Pov Devan
Sejak kejadian hari itu, aku belajar membuat jarak lagi dengannya. Gadis itu, telah menunjukkan betapa ia sangat menjijikkan.
Orderan? Tamu lain? Tengah malam? Argh! Kenapa hatiku sesakit ini! Adakah salah dengan perasaan yang kupunya? Saat aku mulai membuka hati, kenapa harus pada dia, wanita penghibur macam Nayla. Menyesakkan sekali!
💕💕💕💕💕
Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga. Sesi pemotretan produk baru adalah hal yang paling tidak ku suka. Bagas, masih saja mempercayakan itu padaku. Menganggapku sebagai aset mahal dari segala progress yang ada.
Jaket kulit, sepatu kulit, sandal kulit, ikat pinggang kulit, astaga, banyak sekali aneka produk kulit yang sudah ku sanding selama ini.
"Udah yah, capek euy!" Seruku memelas.
"Sekali lagi yah, Van?" Bagas membujuk. Ia memasang tampang lebih memelas lagi.
Ya tuhan, anak ini benar-benar. Aku menghela nafas berat, capek euy jadi model.
💕💕💕💕💕
Kami bertiga melangkah bersama. Aku, mamah, dan Nayla. Menuju undangan walimah Ali. Sahabat yang satu kajian denganku.
Walimah di gelar secara terpisah. Tamu undangan wanita dan lelaki berada di ruang berbeda. Aku sangat setuju konsep seperti ini, karena dengan begitu, tak terjadi campur baur yang tak keruan. Benar, dalam islam memang ada batasan. Untuk saling menjaga, privasi setiap hambanya. Sedikit banyak aku memahami itu, meski pada prakteknya, aku masih banyak menyalahi. You know lah, berproses.
Sepanjang jalan menuju pelaminan, aku bertemu dengan guru-guru juga sahabat satu kajian. Doa selamat tercurah pada sang mempelai. Rasanya, ada kebahagiaan tersendiri dalam momen seperti ini.
Selesai memberi ucapan selamat dan doa kepada Ali. Aku turun ke bawah, menikmati hidangan yang tersaji.
"Assalamualaykum." Terdengar seseorang mengucap salam dari belakang. Aku menoleh, Ustadz Azzam.
"Wa alaykumussalam ustadz," jawabku sambil memeluknya.
Beliau, salah satu guru ngaji yang menuntunku belajar ilmu agama.
"Apa kabar? Lama yah nggak keliatan di majlis?" Tanyanya.
"Alhamdulillah baik, Ustadz. Iyah nih, lagi lumayan sibuk," jawabku sungkan.
"Mashaa Allah, pengusaha sukses, jangan sampai kehidupan dunia melalaikan yah." Beliau menasehati. Aku mengangguk-angguk mendengarkan. Malu rasanya, sudah absen beberapa kali dari kajian.
"Gimana, mau nggak nyusul seperti Ali?" Tanyanya lagi.
Aku tersenyum salah tingkah. Menggaruk kepala sendiri yang tidak gatal.
"Inshaa Allah ada akhwat yang siap menikah, saya jamin dia gadis baik-baik," ucapnya lagi.
💕💕💕💕💕
"Nanti kalau kalian menikah, Mamah mau konsep pernikahannya seperti tadi yah, ah Mamah udah nggak sabar liat Nay pakai baju pengantin" ujar mamah begitu kami berada di dalam mobil. Duh, mengkhayalnya terlalu jauh.
Aku dan Nayla saling melempar pandang. Melalui kaca depan mobil, ia menyorotkan sinar matanya. Dia tak berani menjawab, tentu saja. "Inshaa Allah," ucapku menanggapi mamah.
Mobil melaju pelan di jalanan yang tampak padat. Sudah mau maghrib, tidak akan terburu jika shalat maghrib di rumah. Aku berinisiatif menepi, mengajak shalat maghrib di mesjid terdekat pinggir jalan raya. Mamah tampak bahagia sekali, ia menggenggam tangan Nayla kemana ia pergi. Lupakah bahwa aku adalah anak kandungnya. Rasanya ada sedikit perasaan cemburu di sini. Mamah sudah berlebihan. Dan itu membuatku serba salah, akan terasa sulit untuk meng akhiri sandiwaranya.
💕💕💕💕💕
Aku mengantar pulang mamah terlebih dahulu. Karena setelah ini, ada beberapa hal yang ingin ku bicarakan berdua saja bersama Nayla. Sandiwara ini harus segera di akhiri. Eh tapi, minggu depan Iparku mau datang? Astaga, hampir saja aku lupa.
Sepanjang jalan gadis itu hanya diam. Sesekali ia melirik takut-takut, kemudian merundukkan kembali pandangan. Memainkan jemari tangannya sendiri.
"Berapa uang yang kamu dapat semalam?" Tanyaku setelah cukup lama kami terdiam. Berkutat dengan pikiran masing-masing, membuatku kembali teringat kejadian semalam.
"Tidak banyak," jawabnya terdengar ragu.
Aku menarik senyum ke samping kiri. Merendahkannya.
"Besok, tepat satu minggu kesepakatan. Bisa kita buat kesepakatan baru?" Tanyaku santai sambil menatap jalanan. Tampak kilatan petir menyambar-nyambar. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.
Nayla masih tak menjawab. Dia diam seribu bahasa. Membuatku sedikit terpancing ingin menggodanya.
"Aku, mau booking kamu semalam, bisa?" Tanyaku.
"Mas!" Ia terhenyak. Nanar kedua matanya memandang ragu ke arahku.
Aku balik memandang. Wajahnya pias, membuatku semakin menatap nyalang juga tertantang.
Decit rem terdengar nyaring. Aku sengaja menginjak remnya. Kemudian membanting setir, menuju tempat yang sekelebat tadi terbayang.
"Mas, kemana?" Ia terdengar gugup juga panik. Ia seperti membaca pikiranku. Ayolah, jangan membuat ini terlihat semakin menarik.
Rintik hujan mulai menapaki kaca depan mobil. Aku tersenyum menyeringai. Persis seperti singa yang mendapatkan mangsanya. Bahkan cuaca pun seperti sedang ikut mendukung.
Kehilangan Rani itu sakit. Tapi mencintai perempuan penghibur yang terjamah banyak pria itu jauh lebih sakit. Entah berapa banyak pria yang sudah mengencaninya. Menikmati setiap lekuk tubuhnya. Aku muak sekali. Jika takdir mempermainkanku seperti ini, biarlah untuk malam ini aku menikmatinya.
💕💕💕💕💕
Kembali kami terdampar. Dalam sebuah kamar hotel yang sengaja ku bayar dengan harga tinggi. Gadis itu ketakutan, ayolah, bukankah kau sudah terbiasa seperti ini? Tidak sulit bukan untuk melayaniku.
"Mas, jangan seperti ini," dia memohon. Ck, munafik bukan?
"Kenapa? Bukankah sudah ku bilang, berapapun tarif yang kau minta pasti ku berikan," jawabku dengan tatapan nyalang.
Gadis itu mencoba kabur. Entah, setan apa yang sudah merasukiku. Aku menarik tangannya kasar. Kemudian dengan cepat mengunci kamar hotel.
Dia meronta, mengerang sakit karena cengkeraman tanganku yang kuat.
"Kenapa? Sakit?!" Aku semakin menghimpit. Mengunci tubuhnya di antara dua tangan. Ia tersudut di dinding.
Kedua matanya menunjukkan ia tertekan. Takut, juga sakit. Wajahnya yang putih semakin pucat. Kedua pipinya banjir dengan air mata.
"Aku sakit Mas! Jangan sentuh," dia menahan gerakan tanganku yang perlahan meraih penutup kepalanya. Seketika tangan ini gemetar. Aku hampir saja melanggar batasan agama.
"Aku, a ... aku kena HIV, Mas," ucapnya lagi terbata.
"Mas tahu kan, pekerjaanku apa, Aku nggak mau, Mas Devan tertular," jelasnya lagi.
"Aaaaaarrrrggghhhh!" Aku berteriak. Meninju dinding kamar hotel yang bercat putih. Semakin frustasi.
Diam
Suasana menjadi hening. Sesekali terdengar suaranya sesenggukan, Ia apakah berkata jujur?
💕💕💕💕💕
"Hanya orang bodoh yang mau melukai dirinya sendiri," ucap Nayla setelah ia menyendok es cream miliknya.
Kami berdamai. Setelah aku mengaku salah dan meminta maaf atas ketidak sopananku tadi. Hanya saja, ia tak mau memandang ke arahku. Membuatku seperti di acuhkan.
"Baiklah, demi argumenmu itu, anggap saja aku orang yang bodoh," jawabku menanggapi.
"Jangan menjadi orang bodoh, Mas!" Ia menatap tajam.
Aku, bahkan tidak yakin dengan apa yang ia katakan tadi di kamar hotel.
"Kamu, seperti bukan perempuan seperti itu," ucapku akhirnya.
Ia berhenti menyendok. Menatapku lekat-lekat. Kedua bola matanya itu, manik coklatnya mengatakan bahwa aku benar. Dia bukan perempuan penghibur.
"Mas Devan sok tahu," ia membuang pandang.
"Jadi, bagaimana kesepakatan berikutnya?" Tanyanya kemudian.
"Tak perlu lagi, terakhir besok. Emm, anggaplah terakhir hari ini," pungkasku.
"Tapi, Mamah mas Devan?"
"Gampang, bisa ku atur sendiri," jawabku acuh.
Aku melihat guratan wajahnya. Jelas sekali kekecewaan tergambar di sana. Dia tidak pandai menyembunyikan perasaan. Senang sekali menikmati ekspresinya itu.
Ku selipkan earphone di kedua telinga. Memutar lagu demi menjaga degub jantung agar tak terlalu fokus padanya. Sesekali menyesap kopi yang tersaji di atas meja. Meski pandangan kami terkadang bertemu, selalu saja ia yang lebih dulu mengalihkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments