Suasana di kota ini tidak pernah sepi. Selalu ramai dipenuhi deru klakson-klakson mobil yang hilir mudik. Macet dimana-mana, serta banyaknya orang yang berlalu lalang membuat kota ini tak pernah lengang dimakan waktu. Gemerlap lampu-lampu jalanan juga ikut menyemaraki padatnya kota ini. Saking padatnya, kota ini selalu bising baik pagi maupun malam hari.
Di tengah padatnya kota ini, seseorang beralas sepatu kets putih melangkah dengan gontai. Badannya terasa remuk setelah seharian bekerja. Almira. Kehidupannya kali ini tak seindah yang dibayangkan. Kian hari kian berat dilalui, ditambah Almira tidak punya siapa-siapa untuk berkeluh kesah.
Almira menghabiskan waktu demi waktu hanya untuk bekerja. Mau bagaimana lagi, dia hanya hidup sebatang kara sekarang. Tidak ada teman, tidak ada keluarga, tidak ada siapapun di hidupnya yang bisa menolongnya. Maka dari itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menyambung hidupnya adalah hanya bekerja, bekerja dan bekerja.
Almira membuka pintu rumah kontrakannya yang kosong tanpa penghuni lain. Hanya rasa sepi yang setia menyambutnya setiap kali ia masuk ke kontrakannya. Ia berdiri di ambang pintu sejenak. Lalu termenung menyaksikan rumah kontrakannya yang kosong dan sepi setiap hari.
Almira menitikkan air matanya setiap kali ia pulang ke kontrakannya. Almira kesepian disini, hidup seorang diri tidaklah menyenangkan.
"Bu aku kesepian di sini. Al kangen sama ibu," Almira mulai terisak. Ia baru sadar hidup jauh dari ibunya tidak semenyenangkan kedengarannya.
"Apa ibu juga merindukan Al?" Almira benar-benar tidak kuasa menahan air matanya.
Kakinya lemas, tubuhnya ambruk seiring dengan air matanya yang meluncur deras di pipi mulusnya.
Seandainya ada seseorang yang bisa dijadikan teman mengobrol saat ia baru tiba di rumah selepas seharian bekerja, mungkin hatinya tak akan sekacau ini.
"Tuhan kenapa ini tidak adil untukku? Kenapa Kau harus menciptakan aku jika ayahku tidak menginginkan aku? Kenapa Tuhan Kenapa?" Almira meracau disela tangisannya.
Almira menangis sambil memeluk lututnya. Sungguh Almira tak kuat menanggung semua beban ini. Ia tidak kuat menanggung cobaan ini lebih lama lagi. Almira ingin kembali tapi bagaimana caranya? Almira sudah kepalang kabur dari rumah.
Sementara di tempat lain. Nami saudari kembar Almira tengah berkutat di ruang kerjanya. Di ruangan ber-AC, super mewah nan nyaman ini ia habiskan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tak sempat ia selesaikan tadi siang. Nami tampak serius membaca file-file penting Perusahaan, lalu sesekali jemarinya berkutat dengan laptopnya.
Semenjak kepergian Almira, Namira mendapat perhatian super ekstra dari kedua orang tuanya karena mereka tahu kondisi Namira yang sebenarnya. Riwayat sakit yang bukan main-main menyebabkan kedua orang tuanya mencurahkan seluruh perhatiannya hanya untuk Namira. Bahkan ibunya yang dulu mati-matian menginginkan Almira kembali kini beliau juga fokus menjaga kesehatan Namira.
Putri sulungnya itu memang lebih membutuhkan perhatian ekstra dibanding putri bungsunya. Bu Rani, saapan akrab ibunya Al dan Nami. Kini dia tidak pernah mengungkit-ungkit nama Almira lagi, bukan karena bu Rani sudah tak sayang pada Almira tapi bu Rani tahu mana yang harus lebih dulu di prioritaskan. Bu Rani juga yakin Almira, anak bungsunya itu adalah gadis kuat yang mampu bertahan di segala kondisi.
"Sayang, jangan terlalu diforsir kerjanya. Badan kamu harus di istirahatkan dulu," ucap bu Rani sambil mengusap pucuk kepala Nami penuh sayang.
Namira tersenyum, jemarinya menarik pelan lengan ibunya. Kemudian mencium sayang punggung tangan ibunya itu.
"Sebentar lagi selesai kok bu," balas Nami.
"Hmmm apa tidak bisa di selesaikan besok saja?" tanya bu Rani khawatir.
Lagi-lagi Namira hanya tersenyum. Ia tahu ibunya sangat khawatir dengan kondisinya. Tapi Namira baik-baik saja.
"Tidak bisa bu, besok ada jadwal meeting dan proposal ini harus segera Nami selesaikan malam ini juga," Ucap Nami meyakinkan.
Bu Rani masih terlihat khawatir. Ia takut jika Nami terlalu memforsir tenaganya, justru akan menyebabkan penyakitnya kambuh. Selama ini baik pak Jamil maupun bu Rani memilih bungkam dengan penyakit Namira. Bahkan Namira sendiri masih belum tahu penyakitnya. Karena selama ini juga bu Rani dan pak Jamil merasahasiakannya dari sang empu nya penyakit. Namira selalu merasa baik-baik saja, jika kepalanya sakit ia selalu berpikir kalau itu hanya migrain biasa. Ia tidak pernah curiga yang aneh-aneh dengan sakit kepala yang sering menderanya itu.
"Kalau gitu... apa mau ibu buatkan coklat panas buat nemenin Nami kerja?" tawar bu Rani pada anak sulungnya itu.
Namira mengangguk pelan, senyumnya selalu terpatri di wajah ovalnya. Dia memang anak yang murah senyum. Senyumnya manis sekali, ketika dia tersenyum mata indahnya juga seperti ikut tersenyum. Tak heran banyak orang yang akan terkesima jika melihat Nami tersenyum.
"Baiklah... ibu bikinin dulu ya coklat panasnya" tambah bu Rani, semangat.
"Terimakasih ya bu," kata Namira mengakhiri percakapan dengan ibunya sebelum bu Rani kembali dengan membawakan secangkir coklat panas kesukaannya.
Namira senang sekali melihat ibunya bahagia. Ia juga senang ibunya tidak sakit-sakitan lagi karena merindukan Almira. Tapi meskipun ibunya sudah kembali normal, Namira masih tetap ingin menemukan Almira. Namira merasa kebahagian keluarga ini belum lengkap tanpa Almira.
Nami teringat Almira sejenak. Fokusnya beralih pada bingkai foto yang berdiri di sebelah laptopnya. Foto Almira dan dirinya di sebuah kedai kopi.
"Kamu di mana sih Al?" Namira bertanya pada bingkai foto tersebut. Diusapnya sisi foto yang menampilkan gambar Almira dengan lembut.
"Aku tahu kamu marah sama ayah, tapi kenapa harus pergi dari rumah?" Namira masih berdialog dengan bingkai foto tersebut.
"Al, semenjak gak ada kamu.... Aku kesepian." Tambahnya.
"Meskipun kamu sering mengomeli aku, kamu sering marah-marah tidak jelas sama aku tapi itu lebih baik daripada tidak mendengar suaramu sama sekali," Namira semakin terhanyut dalam dialognya dengan bingkai foto itu. Ia bahkan sampai melupakan pekerjaannya sejenak.
"Aku rindu suara nyaring kamu saat mengumpati aku, aku rindu semua sikap konyol kamu, dan aku rindu masa-masa kita bersama"
Namira menyeka tepian matanya yang terasa basah oleh air matanya yang entah sejak kapan menetes.
"Kamu ingat gak sewaktu kecil, kamu sering merengek minta di ajak ke taman bermain sementara aku hanya ingin pergi kesekolah?. Waktu itu aku sangat marah padamu tapi malah kamu yang memarahi aku karena Ayah gak izinin kamu pergi ke taman bermain. haha itu lucu banget Al," Namira tersenyum getir di sela celotehannya.
Namira semakin terhanyut berdialog dengan foto Almira. Air matanya semakin deras mengalir mengingat masa-masa kecil dirinya bersama Almira. Masa-masa dimana sebelum ada konflik diantara mereka. Masa-masa dimana Almira masih menyapa, menegur bahkan kadang berani memaki dirinya.
Tapi semenjak ada konflik antara Almira dan pak Jamil ayahnya, Namira jadi kena imbasnya. Almira seperti membenci Namira bahkan dia enggan terlalu banyak berbasa-basi dengan kakak kembarannya itu. Jika ada masalah Almira akan memilih bungkam daripada berdebat. Mungkin Almira sudah menganggap Nami itu adalah orang asing sehingga Almira tidak memerlukan Nami untuk berbagi apapun, baik berbagi suka maupun duka.
"Taraaaa..... coklat panasnya sudah siap!" Seru bu Rani tiba-tiba. Alhasil Namira yang terhanyut berdialog dengan foto Almira refleks, terkesiap kaget.
Buru-buru Namira menghapus air matanya. Ia tidak mau ibunya sampai tahu kalau Namira menangis. Apalagi menangis karena teringat Almira adiknya. Ia tidak mau membuat ibunya kembali kepikiran Almira. Ibunya sudah tua jadi sangat riskan jika banyak pikiran. Biarlah saat ini suasana hati ibunya bahagia terus meskipun Almira tidak ada. Bukan karena Namira kejam, tapi kesehatan ibunya lebih penting. Urusan Almira biarlah nanti Namira yang tangani.
Namira menoleh ke arah sumber suara setelah berhasil menyeka air matanya dengan bersih dan tak berbekas lagi. Ia menyimpulkan tepian bibirnya membentuk senyum yang amat sangat manis.
"Wahhh... aku suka sekali coklat panas, terimakasih ibu," Namira girang saat melihat ibunya membawakan minuman kesukaannya.
Namira sangat cerdik, dia menutupi mata sembabnya dengan bertingkah girang seperti anak kecil yang baru diberi kado. Bahkan ibunya sama sekali tidak curiga kalau Namira habis menangis.
Kemudian Namira mencecapi coklat panas tersebut sembari memfokuskan lagi pada laptop dan file-file penting perusahaan. Sementara bu Rani setia duduk menunggu Namira bekerja lembur. Sungguh pemandangan yang sangat harmonis antara ibu dan anak.
Andai Almira juga ada di sana. Mungkin keharmonisan ini akan lebih sempurna bahkan semesta juga akan iri melihatnya.
Bersambung~
Special pict.
*Ini foto Namira dan Almira
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Li Na
jejakku.💖💖
2020-05-29
0
Purnama
Lanjut thor 🔥🔥
2020-05-25
0
Dwight
Wah kerenn
2020-05-01
0