Mulai Memimpikannya

"Bruakkkk! Plak! Plak!!" Ayah terus menghujamiku dengan pukulan dan tamparan. Benar-benar sudah tak punya hati.

"Ayolah, kemana saja selama ini? Apa kabar perempuan simpananmu itu? Adakah kabar baik dia bisa memberiku adik baru? Hah?!" Aku semakin memancing emosinya.

"Kurang ajar!!" Dia meninju perutku lagi dan membuat semakin tersungkur.

Aku mencoba berdiri. Mengusap sudut bibir yang berdarah. Rasa nyeri dan panas di muka tak kupedulikan. Semoga rencanaku ini tidak sia-sia.

"Berfikirlah sebelum bertindak, Kau lihat kamera cctv di atas sana?" Aku menunjuk ke salah satu sudut ruang tamu. Seketika mimik mukanya menjadi tegang.

Aku memang sengaja memasang beberapa kamera cctv di dalam dan di luar rumah. Mamah yang pernah mempunyai riwayat sakit jiwa, membuatku harus ekstra dalam pengawasan. Meski kata dokter mamah dinyatakan sembuh total. Tetap saja, yang namanya kemungkinan itu bisa terjadi. Setidaknya dengan begitu aku tenang jika harus meninggalkan mamah di rumah sendirian.

Ayah mengepalkan tangan kanannya. Dadanya naik turun, menahan gejolak amarah yang harus di sudahi.

"Ck, payah!" Aku menghardik. Sorot mata ayah semakin tajam. Rahangnya mengeras, ia masih geram.

"Setelah bangkrut bukannya interopeksi diri. Malah seperti ini!" Aku menyindir. Ayah sudah lama kehilangan wibawanya di depanku.

Sudah kubilang, Allah tak pernah tidur. Dalam sekejap saja, Dia bisa membalikkan keadaan hambanya. Yang di atas bisa dengan cepat terjungkal ke bawah.

"Mana surat-surat itu!" teriak Ayah lantang.

Ck, dasar lelaki tak tau diri. Aku tersenyum sinis menanggapinya. Dia masih saja serakah. Sepertinya belum menyadari, bahwa itu bukan haknya lagi.

"Surat apa? Itu bukan hakmu lagi! Rumah itu juga sudah kujual. Itu milik Mamah!" Sungutku kesal.

"Bohong!"

"Apanya yang bohong?"

"Ah, sudahlah! Awas saja kalian, Aku akan membuat perhitungan setelah ini!" Ayah mengancam. Sorot matanya penuh amarah. Aku puas sekali melihatnya.

"Hahahaha, justeru Aku yang akan membuat perhitungan. Awas kau berani macam-macam! Kulaporkan video kekerasanmu tadi ke polisi!" ucapku sungguh-sungguh. "Biar membusuk di penjara sekalian!" Tambahku lagi.

"Kau!" Ia menunjuk mukaku. Aku menepis kesal. Kemudian berjalan pongah meninggalkannya.

Dia tanpa ku perintah, dengan perasaan malu, bergegas pergi meninggalkan rumah. Kenapa juga dia bisa sampai di sini? Ah biarlah, awas saja kalau dia berani mengganggu mamah lagi. Sungguh, sedikitpun aku tak punya rasa sayang padanya. Kebekuan dalam hati membuatku jadi seperti ini. Meski dia ayahku sendiri.

Kepalaku mendadak pening, kumpulan kunang-kunang seolah beterbangan di depanku. Pusing mendera, tubuhku lemas dan kemudian semua menjadi gelap.

💕💕💕💕💕

"Kenapa seperti ini, Mas?" Suara lembut Nayla memberiku sedikit ketenangan. Jemari tangannya menempelkan es batu yang berbalut kain, menekan perlahan ke bagian mukaku yang lebam.

"Sakit," lirihku.

"Maaf."

"Sudahlah. Oh, yah, terkait tadi, Kamu nggak perlu tahu" ujarku menanggapi.

"Iyah," jawabnya.

Suasana menjadi hening. Dia masih berkutat dengan bagian wajahku yang lebam. Keadaan seperti ini, kembali membuatku dejavu. Teringat masa lalu.

Aku memperhatikan wajah Nayla yang cantik. Dia, kenapa harus menjadi perempuan penghibur? Ah, andai saja.

"Kenapa, Mas?" Nayla mendongak. Menatap lekat ke arahku yang sedikit gugup. Apakah ia merasa jika dari tadi aku memperhatikan?

"Enggak!" Sanggahku memalingkan pandangan. Di saat seperti ini, mamah malah menyuruh Nayla yang mengobati. Apa dia tidak tahu, aku sungguh tersiksa menahan debaran dalam dada. Kenapa juga debaran itu hadir kepada gadis seperti ini.

"Mamah dimana?" tanyaku.

"Ada, lagi pada ngumpul di depan," jawabnya.

"Kenapa malah kita berdua di sini?" Aku bertanya terkejut. Baru menyadari jika kami memang hanya berdua di sini.

"Di suruh sama Mamah Mas Devan."

"Terus?" Aku bertanya. Ia kembalu meletakkan es batu ke dalam baskom. Kemudian duduk di samping ranjangku.

"Apanya yang terus?" Dia balik bertanya. Hadeh, apa dia tidak risih berada di sini berdua saja denganku?

Oh, iyah, aku lupa. Dengan siapa aku berbicara. Sudah pasti dia tidak risih. Terbiasa berganti lelaki. Mendadak ada perasaan itu lagi, jijik. Selalu saja begitu setiap kali mengingatnya.

"Nggak sopan masuk kamar lelaki seperti ini, kita bukan mahrom!" Aku menasehatinya.

"Iyah, Aku tahu," jawabnya.

Tahu gitu, tapi tetep aja anteng di sini. Aku mendengkus kesal dalam hati.

"Mas ngusir Aku?" Ia bertanya. Ya Tuhan, gadis ini benar-benar.

"Enggak, harusnya nggak boleh begini. Ini tidak benar. Berduaan dengan yang bukan mahrom." Aku mencoba berhati-hati menasehati.

Ia mengangguk-angguk paham. Halah, wong batasannya sendiri saja dia langgar. Apalagi hal sepele seperti ini.

"Aku, nggak ngerti soal agama," suaranya bergetar. Kulihat kedua tangannya meremas lutut sendiri.

"Makanya ngaji, Aku juga masih belajar, kok," ucapku menyemangati.

Nayla merunduk semakin dalam, ia tidak berani memandang ke arahku. Bisa kutebak, pasti kedua matanya sudah berkaca-kaca.

💕💕💕💕💕

Keluarga besar sudah berkumpul sejak bada maghrib tadi. Ada keluarga Uwa, keluarga Bibi, ada juga beberapa sepupu yang hadir. Tapi tak kulihat Bagas di sekitar sini.

Topik yang mereka bicarakan selalu berulang. Tentang dimana aku dan Nayla bertemu. Tentang keluarga gadis itu. Tentang latar belakangnya. Semua identitas akan dirinya.

Selebihnya, obrolan garing yang biasa melebar kemana-mana. Termasuk pembahasan insiden tadi sore. Saat Ayah menyerangku di dalam rumah.

Mereka berspekulasi sendiri. Kenapa Ayah bisa sampai tiba di sini. Tau alamatku dari mana, kapan datang, juga spekulasi-spekulasi lain yang mereka wacanakan. Wah persis seperti acara gosip di stasiun televisi. Masing-masing punya argumen sendiri.

Aku tak banyak berkomentar. Hanya tersenyum menanggapi. Sesekali menahan rasa sakit yang masih mendera di sekitar muka. Juga terkadang, memandang Nayla yang tengah berbaur dengan Bibi, Uwa, juga Mamah di atas sofa. Mereka tertawa bahagia. Membicarakan hal-hal yang sama, sesekali Nayla tersipu malu. Semakin meronalah kedua pipinya yang putih. Andai saja ini bukan sebuah sandiwara. Dan gadis itu, ah, sudahlah. Bahkan kini perasaanku, ikut mengkhayal terlalu jauh.

💕💕💕💕💕

"Terima kasih, Nay," ucapku sebelum ia melenggang pergi. Aku melipat kedua tangan di dada, menyandarkan punggung di badan mobil. Mengamati gadis itu lekat-lekat. Ia kemudian tersenyum seraya berucap, "sama-sama."

"Boleh aku antar sampai rumah?" Tawarku. Sebenarnya juga penasaran, karena sampai sejauh ini aku belum pernah melihat rumahnya.

"Enggak!" Ia menolak tegas.

"Mas Devan, cepetan pulang, gih!" Ucapnya lagi memerintah. Hey, tumben dia menyuruh-nyuruh. Biasanya juga aku pergi setelah ia menghilang di ujung Gang.

"Ok!" Aku memberinya jempol lalu kembali masuk ke dalam mobil. Mesin menyala, membawa semakin jauh bayangan gadis itu.

Dari kaca spion aku melihatnya, ia masih tak bergeming, terpaku di atas tempatnya berdiri. Sampai akhirnya pantulan gadis itu semakin mengecil, dan kedua mataku terbelalak saat tiba-tiba saja melihat dua orang lelaki menyeretnya pergi.

Tanpa berfikir panjang aku membanting setir, memutar balik ketempat Nayla berdiri tadi.

Kosong. Gadis itu sudah menghilang. Tapi, pandanganku tadi tidak salah, dia sedang tidak baik-baik saja. Ada yang menyeretnya. Tapi dimana?

Aku membuka pintu mobil. Berjalan keluar dengan tergesa. Berkeliling sekitar, mencari dimana gadis itu berada.

Sepi juga remang-remang. Penerangan hanya ku dapat dari cahaya bulan juga pantulan bintang-bintang.

Suara gaduh mulai terdengar saat aku berjalan menyisir sebuah bangunan pos ronda.

Mataku terbelalak dengan mulut yang menganga. Demi apa yang telah kulihat.

"Hiyaaaaaaaa! Bruaaakkkkh!" Aku memukul punggung seseorang dari belakang. Dengan sebilah kayu yang kudapat saat menyisir jalan tadi.

Pemilik punggung itu berbalik, menatapku nyalang. Sedangkan di sudut ruangan tampak Nayla dengan ekspresi ketakutan, juga pakaian yang berantakan.

Dia lalu bangkit berdiri. Berlari sambil sesenggukan menghampiriku. Dia kemudian bersembunyi di belakang punggungku.

"Hey anak muda, kau ini jangan ikut campur lah!" Salah satu dari mereka membentak.

Aku kenal wajah itu. Dua wajah yang mengawasi, saat Nayla hendak mengakhiri hidupnya kala itu.

"Kalian kurang ajar! Menodai gadis seperti ini!" Aku berteriak lantang. Dengan tetap mengangkat kayu sebagai pertahanan.

"Dia dan keluarganya tuh punya hutang, gak mampu bayar yah bolehlah kita coba-coba, hahahahah!" Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak.

"Berapa?" Aku bertanya.

"Hahahahaha, jangan jadi pahlawan kesiangan kau!"

"Aku tanya berapa hutangnya?"

"Seratus juta!"

Astaga, sebanyak itu? pekikku dalam hati.

"Ok, baiklah. Besok datang ke kantorku. Ambil uangnya. Kita buat perjanjian hitam di atas putih!" Aku menjawab lantang. Juga tanpa beban.

"Awas kalau bohong!" Dia mengancam.

"Tidak masalah, besok datang dan buktikan!" Aku mengendikkan bahu. Kurasakan pegangan tangan Nayla di pinggangku. Aku mengeluarkan selembar kartu nama, memberikan kepada mereka sebagai jaminan. Mereka percaya, lalu tanpa menunggu lama bergegas pergi.

Bisa kurasakan kedua tangan Nayla masih bergetar. Ia pasti sangat ketakutan.

Aku membalik badan, terkejut saat tiba-tiba dia melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.

"Maaf, Mas," Ucapnya sambil tersedu. Ia menangis, membasahi kemejaku dengan banjir air matanya. Aku mengusap kepala Nayla. Mencoba menenangkan gadis itu.

Tak selang berapa lama ia mendongak, menatap lekat ke arahku. Mukanya sembab, pastilah karena telah lama menangis. Andai tadi aku tidak datang. Apa yang akan terjadi kepadanya.

Entah mengapa ada rasa pedih mendera. Aku meraihnya kembali dalam dekapan. Dia sama sekali tak melarang, saat perlahan kedua tanganku menyusuri pipinya yang basah. Mengusap titik-titik air matanya.

Jantungku berdebar, kedekatan kami begitu rapat. Di keremangan malam dengan tak ada siapapun di sini. Hanya aku dan Nayla. Membuat desiran dalam dadaku semakin membuncah.

Aku menangkupkan kedua tanganku di pipi Nayla. Membuat bingkai di sana. Sedetik, dua detik dan ...

"Bruasaaakkk!" Aku tersungkur ke samping ranjang. Kepalaku terjungkal, dengan posisi tepat mencium ubin lantai. Gelagapan. Baru menyadari jika tadi hanyalah sebuah mimpi. Aku mengelap keningku yang ternyata basah.

Astaghfirullah, bahkan aku sudah mulai memimpikannya.

Terpopuler

Comments

Mela Rosmela

Mela Rosmela

hadirooh

2020-04-14

0

Silda delita

Silda delita

aku mprr lagii ka

2020-04-13

0

Sharie Hime

Sharie Hime

dev dev

2020-04-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!