Selasa, Tahun 2010.
Aku memeriksa waktu di jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 10 lewat 20 malam.
“Berpergian memang sulit.” Aku menghela nafas.
Aku bersama Ryandi dan Pasangan Kakek Cucu dari Belgia itu melakukan penerbangan pagi dari Jakarta ke Doha,Qatar. Setelah itu empat jam istirahat di bandara selama 4 jam, kami bergabung dengan antrian boarding sebuah penerbangan maskapai Qatar menuju Frankfrut. Karena dokumen kami terorganisir dengan baik, kami tidak menghadapi masalah bea cukai. Kami kemudian naik bus bandara yang mengangkut kami ke pesawat yang akan menerbangkan kami ke Frankfrut sepanjang malam.
Aku mengalihkan perhatianku ke pesawat yang bisa kulihat melintas melalui jendela. Pria dan Wanita dengan jaket reflector bergerak di sekitar mereka, menarik banyak kargo atau meneriakkan instruksi. Beberapa kendaraan bandara yang aku tidak bisa identifikasi kendaraan tersebut juga diparkir di samping pesawat.
“Apakah kalian berdua gugup?” Mr.Royce yang berada di sebelah kiriku memeriksa. Di punggungnya juga terdapat ransel raksasa yang seharusnya tidak dibawa oleh pria seusianya. Aku telah menawarkan diri untuk membantunya membawakan barang bawaannya, namun lelaki tua itu menolak.
“Tidak.” Kata Ryandi yang berdiri di hadapan kami menjawab. Dia mengenakan pakaian dan sepatu yang membuatnya terlihat seperti penyanyi daripada pemain sepak bola. Sepatu putihnya sangat menarik perhatian di bus yang remang-remang.
“Bepergian dengan pesawat jauh lebih nyaman daripada naik bus. Aku menikmati penerbangan dari Jakarta ke Doha. Makanannya enak.” Katanya menambahkan.
“Apakah kamu sering berpergian naik pesawat sebelumnya.” Sage bertanya.
“Yah, hanya setahun sekali. Ayahku mengajak kami berlibur setiap tahun baru. Tahun lalu kami berada di Inggris. Tapi ini pertama kalinya aku ke Belgia.” Ryandi menjawab sambil tersenyum.
Aku memilih untuk tidak terlibat dalam pembicaraan itu. Aku sedikit malu untuk mengungkapkan ketakutanku kepada kelompok itu. Terutama dengan adanya kehadiran Nona Sage. Yang sebenarnya adalah aku takut menaiki pesawat. Tidak peduli seberapa mewah perabotan di dalam pesawat. Itu tidak pernah lebih dari tabung logam raksasa yang terbang menurutku. Fakta bahwa ini adalah perjalanan pertamaku keluar negeri juga mempertakut ketakutanku. Aku takut memikirkan berada lebih dari 30.000 kaki dari tanah. Ada begitu banyak hal yang bisa salah pada ketinggian tersebut.
Meski begitu, aku sangat ingin mencapai Kota Brussels. Di sana aku akhirnya akan memulai perjalananku untuk menjadi pemain sepak bola professional di kancah Eropa. Itulah satu-satunya hal yang aku impikan di kehidupanku sebelumnya. Dan sekarang semuanya akhirnya menjadi kenyataan. Itulah satu-satunya pemikiran yang membuatku cukup berani untuk menanggung perjalanan udara yang Panjang.
“Bagaimana denganmu, Ner?” Mr.Royce bertanya berbalik ke arahku.
“Kamu gugup?”
“Yah aku tidak suka pesawat.” Jawabku dengan jujur.
“Aku hanya ingin perjalanan ini berakhir secepat mungkin.”
“Kita akan sampai di sana. Jangan khawatir.” Hibur Nona Sage sambil tersenyum manis kepadaku. Aku hanya mengangguk dan mengalihkan pandanganku Kembali ke jendela.
Kami menghabiskan sisa perjalanan singkat kami di bus dalam keheningan sebelum naik ke pesawat. Pukul 23.00 pesawat lepas landas dan kami akhirnya memulai perjalanan ke Frankfrut Jerman.
Aku duduk di samping Ryandi di kursi paling dekat dengan jendela. Nona Sage dan Mr.Thorgan berada di belakang kami. Kami menaiki pesawat kelas ekonomi.
Aku merasa lebih baik mengetahui bahwa kami akan menaiki pesawat. B-747, sebuah jet jumbo. Aku belum pernah mendengar satu pun berita bahwa pesawat ini jatuh dalam perjalanan ke Eropa pada tahun 2010 dalam masa lalunya. Aku mengabaikan Ryandi yang sedang menonton film dan memaksakan diri untuk tidur. Aku bangun keesokan paginya saat pesawat turun di Frankfrut.
Kami tidak menghabiskan banyak waktu di bandara Frankfrut. Dengan bantuan Tuan Thorgan, kami berdua dengan cepat melewati prosedur bea cukai dan imigrasi di bandara. Dalam waktu singkat, kami diizinkan naik pesawat lain ke Brussels, Belgia.
Setelah beberapa jam kemudian kami sampai ke bandara Brussels di Belgia. Aku menghela nafas lega saat pesawat mendarat di landasan pacu di Bandara Brussels Belgia setelah beberapa jam penerbangan.
“Selamat dating di Brussels.” Mr.Thorgan tersenyum kepada dua anak laki-laki dari Asia saat dia bangkit dari tempat duduknya.
“Bagaimana penerbangannya,” Dia bertanya
“Oke.” Jawabku.
“Menyenangkan.” Ryandi tertawa.
“Itu hebat.” Tuan Thorgan tersenyum
“Kami harus membuat kalian menetap di siang hari ini. Ayo segera pergi ke bea cukai.
Kami berdua mengikuti Tuan Thorgan dan Nona Sage dan segera turun dari pesawat.
“Wah dingin banget.” Kataku begitu kami keluar ke udara terbuka.
“Jangan pedulikan cuacanya.” Kata Tuan Thorgan.
“Kamu akan segera terbiasa.” Dia memimpin jalan menuruni tangga pesawat.
“Kudengar di musim dingin, suhu bisa turun hinggal minimal -4 Derajat Celcius.” Kata Ryandi sambil mengalungkan syalnya erat-erat ke lehernya.
“Kami tidak akan mengadakan pertandingan sepak bola dalam cuaca seperti itu. Musim kami biasanya berakhir pada awal Desember.” Sage memotong saat kami terus bergegeas melintasi landasan bandara.
Saat itu pukul 9 pagi, salah satu waktu terburuk bagi orang Indonesia untuk tiba di Eropa Utara selama musim gugur. Aku diserang oleh angin dingin yang memotong jaketku yang berat. Aku mulai menggigil sedikit sebelum mencapai dasar tangga pesawat.
‘Datang dari Indonesia dan melangkah ke Eropa seperti turun dari Oven hangat ke dalam Freezer.” Aku merenung.
Pada pagi hari ini, ruang tunggu bandara Brussels sangat tenang. Orang-orang bergerak dengan mudah, Sungai-sungai kemanusiaan yang tenang baru terbangun dari tidur mereka. Lantainya bersih dan putih memantulkan sinar awal dan cahaya buatan.
Karena rombongan kami sudah melalui prosedur imigrasi Eropa di Frankfrut, kami tidak menghabiskan banyak waktu di bandara. Kami menunjukkan dokumen perjalanan kami dan keluar dari bandara hanya dalam waktu empat puluh menit saja.
Sebuah mobil menjemput kami dari bandara dan membawa kami ke kota. Kota itu tidak seperti yang ku harapkan. Aku berharap bisa melihat Gedung pencakar langit seperti yang ada di film-film Hollywood di sekitar Brussels. Namun bangunan abad pertengahan menutupi Sebagian besar pemandangan kota. Brussels sendiri indah dan menawan dengan jalan yang rapi dan arsitektur perkotaan yang unik. Trotoar terbuat dari batu abu-abu halus, disatukan dengan presisi sedemikan rupa sehingga sambungannya hamper tidak terlihat. Bangunan-bangunan itu tidak kekurangan sejarah, benteng kebanggaan kota, mencap statusnya sebagai salah satu kota ramah lingkungan di planet ini. Aku memperhatikan bahwa tidak ada sampah atau kotoran di jalanan saat kami melakukan perjalanan melalui kota. Kota ini sangat bersih dibandingkan dengan Jakarta atau lebih khususnya Kembangan.
“Kami berada di Parvis Street Gudule, Central Brussels. Lihatlah di sana. Itu adalah Katedral Saint-Michel. Ada lapangan sepak bola di sekitar sana tempat kamu bisa berlatih di masa depan.” Nona Sage menunjuk ke Gedung gereja abad pertengahan yang berdiri kokoh dengan Menara kembarnya. Dia menunjuk dirinya sebagai pemandu dua anak laki-laki tersebut.
“Nona Sage.” Panggilku
“Di mana kita akan tinggal?” itu adalah perhatian utamaku saat ini.
“Desa pelajar Lue Re Lorrain Brussels.” Jawab Sage sambil tersenyum.
“Kita hamper sampai. Kamu akan menyukai tempat ini.” Katanya tersenyum kepadaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Dicky
Udah bagus menurut ku
2022-03-31
0
tv
datang thor
2022-01-07
0
Adenk
up trus Thor,jngan kendor..
tetap semangat thor
2021-12-02
1