Kepingan Hati

Kepingan Hati

Pandangan Pertama

Devan menetralkan hati, diliriknya gadis itu yang tengah kebingungan sendiri. Lalu dengan sedikit garis senyuman, ia bergumam pelan. Bahkan nyaris tak terdengar, "cantik."

Ia lalu tanpa membuang waktu, langsung mengambil kesempatan. Untuk tebar pesona, pada gadis yang masih ketakutan di sampingnya.

"Devan," Ia mengulurkan tangan sambil memasang muka semanis mungkin.

Gadis itu masih diam seribu bahasa, pias di mimik wajah belum hilang sepenuhnya.

"Oh, ayolah, kamu masih ragu ini mobilku?" tanya Devan memastikan.

Kemudian diambilnya sebuah dompet kulit dalam saku celana, mengeluarkan sebuah kartu di dalamnya.

"Nah liat baik-baik, ini foto sama orangnya, sama kan?" Di tunjuknya muka sendiri dengan telunjuk tangan kanan, bergantian dengan kartu yang ternyata adalah sebuah SIM.

"I...iyah, maaf," gadis itu menjawab gugup, sembari kedua tangannya memilin kerudung hitam yang ia kenakan.

"Ya, ya, ya." Kembali Devan memasukkan kartu ke dalam dompetnya. Lalu menyandarkan punggungnya di kursi mobil.

"Jadi, mbak cantik namanya siapa?" Ia menoleh ke arah gadis itu, saat kedua matanya bersitatap. Devan mengerlingkan sebelah matanya genit.

Gadis itu terhenyak kaget.

"Astaghfirullah, Mas godain saya?" ujarnya kemudian.

Devan mengernyit, baru kali ini kerlingan matanya di tolak gadis. Biasanya gadis-gadis yang ia beri kedipan mata, mengulum senyum sendiri di bibir. Malu. Tapi reaksi yang gadis ini berikan sangat berbeda, dan itu membuatnya semakin tertantang. Sejauh mana gadis ini mampu menolak pesona yang ditebarnya.

Oke, jurus kedua!

Ia melepas sabuk pengamannya sendiri, lalu memajukan muka, menatap lekat kedua mata gadis itu.

"Kalau emang ngegoda kenapa?"

"Plakk!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devan

"Kamu jangan kurang ajar, yah!" teriak gadis itu sembari menatap Devan nyalang.

Belum sempat tangan itu kembali dari pipi Devan, ia dengan sigap mencengkeram pergelangan gadis itu. Bekas tamparan yang meninggalkan rasa panas, bukan menyisakan rasa sakit, melainkan membuat Devan semakin tertarik.

Dengan jarak yang sangat dekat, ia bisa melihat kepanikan di paras gadis itu. Begitu natural, tapi tetap cantik.

Terkadang ada satu wajah yang terlihat sangat cantik meski tanpa riasan apapun.

Dan kepanikannya membuat Devan semakin gemas.

"Lepasin! kita bukan mahram!!" Sekuat tenaga gadis itu berontak. Berbagai cara ia lakukan agar terlepas dari cengkeraman Devan, bahkan dengan cara yang cukup extrim.

"Arrrrgggghhhhh, kamu gila yah!"

Tanpa di sangka, gadis itu menggigit punggung tangan Devan dengan sangat keras.

Devan meringis, ia mengerang kesakitan.

* * * * *

Gadis bermata jeli, bulu mata lentik dan kedua alisnya yang tersusun rapi, hidung mungil dengan bibir yang tipis.

Pias wajah ketakutannya kian terbayang di benak Devan, entah kenapa membuatnya semakin terlihat cantik.

Wajah itu, ekspresi nya itu. Semakin terbayang kala kedua mata Devan terpejam.

Devan memandang langit-langit kamar rumah singgah, di manapun Devan memandang. Wajah gadis cantik itu selalu terbayang.

Ia lalu tersenyum kala mengingat gadis itu bersyahadat, atau kala ia ber istighfar karena godaan Devan.

Godaan dan pesona yang ditebar ternyata sama sekali tidak mempan. Gadis itu terang-terangan menolaknya. Bahkan sempat menceramahinya sepanjang perjalanan kembali ke Desa.

"Asal mas tahu yah, kita nggak boleh berduaan kayak gini! bukan mahram tau! juga gak ada urusan bersama. Jadi berdosa kalo seperti ini!"

"Berarti mbaknya berdosa juga dong, kan berduaan sama saya." Devan menarik turunkan alis. Dengan masih menatap menggoda.

"Kan, Mas yang maksa saya masuk! Mas yang nyulik saya, awas saja nanti saya laporin sama pak Kades!"

"Laporin apa?"

"Masnya nyulik saya,"

"Ada saksi nggak?"

Gadis itu diam.

"Kalo tadi mbaknya nggak teriak maling, saya juga nggak akan panik!kalo saya digebukin massa gimana?mbak mau tanggung jawab?" tanyanya sambil fokus memandang jalanan di depan.

"Lagian nih yah, mana ada orang nyulik dibalikin lagi, hahahaha." Devan tertawa renyah, gadis itu kemudian malu dengan tingkah konyolnya yang sempat menuduh Devan maling.

Keduanya lalu terdiam. Seperti sedang berkutat dengan fikiran masing-masing.

Meski tak dimunafikkan, keduanya sama-sama menyadari. Ada debar-debar yang menggema di dalam dada.

Gadis itu berusaha menutupi. Selain menjaga kehormatan dirinya, ia juga tidak berani berfikir lebih jauh. Karena faham dengan norma-norma agama yang ia percaya. Tak boleh menjalin hubungan lebih antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Kecuali untuk hal pernikahan.

* * * * *

"Ngelamun aja, Bro," hardik Beni kala melihat Devan senyam-senyum sendiri.

"Ahahahaha, kayaknya lagi kesambet tuh si Devan. Udah dua hari bengong, ngelamun mulu," Rudi menimpali.

"Apaan sih." Dilemparnya kedua temannya itu dengan kacang kulit yang tergeletak tak jauh dari tempat Devan berbaring.

"Lagi naksir cewek, yah?" Beni mendekat. Ia duduk tepat di samping ranjang Devan.

"Nggak, lah."

"Tapi kodenya sih kayak yang lagi lope lope," Goda Beni lagi.

"Berisik." Devan menutup muka dengan bantal. melipat kedua tangannya di atas perut. Memilih tidur daripada meladeni Beni.

"Lagi naksir Rani kan?" Beni berbisik tepat di dekat telinga Devan.

Devan lalu menarik bantal, sebuah nama yang belum ia dengar dari sederet gadis-gadis yang di kenalnya, mampu membuatnya penasaran.

"Rani siapa?"

"Gadis yang waktu itu di dalem mobil."

Devan mengernyit, apa ia melupakan sesuatu?

"Dia di rumah pak Kades, cepet samperin," ujar Beni lagi.

Devan masih belum mengerti maksud yang dikatakan Beni.

"Nuraeni Maharani, cucu pemilik rumah singgah ini. Baru keluar mesantren, delapan belas tahun, bro!" papar Beni panjang lebar

Devan tersenyum simpul. Ia lalu ingat, Beni memang paling bisa di andalkan.

"Thanks, Bro." Devan lalu menyambar jaket hoodie dan menggunakannya. Sebelum beranjak pergi, tak lupa ia menyelipkan selembar kertas bermawar merah pada Beni.

* * * * *

Gadis berkerudung hijau muda, dengan gamis ungu terong berada di deretan kursi paling depan. Tubuh mungilnya terlihat paling kecil di antara kebanyakan gadis yang lain. Pakaian tertutup yang ia gunakan, menunjukkan ciri khas tersendiri. Ia tampak berbeda.

Devan lupa, jika beberapa temannya sedang melakukan penyuluhan program di rumah pak kades hari ini. Dan sebagian besar peserta berasal dari desa Ambengan. Yang salah satunya adalah Rani.

Kesempatan untuk bisa kembali bertemu. Sejak kejadian di mobil itu, Devan tak pernah lagi menjumpai Rani di masjid.

Ah ternyata Beni lebih peka dengan masalah Devan. Sekali lagi ia berterima kasih dalam hati, Beni memang bisa di andalkan.

* * * * *

"Rani!" seru Devan ketika melihat gadis itu berjalan berlawanan.

Langkah kaki Rani terhenti, kedua matanya mengamati sosok laki-laki di depannya. Tangan kanan diselipkan ke saku jaket, sedangkan tangan satunya membuka kupluk jaket penutup kepala.

Rani terhenyak, demi melihat wajah yang tampak setelah kupluk itu dibuka. Wajah yang sangat di kenalnya.

Ia lalu kembali melangkah, bersikap acuh dan tidak mempedulikan Devan yang terus memanggil-manggil namanya.

Devan mengejar, kini mereka berjalan beriringan.

"Maaf," ucap Devan.

Rani tak bergeming, ia fokus berjalan.

"Oh, hey! Maaf," kembali Devan mengulang.

Rani semakin cepat berjalan.

"Apakah aku sebegitu kotornya sampai maaf aja nggak di kasih?"

Kali ini Devan setengah berteriak, tepat di depan gadis itu ia membalik badan. Menatap lurus ke arah Rani.

"Apa kalian, yang pakai pakaian tertutup begini menjadikan kalian sombong?" tanya Devan sekaligus menyindir.

Rani menghela nafas, ia lalu menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Sudah dimaafkan, dan tolong jangan ganggu aku lagi," ucap Rani tanpa sedikitpun memandang Devan. Ia belajar untuk menjaga pandangan.

Ia lalu mengambil langkah ke kiri, menyimpang dari arah Devan menghadang.

Tak putus asa, Devan mengekorinya dari belakang.

Risih, merasa di ikuti. Rani kemudian berbalik sebelum masuk halaman rumah mbah Kakungnya.

"Masnya jangan ngikutin terus," hardik Rani.

"Yee geer banget, mau ke Malika, Iyah Malika, Hey!" Devan melambai, memandang gadis yang tengah menyapu halaman. Malika tersenyum, lalu menyambut lambaian tangannya.

Devan tidak menyangka, jika dikemudian hari akan ada beberapa hati yang terlibat. Dan pengharapan yang berlebihan, membuat hati yang terbakar bisa menjadi gelap mata. Dan kemudian mampu menghancurkan.

* * * * *

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!