Mira sebenarnya bukan anak yang lemah lembut. Suer, dia tuh aslinya tomboi dan bringasan. Sejak kecil kerjaannya seperti power ranger, yakni selalu menumpas kejahatan. Siapa penjahatnya? anak-anak yang selalu gangguin Shelia dan Diva. Mira bakalan jadi jagoan dalam melindungi dua cewek itu, yang ternyata keterusan sampai sekarang dalam melindungi Diva. Huh!
Di SMA ini untungnya Mira gak sekelas sama Diva. Dia pun memiliki teman-teman yang lain, tapi tanpa pernah meninggalkan statusnya sebagai bodyguard Diva, ekor Diva, bayangan Diva.
Begitulah nasib Mira sebagai orang yang gak pernah jadi tokoh utama. Ya sih, dia emang gak cantik. Serba pas-pasan lah tampangnya sebagai cewek. Ralat, sebagai asisten Diva.
"Heh, Mirasantika! Lo budeg level berapa sih, dipanggil gak nyaut-nyaut?"
Seorang cowok mentoyor kepala Mira dengan songongnya. Siapa lagi kalo bukan Ryosuke? Bocah blesteran Jepang itu sekelas sama Diva. Berhubung nasib yang mengkondisikan diri Mira sebagai babunya Diva, maka otomatis tiap dirinya ketemu Diva di kelasnya, maka akan selalu ada si bocah songong, Ryo, yang juga dia temuin. Mira yakin, si Ryo gak pernah melihat dirinya sebagai seorang cewek.
Oke, gak masalah. Mira, 'kan cuma tokoh gak penting.
"Apa lo, Yo? Kepala gue yang mahal disentuh-sentuh gak beradab! Durhaka lo ya!" dia gak terima.
"Sejak kapan lo jadi nyokap gue?" Maksud Ryo, kenapa dia harus durhaka, ye, 'kan?!
"Sejak lo lahir, nyaho! Gue nih emak tiri lo ... eh–" masa iya gue jadi emak tirinya Ryo? itu artinya gue jadi selir bapaknya gitu?
"Bokap gue gak bakal mau kawin sama Mirasantika begini ...," Ryo berdecak meremehkan.
"Siyalan! Ya udahlah, gue masih waras. Gue ngalah. Dah minggir lo, gue mau nyari Diva." Mira menyingkirkan Ryo yang menghalangi jalannya di depan pintu kelas.
"Diva lagi ke kantin kayaknya sama Bayu," ucap Ryo yang membuat Mira menghentikan langkahnya.
yailah, tadi dia minta dibeliin minuman, sekarang dia malah udah pergi ke kantin juga.
Dasar gue babu!
Tanpa Mira duga, Ryo sudah merampas botol minum dari tangannya yang dibawanya sejak tadi. Padahal dia sedang ngedumel sebentar doang, di dalam hati pula ngedumelnya. Kok ya Ryo gercep banget?
"Bayar!" tangan Mira mengadah ke bocah songong yang sudah mulai menenggak minuman itu. "Itu minuman harganya tujuh ribu, pajak jalannya tiga ribu, jadi lo harus bayar sepuluh ribu. Bayar!"
Ryo mengangkat kedua alisnya. "Gue bayar pake tubuh gue boleh gak, Mir?" godanya.
Mira menatap Ryo sebentar sebelum menyahut, "Ntar dulu ya, gue cari pisau dulu,"
"Buat?" Ryo melongo.
"Ya kata lo mau bayar pake tubuh lo? Ntar gue cari pisau dulu buat mutilasi bagian tubuh lo yang mau lo pake buat bayar gue."
Ryo bergidik. "Parah lo, Mir. Lo abis berguru sama penjahat mana sih? Dah ah, gue masih pengen hidup."
Cowok itu hendak melangkah hendak pergi, tapi Mira berhasil menahan lengannya. "Bayar gak lo! Kabur aja maunya,"
Ryo terkekeh. Cowok itu sengaja menggoda Mira. Tapi kemudian dia berkata, "Iya iya. Nih! kembaliannya ambil buat lo," Ryo mengalah.
...----------------...
Mira sedang berjalan santai mengiringi artisnya a.k.a Diva. Sekolah baru saja bubar, dan mereka menelusuri jalan dari lingkungan sekolah menuju halte. Entah mau naik angkot, ojol, atau apa, yang penting nongkrong dulu sebentar di halte. Gitu, 'kan anak sekolah?!
"Mir, tadi Bayu nembak gue loh." Diva memberitahu Mira seperti biasa, kerap kali ada cowok yang nembak dirinya.
"Trus, lo terima?"
"Nggak. Gak sreg gue sama Bayu."
For your information, Diva tuh banyak yang suka. Ya pastilah ya, cewek secantik Diva mana mungkin lewat dari mata cowok-cowok normal. Banyak yang nembak, banyak yang perhatian, banyak yang sok kenal sok dekat.
"Ohh ..." Mira hanya ber'oh'ria. Tugas Mira, 'kan ya gitu, menjadi pendengar yang baik untuk cewek bak artis itu. Apa saja cerita Diva bakalan Mira dengar, tampung, dan telan. Keadaan sudah berjalan selama berabad-abad lamanya. Kurang lebih begitu yang ada di otak Mira, maklum, saking lamanya ia menjadi bodyguard.
Baru saja diomong, cowok yang katanya habis nembak Diva, yaitu Bayu, kini sudah menepi ke arah mereka. Senyum cowok itu terkembang merekah, seirama dengan wajahnya yang manis. Namun sayangnya, tinggi badan Bayu hanya sejajar Diva, yang tingginya beda dua senti di bawah Mira.
"Div, mau langsung pulang nih?" tanya Bayu mensejajari langkah cantik Diva. Serius, saat sedang melangkah saja Diva nampak cantik.
Cowok itu gak lihat sama sekali keberadaan Mira, yang padahal setiap harinya ada di ekor Diva. Suer, peran Mira sebagai bayangan tuh sempurna banget. Hitam dan gak kelihatan.
"Iya, Bay. Lo katanya masih ekskul ya?"
"Iya, nih. Pulangnya ntar sorean. Oh iya, jangan lama-lama ya kasih jawaban ke gue nya. Gue tunggu secepatnya." Bayu pergi setelah melemparkan kedipan sebelah matanya kepada Diva. Dia gak tau kalau ada satu manusia yang sejak awal tadi berdiri di samping Diva, memperhatikan mereka berdua bicara.
"Gue kirain lo udah nolak Bayu?" tanya Mira yang mulai melanjutkan langkahnya. Begitu pun dengan Diva.
"Belum sih. Biarin ajalah."
Lain deh ya cewek populer mah, bebas mau gantungin banyak cowok juga.
Lah gue?
Cuma seorang bayangan yang bahkan gak keliatan di mata makhluk berjenis cowok.
Hiks
...----------------...
"Assalamu'alaikum! Aku pulang!" seru gadis itu begitu sudah sampai di rumah.
Setelah melongok ke sana kemari, sang ibu Pertiwi yang dicarinya, ternyata tak ada. Ini beneran kok, nama nyokap Mira tuh Pertiwi gemah ripah loh jinawi. Ups, gak deh. Pertiwi Indah Permai. Nama macam apa tuh? Untungnya Mira gak dikasih nama Asri Sejuk Damai. Mira bersyukur pikiran Mamanya terbawa arus zaman juga. Tapi satu orang yang paling menyesal diantara anak-anaknya Mama, yaitu Ghani. Cuma Ghani-lah yang merasa paling sial atas nama pemberian sang ibu Pertiwi. Karena dengan boomingnya kartun Si Tayo, maka Ghani pun ikut tenar. Sebagai sosok best friendnya Tayo, Ghani –si adik Mira– mendadak benci sama namanya sendiri. Mira sih udah nyaranin, gimana kalo nama panggilan Ghani jadi Ani aja?
Sebuah buku melayang ke kepala Mira sebagai jawaban adiknya waktu itu. Kemudian sahutan Ghani yang cool sekaligus nyinyir itu hanyalah, "Otak cetek!" tuh bahasanya seorang adik yang memiliki kakak yang memang takdirnya. .. lemot.
Ketika Mira gak mendapati sang Mama di rumah, Mira malah mendapati Ghani yang sedang menikmati makanannya di meja makan sambil membaca buku. Dasar kutu buku!
"Gan, Mama kemana?" tanya Mira.
"Pergi."
"Ke?"
"Depan,"
"Depan mana?"
"Rumah."
"Rumah siapa?"
"Sakit."
"Ha? Rumah sakit mana?"
"Jiwa."
"Ha? siapa yang sakit?"
"Lu."
******.
Ni bocah kalo bukan adek kandung gue, udah gue mutilasi lidahnya.
Mira beranjak ke kamar sambil melemparkan tatapan kutukan, semoga suatu hari nanti otak mereka bisa tertukar.
...----------------...
Tok tok.
Pintu kamar Mira diketuk. "Buka pintu, Mir!"
Suara ibu Pertiwi tuh melengking, seolah Mira sedang berada di sebrang lautan. Selalu teriak kalau memanggil Mira. Lain cerita kalau yang dipanggil Mama tuh Ghani atau Shelia, maka akan tercipta drama penuh cinta dan sayang seolah Ghani dan Shelia adalah barang pecah belah yang mudah remuk kalo kena getaran suara keras.
Mira membuka pintu.
"Kamu ngapain? Pulang sekolah malahan mengeram di kamar. Udah menetas belum tuh telur?" cecar Mamanya seperti biasa.
"Telur apa, Ma?"
"Telur kodok. Dah, sini keluar cuci piring. Bantuin Mama kenapa sih. Orang lain mah pulang sekolah pada punya kegiatan. Ada yang ekskul, jalan-jalan, pacaran. Lah kamu? Bersemedi di kamar. Ngapain coba?"
"Nonton tv, Ma."
"Nonton tv mulu. Belajar gitu kayak adik kamu, Ghani. Biar pinter, biar jenius. Kayak Shelia gitu kek, jago masak. Diva juga bisa masak tuh. Udah cantik tapi masih suka bantu Maminya masak."
Sebenernya kata-kata Mama itu keterlaluan dan bikin sakit hati. Mira selalu dibanding-bandingin sama manusia lain. Tapi berhubung itu kata-kata sudah kelewat sering diperdengarkan ke telinga Mira, makanya Mira jadi kebal. Udah gak ngefek, Ma!
Tanpa banyak protes, Mira segera beranjak ke dapur untuk mulai mencuci beberapa peralatan dapur yang kotor, yang sepertinya baru saja dipakai sang ibu Pertiwi untuk membuat kue.
"Ma!"
Mira memanggil mamanya yang sedang menghias blackforest di atas meja. Kue yang baru saja dibuat oleh Mamanya itu terlihat menggiurkan di mata Mira. Yeah, Mira selalu hobi makan. Apalagi itu hasil karya ibu Pertiwi dan Shelia. Mira pasti suka banget deh.
"Hm?" Mama menyahut tanpa mengalihkan matanya dari kue.
"Mama dari rumah sakit jiwa??"
"Hah?"
Pletak.
Sebuah sendok melayang ke kepala Mira. Dia meringis sambil menggosok-gosok kepalanya, dan mencuci senjata yang baru saja melukainya, sendok.
"Kamu mau Mama gila? Iya sih, punya anak kayak kamu bikin Mama stress. Keahlian kamu tuh cuma makan doang. Kakak kamu yang bakalan jadi Chef, adik kamu yang bakalan jadi dokter ... lah kamu? Kamu jadi apa, Mir? Jadi apa? Makanya kalau belum waktunya hadir ke dunia tuh jangan datang dulu. Kasian Shelia yang kurang ASI."
Begitulah ibu Pertiwi. Kalau Mira ngomong satu kalimat, maka akan dibalas seribu kalimat.
Beginilah nasib seorang Mira. Mirana banget deh.
Prang.
Satu piring pecah.
Mampus. Bakal panjang kali lebar deh ceramah Mama Pertiwi. Alamat bakal lama gue kembali ke sarang gue, ke markas gue, ke istana gue, kamar.
Mira menoleh penasaran dengan reaksi Mamanya setelah ia menghancurkan satu piring. Namun, Mamanya terlihat masih sibuk menghias kue, tapi mulutnya tambah ... nge'rap.
"Boro-boro masak ya, cuci piring aja gak becus. Kamu tuh cuci piring apa buang piring? Mana ada sih anak kayak kamu, Mir ... Bener-bener bikin stress ... bla bla bla ..."
Ceritain nasib Mira kayaknya gak kelar-kelar... Nasibnya aja udah buruk, gak perlu konflik juga udah sengsara. 😂
Thanks for reading...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
gw baru mulai udh lumanyan ngakak 😁
2024-03-03
1
Ayuwidia
haduchhh sabar sabar ya Mir, aku bacanya juga Mirana 😁😁😁
2021-05-03
1
Yuyun Farida
beneran seruuuu...pas pertama baca sampe bab yang ini ..ni bibir gak berhenti nyengir 😁😁
lanjut thor..semangat 45
2021-04-04
1