"Sssttt."
Enrico berusaha mengecilkan volume suara anaknya. Lalu Egan pun mengangguk dan mendekati Kala.
"Hai, bro. Gue Egan." ujar Egan seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum.
Kala sedikit terdiam, karena ia tidak terbiasa dengan keramahtamahan seorang teman. Selama ini nyaris tak ada yang mau berteman dengannya, karena ia di anggap aneh. Namun pada akhirnya ia membalas uluran tangan tersebut.
"Kala." ujarnya kemudian.
"Kita ke atas aja yuk!" ajak Egan.
Kala melihat sekilas ke arah Enrico dan Enrico pun mengangguk. Mereka lalu melangkah ke arah tangga. Untuk selanjutnya Egan bersikap sesuai sifatnya selama ini, ia adalah anak yang friendly dan sangat baik.
Egan merupakan anak angkat dari sejak Enrico masih menjalani koas. Ia dan Philip memiliki sahabat lain, yakni Joan. Joan dan kekasihnya menikah di usia 19 tahun, lantaran saat itu Joan di vonis menderita kanker dan hidupnya tidak akan bertahan lama.
Saat istrinya hamil, Joan sudah berpesan pada Philip dan Enrico untuk menjaga anaknya kelak. Joan meninggal tak lama setelah Egan dilahirkan. Istri Joan yang terpukul, pergi meninggalkan negri ini dan entah kemana. Kabar terakhir ia bekerja di sebuah negara di Eropa.
Egan sendiri di ambil oleh Enrico dan turut dibantu biaya pengasuhannya oleh Philip. Enrico menjadi orang tua tunggal untuk Egan.
Pada saat ia menjadi dokter umum, ia menikah dengan seorang dokter pula selama beberapa tahun. Mereka sempat memiliki anak yang meninggal saat dilahirkan. Tak lama mereka bercerai, karena banyaknya perbedaan.
"Bro."
Egan berseru pada teman-temannya yang tengah asik bermain game online.
"Iya, bro."
Teman-temanya serentak memperhatikan.
"Ini Kala, anaknya temen bokap gue." ujar Egan.
Kala bingung dengan pernyataan tersebut, tetapi ia pikir mungkin Egan berkata seperti itu agar teman-temannya tak banyak bertanya.
"Oh, hai bro." ujar mereka semua dengan ramah.
Kala hanya tersenyum tipis, kemudian Egan mengantar Kala ke sebuah kamar.
"Nah ini kamar lo, karena ini satu-satunya yang kosong dan nggak pernah dipakai. Tapi ini dibersihkan tiap hari koq. Kalau nanti lo suntuk, gabung aja ke gue sama yang lain." ujar Egan.
Kala mengangguk, kemudian Egan pamit untuk kembali pada teman-temannya.
Pagi menjelang.
Philip benar-benar syok atas semua kejadian ini. Pria itu sangat kacau, hingga dirinya harus melarikan diri ke suatu tempat.
Sementara di kediaman Enrico, sang dokter bedah tersebut kini berbicara dengan Kala di meja makan.
"Tadi Egan udah berangkat sekolah ya?" tanya pria itu.
"Iya om, baru aja." jawab Kala.
"Kamu makan yang banyak ya. Udahlah nggak usah nyari penginapan, di sini aja."
"Tapi om, saya nggak enak ngerepotin." ujar Kala.
"Om nggak merasa direpotkan. Jadi kamu tinggal aja disini selama yang kamu mau."
Kala kemudian mengangguk, lalu ia pun mulai makan.
"Om, dokter Philip nggak terganggu kan saya datang?" tanya Kala tiba-tiba.
Enrico yang baru hendak makan tersebut, kini menatap Kala. Sepertinya sikap Philip semalam telah membuat remaja itu terbawa perasaan.
"Saya nggak enak soalnya. Saya juga sebenarnya nggak mau, tapi keluarga saya memaksa saya kesini. Karena mereka udah nggak tahan dengan segala keanehan yang ada di dalam diri saya." ucap Kala.
Enrico menghela nafas dan tersenyum tipis.
"Philip itu orangnya baik, dia pasti mau membantu kamu. Tapi dia belakangan ini memang sibuk banget, pasiennya banyak. Jadi kamu sabar aja, Philip pasti datang koq."
Kala mengangguk dan melanjutkan makan. Enrico benar-benar seperti di pukul hatinya. Masalahnya ia kini merahasiakan dari Kala, kalau Philip itu adalah ayah kandungnya.
"Kamu kelas berapa?" tanya Enrico kemudian.
"Kelas satu SMA, om." jawab Kala.
"Ini kamu izin dari sekolah?" tanya nya lagi.
"Iya, om dan tante saya yang urus izinnya."
"Kalau om boleh tau, kamu punya masalah kesehatan apa?. Mungkin nanti bisa om bicarakan dengan Philip."
Kala menghentikan makan dan menjatuhkan pandangannya ke piring. Seumur hidup ia telah bercerita pada keluarga dan sekitar, namun tak ada yang percaya terhadap apa yang ia rasakan.
Ditambah lagi kini ia harus bercerita di hadapan seorang dokter, yang kebanyakan realistis dan menghubungkan segala sesuatu dengan kondisi medis.
"Saya...."
Kala menghentikan ucapannya, karena di dera rasa ragu yang begitu besar.
"Nggak apa-apa Kala, ngomong aja. Om akan bantu sebisa mungkin." Enrico meyakinkan remaja itu.
Kala menghela nafas dan memberanikan diri untuk berbicara.
"Saya, saya bisa melihat makhluk gaib om."
Kala berkata seraya menatap Enrico. Sebagai dokter, walupun itu terdengar tidak masuk diakal, namun Enrico mendengarkan dengan baik.
"Kapan kamu menyadari, kalau kamu bisa melihat hal tersebut?" tanya Enrico.
"Di usia 4 tahun, om." jawab Kala.
"Kronologinya?"
"Saat itu saya lari ke sebuah rumah kosong, karena habis di pukul oleh tante saya. Lantaran baju sekolah TK saya kotor, karena saya terlalu banyak bermain dengan teman-teman saya di sekolah."
"Kamu di pukul, di usia segitu?. Dan kamu lari ke rumah kosong?." tanya Enrico kaget.
"Iya." jawab Kala.
"Kamu di pukul dibagian mana waktu itu?" tanya nya lagi.
"Kepala, om." lagi-lagi Kala menjawab
Enrico menghela nafas, hatinya sakit mendengar semua itu. Bagaimanapun juga ia adalah seorang ayah, meski Egan bukan darah dagingnya secara biologis. Namun secara hati dan naluriah, Egan adalah anaknya.
Ia sendiri tak pernah melakukan hal tersebut pada Egan, terlebih saat usianya masih empat tahun. Egan mendapat kasih sayang serta perhatian yang cukup selama ini.
"Terus dirumah kosong itu?" Enrico menanti kelanjutan cerita.
"Saya ketiduran sampai malam." jawab Kala.
"Kamu nggak dicariin?" Kali ini Enrico bertanya dengan penuh emosi.
"Saya nggak tau, om. Yang jelas pada akhirnya saya pulang sendiri. Dirumah itu pas saya bangun, kondisi udah gelap. Saya nangis, tiba-tiba ada tangan yang menyentuh kepala saya. Mata kita kan bisa melihat didalam gelap setelah beberapa saat."
"Iya, butuh beberapa saat untuk itu." ujar Enrico.
"Nah, saat itu saya liat kalau yang pegang kepala saya itu sosok tinggi berambut panjang, mukanya hancur dan kayak gosong gitu om. Saya teriak, saya nangis, saya berusaha keluar. Dan sejak saat itu saya jadi sering ngeliat hal-hal aneh." ucap Kala.
"Apa disekitar kita sekarang ada?" tanya Enrico kemudian.
Kala melihat sejenak ke sekitar ruangan, lalu menggelengkan kepalanya.
"Tapi semalam ada, di belakang salah satu temannya Egan." ujarnya.
Enrico terkejut.
"Bentuknya seperti apa?" tanya nya kemudian.
"Tinggi besar, berbulu, dan matanya merah." jawab Kala.
Enrico menghela nafas, sejatinya ia bisa saja membantah apa yang dikatakan Kala tentang kondisinya tersebut. Namun Enrico tak mau terlalu terburu-buru. Ia ingin mempelajari dulu, apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan remaja itu.
Sebagai dokter spesialis kejiwaan, Philip pasti bisa menangani kondisi anaknya. Yang jelas Enrico harus menemukan Philip dan berbicara dulu padanya.
Karena sejak semalam Philip benar-benar tak bisa di hubungi, mungkin ia begitu terpukul mendengar kabar kepergian Gayatri. Sebab ia sangat mencintai wanita itu, setidaknya itulah yang Enrico tau selama ini.
"Kamu makan dulu, istirahat yang cukup. Kalau ada apa-apa, bilang sama om atau minta tolong sama Egan atau bibi, oke?"
Kala mengangguk, lalu ia pun lalu melanjutkan makan.
***
"Phil."
Enrico menyusul Philip, yang kini berjalan cepat melintasi koridor di sebuah bangsal. Tampak sekali Philip ingin menghindari Enrico.
"Phil, lo mau lari kemana?. Dia anak lo."
Philip menghentikan langkah dan terdiam. Namun ia tak menoleh sedikitpun ke arah Enrico.
"Suruh dia pulang ke rumah keluarganya Ric, dia harus sekolah." ujar Philip.
"Lo nggak bisa menyalahkan dia atas kematian Gayatri."
"Tapi Gayatri meninggal setelah melahirkan dia kan?."
"Itu bukan salah dia, dia nggak tau apa-apa."
"Gue nggak bisa, Ric. Dia harus pulang."
"Dia anak lo."
"Nggak ada bukti tes DNA juga kan?" Kali ini Philip menoleh.
"Gue udah ambil sampel darahnya, gue udah siap dengan tes DNA yang lo maksud. Tinggal lo nya aja, maunya kapan. Yang jelas kita punya waktu 72 jam setelah sampel ini diambil."
Enrico berujar seraya menatap dalam ke mata Philip, sementara Philip kini membeku.
"Lo nggak berhak mengatur gue." ujarnya seraya kembali berlalu.
"Phil."
Philip tak menjawab dan terus melangkah.
"Dia disiksa di keluarga ibunya."
Philip tersentak dan kembali menghentikan langkah. Nafas pria itu kini terdengar memburu.
"Apa lo nggak liat, banyak bekas luka di tangan, leher, dan sebagian pelipisnya. Itu bekas pemukulan, Phil. kita mudah mengetahui hal semacam itu, tanpa perlu orang yang bersangkutan bicara."
Enrico mendekat ke arah Philip.
"Apa lo nggak kasihan, darah daging lo tumbuh tanpa kasih sayang ibu dan ayahnya?. Dimana hati nurani lo sebagai manusia, sebagai seorang dokter?. Dia sakit, Phil. Orang lain lo tolong, kenapa sama anak kandung sendiri lo malah nggak peduli?"
Kata-kata yang keluar dari bibir Enrico tersebut, seakan menghujam jantung Philip.
"Mental anak itu rusak parah. Lo harus selamatkan dia, sebelum lo kehilangan untuk yang kedua kali. Atau lo akan menyesal, seumur hidup."
Enrico berlalu meninggalkan Philip, tinggal lah pria itu kini sendirian.
***
Flashback
Beberapa jam sebelum Enrico menemui Philip.
"Kala."
Enrico memanggil Kala yang saat itu entah dari mana, sepertinya ia dari melihat-lihat sekitaran rumah. Mungkin remaja itu bosan, pikir Enrico.
"Iya om." jawab Kala seraya mendekat.
"Om mau minta sampel darah kamu, untuk pemeriksaan."
"Emang ada hubungannya ya om, bisa melihat hal gaib dengan darah?" tanya Kala heran.
"Mm, iya." jawab Enrico singkat.
"Oh, oke."
Kala menyetujui hal tersebut, Enrico membawa remaja itu ke salah satu ruangan dan mengambil sampel darahnya sebanyak beberapa CC.
Kelak darah tersebut akan membuktikan, apakah benar Kala adalah darah daging Philip atau hanya sekedar mirip.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!