LOR (Utara)
Langit sore gelap tanpa adanya matahari mengiringi langkah kaki para Kepala Dusun menuju sebuah rumah ditepian Kali Dono. Hawa yang semakin dingin tidak menyurutkan langkah mereka untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Kemalangan yang terus menyerang Dusun-Dusun di Kota Lor menjadi alasan kuat untuk terus maju dan tidak menyerah. Sampailah mereka di sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu berukiran tulisan kuno. Terlihat asri dan nyaman saat seolah memanggil mereka untuk segera berteduh didalamnya. Merekapun masuk melewati pagar kayu tersebut, serempak mereka saling pandang. Terasa hangat dan nyaman walaupun hanya di halaman rumah, berbanding terbalik dengan suasana diluar pagar rumah sederhana itu. Kepala Dusun Tanggul berjalan menuju teras dan mengetuk pintu.
Tok Tok Tok
"Permisi, Tasriya."
"Injeh (iya) sebentar" terdengar jawaban dari dalam rumah.
"Sore Tas, maaf Pakwo menganggu, apa Pakwo bisa bertemu Simbah Nduk (sebutan anak perempuan)?"
"O saget (bisa) Pakwo, Eyang nembe (sedang) menonton televisi. Monggo (mari) silahkan masuk"
"Tas, maaf Pakwo kesini ndak (tidak) sendiri. Pakwo bersama sebagian Kepala Dusun Kota Lor. Ini Kepala Dusun Midang, Brukut, Mergo, Anong sama Mertos"
"injeh (iya) Pakwo. Sugeng rawuh sedoyonipun (selamat datang semuanya) saya Tasriya cucu dari Mbah Etos. Monggo (mari) silahkan masuk."
"Tersuwun (terimaksih) Mbak Tas, maaf merepotkan bertamu disaat waktunya beristirahat begini."
"Tidak apa-apa pak, Eyang ada diruang tengah. Maaf Eyang nembe (sedang) ndak (tidak) enak badan jadi susah jalan, kalau ngobrolnya diruang tengah ndak apa-apakan?"
"Tidak apa-apa bu Tas, terimakasih sebelumnya."
"Sama-sama pak, selama saya bisa membantu tidak masalah."
Tasriyapun masuk kedalam diikuti oleh seluruh Kepala Dusun. Tidak berapa lama terlihat Mbah Etos sedang duduk bersama seorang anak perempuan kecil menonton televisi. Terlihat sesekali anak kecil tersebut mengajak ngobrol Mbah Etos tentang acara yang ditonton mereka.
"Eyang lihat itu di Desa Ajaran sudah ada mobil. Wah mobinya bagus sekali Eyang."
"Mobil kie (itu) apa Nduk?"
"Itu lho Eyang yang rodanya ada empat trus terbuat dari besi, nanti jalannya udah ndak ditarik kuda kalau gak sapi."
"Nek (kalau) ndak (tidak) ditarik kuda opo sapi, lha trus gimana bisa jalan nduk?"
"Disetir katane Eyang, dimobille itu ada mesinnya trus nanti setirnya tinggal diputer-puter trus jalan. Jadi udah ndak (tidak) ditarik kuda sama sapi lagi Eyang."
"Aduh kasihan temen (bener) kuda karo sapine."
"Lho kok kasihan Eyang, bukane sekarang mereka bebas sudah ndak kesiksa disuruh narik dokar sama gerobak."
"Mereka narik gerobak itu kewajiban nduk buka siksaan apalagi paksaan. Kuda dan sapi narik dokar sama gerobak untuk membantu manusia, dan sebaliknya manusia yang sudah dibantu akan berkewajiban memberi makan mereka. Maka saat yang rodanya empat tadi mengantikan tugas mereka. Mereka jadi tidak lagi dibutuhkan dan itu berarti manusia sudah tidak berkewajiban untuk memberi makan. Itu akan membuat mereka beakhir dipasar atau disembelih nduk."
"Ih kok jadi gitu Eyang, Rahmi pikir nanti kalau mobil sudah masuk Desa kita, para kuda sama sapi bisa bebas main. Ndak lagi kesiksa narik dokar sama gerobak."
"Itu namanya keseimbangan alam nduk, saling menguntungkan. Manusia dibantu oleh kuda dan sapi dengan tenaga mereka mengangkut barang dan manusia. Lalu untuk kuda dan sapi, mereka mendapat imbalan berupa makanan, minumah, naungan dan perawatan. Para kusir itu senangtiasa merawat mereka dengan baik."
"Tapi apa para kusir tidak bisa terus merawat mereka walaupun mereka tidak dapat membantu lagi Eyang?"
"Bisa saja tapi saat dokar dan gerobak tidak dibutuhkan lagi begitu pula dengan kusir mereka akan kehilangan pekerjaan mereka. Saat hidup manusia susah maka mereka akan mengurangi beban mereka. Karena mereka tidak bisa mengurangi beban seperti keluarga mereka sendiri. maka jatuhlah pilihan pada peliharaan mereka. Dan begitulah akhir dari kuda dan sapi, kalau tidak dijual ya disembelih."
"Permisi Eyang, niki (ini) ada Pakwo Parjan."
"Iku sopo nduk?" (itu siapa Nduk?)
"Itu Mamak Eyang."
"Niki kulo Tasriya Eyang." (ini saya Tasriyah Eyang)
"Lho cucuku Tas? bukanya duduk disini sama Eyang."
"Eyang ini Rahmi, sanes (bukan) Mamak. Eyang mboten (tidak) lupa sama Rahmi to?"
"Oalah, Rahmi buyut Eyang yang Ayu dewe (paling cantik). Eyang ndak (tidak) lupa."
"Ono opo mau putuku?" (ada apa tadi cucuku?)
"Ini enten (ada) Pakwo Parjan putrane (anaknya) Mbah Darmo."
"O iya Parjan, piye le Kabarre?" (o iya Parjan, bagaimana kabarnya?)
"Saya baik Mbah, Mbah Esto pripun (bagaimana) Sehat?"
"Ya beginilah namane badan wis (sudah) tua, sesikit-sedikit masuk angin."
"Eyang Pakwo Parjan soan (datang) bersama Kepala Dusun lainnya. Ada yang mau ditanyakkan kepada Eyang."
"Oya sini-sini mau tanya apa Le? Silahkan duduk dulu."
"Terimakasih Mbah"
"Sebelumnya maaf mengganggu istirahat Mbah, saya beserta Kepala Dusun yang lain kesini mau bertanya beberapa hal, kalau-kalau Mbah tahu"
"Meh (mau) tanya apa Le (sebutan untuk anak laki-laki)?"
"Bengini Mbah, 3 hari yang lalu Walikota Lor memanggil seluru Kepala Dusun di Kota Lor ke balai kota. Walikota Lor mengatakan bahwa siklus 1000 tahun akan kembali pada masa ini. Beliau mengatakan bahwa sudah terlalu banyak perubahan dan hilangnya jatidiri bangsa dari Negara kita. Maka siklus itulah yang akan membetulkan kembali negara kita seperti dulu, jadi mau tidak mau kita harus melewatinya Mbah."
"Trus."
"Walikota Lor memberitahu kami bahwa satu-satunya jalan kita bisa melewati siklus tersebut tanpa kehancuran total pada Negara kita adalah dengan menemukan Sang Pancang. Beliau mengatakan bahwa Sang Pancang Lor nantinya yang dapat menyelamatkan kita."
"Tapi kami sama sekali tidak tahu menahu tentang Sang Pancang tersebut Mbah, bahkan banyak dari kami menganggap mereka adalah legenda atau dongeng. Karena mereka tidak pernah masuk dalam buku sejarah negara kita."
Suara helaan nafas dari Mbah Etos mengambil semua fokus dari mereka yang berada diruangan.
"Karena itulah yang diinginkan para pemimpi Le, sejarah hanya diisi dengan apa yang enak didengar kemakmuran, kesejahteraan, prestasi itulah yang dicatat sejarah. Tidak ada yang akan mau pencatat kesengsaraan, penindasan, kemiskinan karena itu berarti meperlihatkan kecacatan para pemimpinya. Dan lagi Sang Pancang adalah awal dari negara kita, mereka disebut Sang Pancang Penyangga. Karena sejatinya mereka adalah tiang penyangga yang akan selalu menopang Negara. Saat Negara memiliki tiang penyangga dan diperkuat dengan pondasi Negara maka akan terlahirlah sebuah Negara yang aman, makmur, dan sejahtera."
"Kalau mereka awal mengapa mereka justru tidak masuk dalam sejarah negara kita Mbah. Seharusnya mereka yang akan kenal diseluruh negeri kita. Nama mereka akan diukir disetiap gedung mungkin penghargaan yang tepat adalah membuatkan mereka Museum. Mereka harusnya sejajar dengan para Raja."
"Seperti yang Mbah bilang tadi, Sang Pancang tidak akan pernah masuk dalam sejarah. Sejarah hanya diisi oleh sesuatu pencapaian dan keberhasilan, sedangkan itu bertolak belakan dengan alasan lahirnya Sang Pancang"
"Maksudnya bagaimana Mbah?"
"Sang Pacang lahir karena Penindasaan, Penderitaan dan Kesengsaraan dari mereka yang tetap teguh dan percaya pada Kepercayaan, Budaya dan Tradisi, tiga pondasi Negara kita. Jadi tidak mungkin bagi kita menemukan mereka tercatat dalam buku sejarah Negara kita."
"Jadi Sang Pancang Lor dan para Sang Pancang itu benar dan nyata adanya Mbah?"
"Benar atau tidaknya Mbahpun juga tidak tahu Le, itu terjadi 1000 tahun yang lalu. Dan kalian tahu bahwa tidak ada satu manusiapun yang masih hidup hingga saat ini dan tidak ada satupun sejarah mencatat mereka juga. Tapi ada yang selalu mbah ingat, banyak legenda yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi. Atau kita sering menyebutnya dongeng pengantar tidur. Didalamnya banyak tersimpan nasehat dan petuah hidup, tentang keyakinan, kesetiaan, dan semangat pantang menyerah. Dongeng yang mungkin dijaman ini sudah banyak dilupakan karena dianggap terlalu kuno dan kurang nyata."
"Benar Mbah, dongeng dari luar saat ini sangat digemari oleh anak-anak jaman sekarang Mbah, mereka hafal seluru nama putri-putri dari tanah yang jauh. Tapi mereka tidak tahu bahwa dari Negara mereka sendiripun ada banyak Putri yang tidak kalah cantik dari putri dari luar sana. Salah satunya yang paling saya ingat adalah Putri Apsara dari Kidul, cantik, cerdas, berhati suci serta pemberani."
"Betul sekali kita tidak bisa melarang anak-anak kita untuk menyukai putri-putri dari luar. Karena tidak ada lagi acara televisi yang menayangkan tentang Negara kita lagi."
"Benar, sarana yang seharusnya dapat memperkenalkan Negara kita kepada anak-anak muda agar bisa memperkuat pengetahuan akan Negara sendiri, tapi malah lebih sering menayangkan sesuatu yang tidak layak untuk ditonton anak muda. Karena itulah saya sendiri tidak bisa melarang anak-anak saya untuk menyukai buyada Negara lain yang memang lebih layak untuk ditonton."
"Maaf Mbah, kalau Mbah berkenan dapatkah Mbah menceritakan salah satu kisah dari Kota Lor mungkin. Sepertinya sudah sangat lama kami tidak mendengar kisah legenda dari Negara kita terlebih kota kita, Kota Lor."
"Ada satu kisah yang selalu Mbah ingat karena Mbah sangat menyukainya. Cerita yang mengajarkan untuk terus berjuang melawah penindasan, kesengsaraan bahkan saat dia harus kehilangan seluruh keluarga dan kehidupannya demi keadilan dan ketentraman Negara. Tidak ada kata menyesal dan menyerah dalam hidupnya. Cerita seorang anak laki-laki yang mereka juluki dengan SANG DARANI LOR, sang Prajurit Tanah Lor."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments