Matahari mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur, semburat warna jingga tak luput menghiasi kehadiran sang surya. Angin sepoi-sepoi, tetesan embun yang masih menggantung di ujung dedaunan, serta suara kicauan burung saling bersahutan melengkapi indahnya suasana pagi.
Ini hari yang baru untuk Namira, suatu hal yang besar dalam hidupnya akan segera ia rangkai.
Namira bersiap untuk meraih mimpinya itu, mulai hari ini ia akan bergabung di perusahaan ayahnya, The Rubbiantoro Corporation. Ia akan mengawali karirnya di sana, meski hanya berstatus karyawan biasa Namira selalu penuh gairah untuk memajukan perusahaan yang dirintis ayahnya itu. Baginya meski ia mampu menjadi Gold Manager secara langsung tapi ia tidak ingin masuk ke perusahaan ayahnya itu karena adanya dinasty kekeluargaan .
Yang Namira inginkan bukanlah jabatan tingginya, tapi ilmunya. Ya, jika Namira menginginkan posisi Gold Manager maka ia harus bekerja sebagai mana pekerja lainnya bekerja keras untuk mendapat posisi tersebut. Ia bukanlah orang pecundang yang akan mensabotase hak orang lain hanya karena ia anak CEO nya. Sekali lagi dia bukan pecundang yang hanya ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan.
Namira telah bersiap dengan setelan baju kerja nya, membubuhkan sedikit make up pada wajahnya yang cantik, lalu bersiap menyongsong masa depannya.
Sementara Almira, dia harus bersusah payah bangun dari alam mimpinya. Matanya sembab karena sehari semalam ia menangis di kamarnya. Bahkan ia melewatkan makan malamnya. Ia benar-benar tak berselera menyantap apapun, pikirannya bak penuh kabut yang seolah-olah tidak mampu berpikir jernih. Di otaknya adalah ia hanya ingin menangis, menangis dan menangis. Bagaimana ia bisa merangkai harapannya agar ia sedikit mendapat pengakuan dari ayahnya jika ia hanya bisa menangis.
"Pagi!"sapa Namira yang sudah sampai di meja makan.
"Pagi!" sambut ayah dan ibunya berbarengan.
Namira duduk di kursinya, lalu kemudian membuka piringnya yang tertelungkup. Bu Rani menyendok kan nasi goreng dan mengisinya pada piring Namira.
"Dimana Al? apa sudah bangun?" tanya Bu Rani pada Namira yang kebetulan memang kamarnya bersebelahan dengan kamar Almira.
"Sepertinya dia sedang mandi bu," ujar Namira yang tadi sedikit mendengar sayup-sayup kucuran shower di kamar adiknya.
"Bahkan dia tidak merubah kebiasaan-kebiasaan buruknya itu. Jam segini baru mandi mau jadi apa anak itu? " cibir pak Jamil disela kunyahannya. Ia benar-benar sudah kehilangan kesabarannya melihat putrinya yang satu itu.
"Sabar ayah!" bu Rani mencoba menenangkan pak Jamil yang lagi-lagi hampir emosi.
"Ayah sudah cukup sabar selama ini bu, tapi anak itu tetap tidak berubah. Masih bermalas-malasan dan urakan," tukas pak Jamil terbawa emosi.
Di sisi lain, Almira mendengar sayup-sayup suara ayahnya yang sedang mencibirnya lagi dan lagi. Entah ada masalah apa dengan ayahnya itu, sepertinya Almira sudah tak tahan harus berapa lama lagi ia bertahan di rumahnya ini.
Cibiran demi cibiran sangat amat sering ia dapatkan. Jika orang lain yang melakukannya ia akan diam dan membiarkan saja seperti debu yang terbawa hembusan angin, hilang tak berbekas.
Tapi ini ayahnya, ayah kandungnya. Orang yang harusnya berperan mensupport dirinya saat terpuruk, orang yang harusnya merangkulnya dirinya saat sedang jatuh. Namun apa yang ia dapat setiap pagi? Sebuah cibiran.
Almira mengusap air matanya dengan punggung tangannya, ia tak boleh menangis lagi sudah cukup ia menangis sehari semalam kemarin. Matanya juga sangat bengkak karena terus-terusan menangisi ucapan pedas ayahnya.
"Cukup untuk kali ini!" batin Al.
Almira mengemas pakaiannya, ia akan pindah mulai hari ini. Ia bertekad akan melewati kehidupannya sendirian tanpa bantuan orang tuanya. Meski berat, Almira yakin dapat melewatinya dengan lancar. Lagi pula ia semenjak semester 4 sudah terbiasa bekerja part time di sebuah butik milik ibu temannya. Atau menerima tawaran mengajar bimbel dari rumah ke rumah semata-mata agar ia tak meminta biaya pada ayahnya.
Almira mengingat kembali betapa bekerja kerasnya dirinya untuk tidak meminta biaya pada orang tuanya, tapi tak sedikitpun ayahnya menghargai jerih payahnya itu hanya karena tidak berprestasi seperti Namira.
Setelah selesai mengemas beberapa pakaian yang ia perlukan, Almira sengaja tidak langsung turun ke lantai bawah. Ia akan menunggu momen tepat untuk bisa kabur dari rumahnya ini. Lagipula untuk apa dia bertahan di rumah yang sama sekali ia tak mendapatkan rasa aman ataupun nyaman.
"Al, apa sudah selesai mandinya? " pekik ibunya dari luar kamarnya membuat Almira yang sedari tadi berjalan mondar-mandir memikirkan cara untuk kabur dan akan pergi kemana sedikit terperanjat kaget.
"Sudah bu.... ada apa? " sahut Al dari balik kamarnya, ia menyembunyikan kopernya diantara tepian lemari dan sofa kamar tidurnya.
"Ibu akan pergi ke kantor sekarang, ayah juga akan pergi. Jika Al mau ke kampus jangan lupa sarapan dulu, nak! " Pekik ibunya lagi dari luar kamar Almira. Almira sengaja tak membuka pintunya karena khawatir ibunya akan mencegahnya jika tahu Almira akan meninggalkan rumah ini.
"Sebentar lagi Al akan turun bu, kalau ibu mau berangkat sekarang silahkan. nanti Al makan sarapannya, jangan khawatirkan aku bu!" sahut Almiranlagi, yang tak lama di balas bu Rani lagi.
"Yaudah, ibu pergi dulu ya!"
Terdengar suara derap langkah bu Rani meninggalkan kamar Almira. Almira menghembuskan nafas lega saat bu Rani sudah benar-benar menghilang dari balik pintu kamar Almira.
Almira juga memeriksa dan memastikan jika semuanya sudah pergi ke kantor, baik ayahnya, ibunya maupun Namira.
"Hari ini, detik ini juga aku akan memulai hidupku sendiri dan akan ku temukan mimpiku dengan jalanku sendiri," tekad Almira sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.
Almira berjalan menuruni anak tangga rumahnya sembari membawa koper berisi baju-bajunya serta buku-buku kuliahnya.
Ia kali ini harus terbiasa untuk hidup lebih mandiri dari biasanya, mulai hari ini juga Almira tidak akan membiarkan matanya menitikkan air mata sedih lagi. Sudah cukup ayahnya menyakitinya, ia tak akan membiarkan ayahnya membunuhnya perlahan-lahan dengan cibirannya itu. Ia bukan gadis pecundang seperti kakaknya yang masih bergantung pada orang tuanya. Meski ia bukan gadis pintar tapi ia adalah gadis yang kuat.
Ia ingin menciptakan ketenangan untuk dirinya sendiri, membangun pondasi kuat agar ia tidak jadi pribadi yang lembek. Jika Namira saja bisa melakukan apa saja kenapa Almira tidak bisa? Almira pasti bisa juga. Tapi Al bukanlah plagiator yang meniru apa saja yang Namira lakukan, Almira bisa sukses melalui kerja kerasnya dan caranya sendiri. Ia akan membuktikan pada ayahnya bahwa ia mampu seperti Namira kelak, bahkan mungkin lebih.
Bersambung~
***
**Hi semunya jangan lupa untuk vote, like, rate, komen terus karya aku ya. one vote, like, rate and comment means a lot for me.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
hadir disini ...salam hangat dari Rahasia hati🙂
2020-10-03
0
♡ⱭℕǤℰⱠ♡ᵛᵅ Hiatus🖤
haloo kak, aku bawa rate5 + like yah🙏
mampir juga yuk di ceritaku
jangan lupa komen+like+rate
kalau suka vote dan fav yaa😍
saling support🤗
2020-07-17
0
Rabaniyasa
semangat thor..
2020-05-31
1