Bab 19

Mentari pagi menampakkan sinarnya, cerah. Bahkan awan mendung yang sempat mengumpul kini tampak berlarian menyisih. Enggan mendekat pada sang surya yang tengah melaksanakan tugasnya.

SMA Pelita kini tengah ramai siswa-siswi berlalu-lalang, bersenda gurau dan ada juga yang berlarian. Menunjukkan semangat mereka dalam menjalani hari. Menyongsong Ujian Akhir Semester yang akan dilaksanakan 2 minggu lagi. Berbeda dengan Ayu yang kini tampak lesu. Masalah lamaran yang akan diadakan lusa masih dipikirkannya. Lalu hari ini dilaluinya tanpa Tiyas yang hari ini tidak bisa hadir karena menemani ibunya yang sedang sakit. Ya, Tiyas anak yatim. Ayahnya meninggal ketika dirinya duduk di bangku kelas 3 SMP, sedangkan adiknya Laila kini baru memasuki bangku SD.

Teman-temannya yang sedang berceloteh ria juga tak dihiraukannya. Lesu. Ayu hanya membuka buku pelajaran biologi tanpa berniat membacanya. Pikirannya berkelana, mengarah pada seorang pria yang akhir-akhir ini begitu mengusik hidupnya. Fabian. Sebenarnya pria itu begitu pas, secara sifat dan sikap serta kemapanan pria itu yang bisa dikategorikan sebagai suami idaman. Jangan lupakan ketampanannya yang sedap untuk dipandang sepanjang hari, mungkin ia takkan pernah bosan.

Lalu apa yang sedang dipikirkannya? kenapa begitu berat untuk menikah dengan Fabian?

Tentu saja jawabannya adalah karena ia masih sekolah. Tetapi bukankah kata Ayahnya, Fabian sudah memastikan Ayu tetap bisa sekolah seperti biasa? Umur kah? Ya, umurnya baru 17 tahun menuju 18 tahun akhir bulan nanti.

Benarkah karena hal itu? Entahlah. Batinnya sedang berperang kini. Satu hal yang ia yakini, dirinya harus memikirkan perasaan Ayahnya juga. Sang Ayah sudah merestui, jadi, apa yang ia takutkan sekarang? Hei! tentu saja takut. 'Aku baru akan 18 tahun dan harus menikah?'

Gila, Ayu merasa benar-benar akan menjadi gila jika terus memikirkan masalah tersebut. Lusa. Kenapa harus lusa? Tidak boleh diundur kah? Dirinya masih belum siap. "Hhaaahhhh, bodo amat."

Lamunannya terhenti ketika mendengar suara heels lima senti tengah memasuki ruang kelasnya. Menandakan bahwa pelajaran biologi akan segera dimulai. 'fighting Ayu.'

Suasana hati yang berbanding terbalik dengan Ayu yang tengah gundah, ada hati yang sedang bahagia diselingi sedikit rasa gugup. Punggung yang sedikit condong kedepan, dengan dagu tertopang pada telapak tangan kiri. Sedang tangan kanannya tengah memainkan bolpoin, diputar-putarnya bolpoin tersebut.

Senyum manisnya tersungging lebar. Tidak menyangka. Benarkah Om Teguh merestuinya untuk menikah dengan Ayu? Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah Om Teguh menentang idenya kemarin-kemarin? Bukankah hal ini mencurigakan? Menilik dari sifat Teguh yang begitu berpegang teguh terhadap apa yang sudah menjadi keputusannya. Tidak mudah untuk menggoyahkan pemikirannya. Jika beliau berkata tidak, maka hasilnya tetap tidak. 'Aneh.' batinnya. 'Ahh yang penting kan jadi menikah, sama Ayuku.'

"Hihihi, Ayuku ya?" terdengar aneh memang. Iyain aja lah, orang jatuh cinta ini.

Tok tok tok.

Pintu diketuk dari luar.

"Masuk."

Bram masuk setelah dipersilakan. Ditangannya terdapat beberapa map penting untuk diserahkan pada sang atasan. Diletakkannya dengan hati-hati berkas tersebut.

"Map kerjasama dengan beberapa Perusahaan kecil yang membutuhkan tandatangan anda Tuan." beritahunya.

"Bram, kamu pernah jatuh cinta?" Fabian bertanya tidak nyambung.

"Belum pernah tuan." Jawab Bram yakin.

"Heh? masa sih? kamu ngapain aja selama ini?" Fabian bertanya kepo. Benarkah sekretaris yang beberapa tahun lebih tua darinya ini tidak pernah merasakan jatuh cinta?

"Karena selama 12 tahun ini aaya habiskan dengan bekerja untuk Putera Group." Bram menjawab, masih dengan wajah datarnya.

"Sekolah? kalau sekolah kamu? masa gak pernah juga? cinta monyet gitu?" Fabian bertanya lagi, kepo. Apakah Bram tidak mempunyai hati?

"Masa sekolah saya habiskan dengan belajar tuan, tidak ada waktu bagi saya untuk mempelajari hal yang bernama jatuh cinta itu." Jawabnya tegas.

"Kaku. Kaku banget hidupmu Bram. Udah kayak kanebo kering aja." Benar-benar meninggalkan formalitas, Fabian bersungut-sungut mengatai sekretaris Papanya yang merangkap sebagai sekretarisnya juga. Tugas yang berat untuk Bram sebenarnya. Pantas saja dirinya tidak bisa mengurusi hal lain yang bernama cinta. Wong hidupnya hanya dipenuhi dengan kerja, kerja dan kerja. Keteteran? sebenarnya iya. Tetapi Bram tidak pernah mengeluhkan hal itu. Selama dirinya masih sanggup, kerja apapun akan dia kerjakan dengan maksimal. Sungguh berdedikasi sekali Bram ini. Bukan sekali dua kali Pratama menawarkan agar Bram memilih salah satu. Tetapi ia tidak bisa. Tidak bisa untuk memilih lebih tepatnya. Toh, ruangan Presdir dan CEO bersebelahan, jadi tidak terlalu menyulitkannya. Rumit? biarkanlah.

"Maaf Tuan, jika tidak ada hal lain lagi saya permisi. Tuan Pratama sudah memanggil saya menghadap beliau." Beritahu Bram.

"Sana-sana, pergi temui papa." Usirnya.

Bram membungkuk, kemudian bergegas keluar ruangan Fabian, dan memasuki ruangan sebelahnya. President Director Room.

"Kasian si Bram, nggak pernah jatuh cinta dia. Berarti masih mending aku dong, sekali jatuh cinta ehh langsung nikah sama orangnya. Hahaha." Fabian tertawa lebar. Merasa menang dari Bram, padahal mereka sedang tidak berkompetisi. Pandangannya menunduk, "Ahh tanda tangan lagi, nggak ada yang lain apa?" Rutuknya, terkesan malas. Sebenarnya bukan malas, Tapi ingin bermalas-malasan. Fabian ingin segera hari kamis itu tiba. Melamar pujaan hatinya. Perempuan yang digilainya.

Di ruang sebelah, Pratama terlibat pembicaraan yang serius dengan Bram. Mengenai satu orang yang akan meninggalkan hidup mereka. Bukannya mereka ingin, tetapi keadaan mengharuskannya memikirkan solusi yang tepat. Pratama merasa Bram lah solusinya. Pria itu begitu dipercayainya. Dua belas tahun mengabdi pada Putera Group adalah buktinya.

"Bagaimana Bram? kamu sanggup?" Pratama bertanya untuk kedua kalinya.

"Tuan? bagaimana mungkin saya--."

"Keputusan saya sudah bulat, Bram."

Bram masih terdiam, bibirnya terkatup rapat, hendak membantah lagi. Tanggung jawab yang besar akan di berikan padanya. Ia masih memikirkan matang-matang hal tersebut. Belum yakin. Atau tidak ada keyakinan dalam hatinya untuk mengemban amanah besar tersebut. Pratama menghela napas lelah.

"Saya juga tidak ingin kehilangan dia, tapi dirinya sendiri yang memintaku melakukan hal ini. Saya yakin kamu mampu. Pikirkan baik-baik, saya tunggu kabar baiknya akhir bulan ini. Semoga dia masih hidup saat itu tiba. Haahhhh." Kembali menghembuskan napas lelah. "Keluarlah." Usirnya.

"Baik Tuan." Bram membungkuk, keluar dari ruangan bos besarnya, masih dengan pertanyaan yang menyelimuti pikirannya. 'Apa aku sanggup?'

❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Hai hai !!!

Penasaran nggak? Boleh lanjut nggak?

Ditunggu kritik dan sarannya ya man teman.

Maklum, thorthor masih baru dalam hal tulis menulis.

Sebenarnya hobi sih corat coret di buku. Dan baru kali ini punya keberanian buat publish karya aku.😊😊😊

Ehh jadi curhat kan 😁😁😁

Terimakasih sudah membaca dan memberi like😚😚😚

Paii paii❤️

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Apa Bram yang akan di pindahkan cabang singapur untuk di pimpin Bram..

2024-12-08

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Waahh kayaknya di bikin novel tentang Bram ini juga bagus thor..😁😁

2024-12-08

0

Arif Widia

Arif Widia

Sebenarnya apa si....

2022-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!