4. Tamparan Keras
Pakwo Jung mendatangi rumah bu Rani. Beliau awalnya datang secara baik-baik. Bertanya pun dengan sopan, karena bu Rani jauh lebih tua dari beliau.
Pakwo Jung
Lalu bagaimana menurut Bu Rani? Haruskah Samir beserta keluarganya angkat kaki dari tanah peninggalan nek Muni?
Pemilik Tanah
Seharusnya memang begitu, Jung... Kalian tidak ada sangkut pautnya dengan tanah itu. Kami juga punya keturunan yang jauh lebih berhak... (Menjawab dengan pongah)
Pakwo Jung
Dulu kan ada surat perjanjiannya yang menyatakan bahwa tanah itu hak kami tiga beradik selama kami masih hidup, Bu... Di antara kami bertiga, cuma saya dan Samir yang masih hidup. Berarti kami masih memiliki hak untuk tinggal disana... Dan surat perjanjian itu Ibu yang ambil, kan?
Pemilik Tanah
Apa buktinya kalau saya yang mengambil, hah?
Pakwo Jung
Ya, sudah... Kalau memang Ibu tidak mau mengaku, berikan saja harga untuk pemindahan adik saya beserta anak-anaknya... Tidak mungkin jika mereka harus tidur di bawah pohon bambu... Anak-anak Samir kan cucu juga buat Bu Rani...
Pakwo Jung masih berkata dengan suara lunak dan wajah yang terlihat sabar.
Pemilik Tanah
Kenapa saya harus memberi harga? (Bu Rani terlihat tidak mengerti, namun wajahnya tampak mencibiri permintaan pakwo Jung.)
Pakwo Jung mengeluarkan sebuah kertas photo copy dari dompetnya, lalu menyodorkannya kepada bu Rani di atas meja.
Pakwo Jung
Ini bukti peminjaman emas yang dilakukan nek Muni kepada mendiang ibu kami dulunya.
Dahi bu Rani mengerut ketika membaca surat itu. Wajahnya berubah kikuk seketika. Begitu pula dengan tante Desi yang sedari tadi berdiri di tiang rumah memerhatikan percakapan antara ibunya dengan pakwo Jung.
Tante Desi
Bagaimana Abang Jung ini? Yang tanah, ya tanah... Yang hutang, ya hutang...
Tante Desi menyela dengan cibiran.
Pakwo Jung
Tutup mulutmu...!
Pakwo Jung berteriak keras kepada tante Desi sembari mengarahkan telunjuk kirinya.
Pakwo Jung
Kamu itu masih bocah ingusan ketika perjanjian ini di mulai. Jadi, kamu tidak tahu apa-apa... Hartamu ada pada orang lain, tampak olehmu... Akan tetapi ketika harta orang lain ada padamu, tidak tampak olehmu... Dasar serakah...
Suara pakwo Jung terdengar keras dan menggelegar, membuat bu Rani menjadi terkejut dan pucat seketika. Beliau tidak menyangka, pakwo Jung yang biasanya ramah berubah garang seperti itu.
Bu Rani menjambak rambutnya sendiri, lalu membenturkan kepalanya ke lututnya.
Sementara tante Desi tampak malu, wajahnya ikut pucat, dan matanya memerah.
Pakwo Jung
Sekarang begini saja, Bu Rani... Bu Rani tidak usah khawatir. Samir anak-anaknya akan angkat kaki dari rumah itu jika Bu Rani mengeluarkan harga pemindahannya. Hitung saja berapa harga emas pada zaman sekarang, Bu... Kalau tidak, emasnya saja keluarkan... Yang ada di surat ini saja tidak masalah... Yang tidak masuk surat, makanlah... Kami sudah ikhlas...
Bu Rani hanya diam mematung. Beliau tampak kehabisan kata-kata pada saat itu.
Pakwo Jung
Saya pamit... Assalamu'alaikum...
Pakwo Jung meninggalkan rumah Bu Rani dengan menyisakan bekas tamparan keras oleh kata-katanya, sehingga salam darinya entah dijawab atau tidak.
Comments
Fatonah
jd orang jgn srkah burani, mtinya ga ditrima bumi ntar ,awas loh azab mngintai
2021-12-20
1
Yuli maelany
orang serakah selalu begitu,hutang tak mau d bayar tanah pun tak mau d lepas.....
2021-12-14
1
Asri
kira2 itu harga tanah yg ditempati dan harga emas, mahal yg mana ya 🤔
2021-12-05
2