Menantu Mamah

Sebelum berangkat, aku memastikan dulu kondisi Mamah akan baik-baik saja selama aku ada di surabaya. Bibi dan Uwa mengatakan, mereka akan bergantian membesuk Mamah di rumah sakit.

Bagas sudah memberiku izin selama sebulan untuk tidak ke toko. Jadi semua pekerjaan di pegang kendali olehnya. Aku hanya memantau perkembangan via online saja. Alhamdulillah, Allah memberikan segala kemudahannya sampai sejauh ini.

Kuambil gawai di atas nakas. Ingin menghubungi Beni, semoga dia bisa menjemputku. Selain itu, dia sudah banyak membantu. Si Putih ada bersamanya. Dia sengaja mengambil dari pegadaian agar tak sampai lepas dari jangkauanku. Ah, manusia terkadang bisa begitu berubah. Dia yang dulu sangat main-main dalam hidup, ternyata bisa menjadi sangat serius dalam rentang waktu yang cukup lama. Bisa kurasakan pula perbedaan dalam diriku. Kini aku telah berubah. Beni, meski dia berubah. Tetap saja, selalu bisa di andalkan.

Kusiapkan barang keperluanku. Pakaian juga makanan ringan untuk sekadar camilan di kereta. Tak lupa dompet, gawai, juga laptop ku masukkan. Koperku kini terisi penuh.

Aku menghela nafas berat. Perjalanan panjang akan segera di mulai.

* * * * *

Langkahku mantap, berjalan tegak di antara kerumunan orang. Aku tak boleh terlihat rapuh di mata lelaki ******* itu. Lihat saja, kelak akan kutunjukkan padanya. Aku dan Mamah bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bisa melangkah beriringan walau duri dan semak belukar merintang. Tujuanku ke Surabaya harus tercapai. Permainan hati, cukuplah sampai di detik ini. Rani, mungkin kau akan terkejut saat melihatku. Tapi biarlah, bukankah kau bahagia bersama lelaki pilihanmu.

[Ben, udah nyampe nih. Posisi dimana?]

"Hay, bro!" Seseorang menepuk punggungku dari belakang.

"Beni?" Aku menepuknya kembali. Dia bahkan baru saja kukirim pesan, belum sempat centang biru dia sudah menghampiri duluan.

"Ayolah," dia meraihku dalam pelukan. Pelukan hangat dari seorang sahabat. Ah, aku sedikit terharu.

"Lepasin, bro! Ntar dikira kita sesama lagi, hiiiy!" Aku melepas pelukan Beni.

"Ooppss, sorry, hahahaha."

* * * * *

Kembali bersama si putih membuatku semakin bersemangat. Meski ada sebaris kenangan manis bersamanya, tetap saja sesak dalam dada turut serta.

"Bawalah, bayar sebisa mungkin. Tak perlu khawatir, ok?" Ucapan Beni sebelum kami berpisah membuatku sumringah. Kau memang bisa di andalkan. Kembali aku terharu.

* * * * *

Rumah megah bercat putih. Di kelilingi pagar besi setinggi satu meter. Tidak ada satpam yang menjaga. Dari depan tampak taman bunga kecil dengan dua bangku taman serta kolam ikan yang cantik. Kembali kaki ini berpijak di depan rumah lelaki sialan itu. Aku tak boleh tampak lemah di depannya. Mamah, aku akan berjuang atas hakmu. Hak yang direnggut paksa darimu. Harus bisa memasang tampang semanis mungkin, agar pria itu tak sedikitpun curiga.

Mobil putih menepi, disusul langkahku yang berjalan membuka pagar. Ayah sedang tidak dirumah. Bisa kupastikan Mas Rahman dan gadisku itu, eh salah, iparku itu akan terkejut melihatku.

Kupencet bel berkali-kali. Kenapa lama sekali mereka membuka pintu. Mungkinkah mereka sedang memadu kasih. Ah, sialan! rasa sakit itu belum juga hilang.

Aku memainkan kakiku di depan pintu. Masih memandangi sekitaran rumah. Tak banyak yang berubah. Hanya bunga-bunga dan ikan saja yang jumlahnya semakin bertambah.

"Krieeettt," Suara pintu terbuka. Kulihat mas Rahman tersenyum sumringah menyambutku. Dia memang baik. Kenapa bisa seorang perempuan penggoda melahirkan lelaki sebaik ini. Dia tak tahu menahu seluk-beluk ibunya selama ini. Ck, aku mendengkus kesal dalam hati.

Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Aku kembali berbincang dengan mas Rahman. Tertawa bersama, sekadar basa-basi setelah lama tak berjumpa. Sedikitpun aku tak menyimpan dendam atau benci padanya. Hanya saja, mungkin rasa cemburu. Cemburu yang semakin membakar, setelah melihat gadisku membawa nampan berisi air minum.

Dia memandangku lama, terkejut tak menyangka. Bahkan kulihat kedua matanya mulai berembun. Sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan ruangan. Menghambur ke dalam kamarnya. Menikmati rasa yang entah. Karena aku pun seolah merasakannya. Sebaris senyum kuberikan, sebelum akhirnya dia menghilang.

* * * * *

Suasana terasa canggung. Bisa kulihat ekspresi orang-orang di depanku saat ini.

Berkali pria itu membenarkan posisi duduk. Sedangkan perempuannya diam saja, tak sedikitpun keluar suara.

Rani tak berani memandang. Ia menunduk bahkan saat sedang makan. Oh ayolah, aku seperti sedang melihat wajah-wajah orang pesakitan.

"Ehm...," Ayah mendehem cukup keras. Berhasil mengambil perhatian semua orang di meja makan.

"Jadi, gimana perjalanan tadi kesini?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. Halah, basi!

"Biasa, Yah. Mana ada sih kereta macet," pungkasku sambil mengangkat tangan.

"Ibu sudah kangen banget sama Devan." Perempuan itu mencoba ikut bersuara. Sial, harus bisa mengendalikan kondisi hati yang begitu sangat membencinya. Kalau saja boleh, ingin mencakar atau mencekik lehernya biar ****** seketika.

"Oh yah?" tanyaku setelah mengatur emosi dalam dada.

"Lho, iyah tho, setahun lebih nggak ketemu."

Malas meladeninya. Bukankah mereka bahagia di atas penderitaanku dan Mamah selama ini?

"Kirain udah pada LUPA!" nada terakhir sengaja kutunggikan satu oktaf.

Semua saling pandang. Puas menikmati ekspresi orang-orang di depanku ini. Mereka mungkin takut jika aku bicara lebih banyak.

"Ah, sudahlah. Cuman bercanda. Tak perlu seserius itu, hahahaha," Aku tertawa, menertawakan kebingungan Rani dan mas Rahman. Yang tak tahu menahu perihal yang kubicarakan.

"Udah ada calon, belum?" Mas Rahman mengacak rambutku berantakan.

"Eits, jangan gitu tho, Mas." Kutampik kasar tangan mas Rahman. Hanya dua orang yang boleh memegang kepalaku. Mamah juga Isteriku kelak.

"Dibilang ada, tapi nggak ada. Dibilang nggak ada, tapi ternyata ada," ucapku sambil menatap lekat ke arah Rani. Dia balik memandang, masih bisa kulihat. Dia juga merasakan hal yang sama. Hati itu, belum benar berpindah.

"Lha, maksudnya piye tho?" tanya mas Rahman lagi.

Aku menggeleng dan tersenyum simpul, setelah sadar telah lama saling pandang dengan Rani.

* * * * *

Pagi ini aku sengaja bangun terlambat. Setelah shalat subuh aku memilih tidur lagi. Lelah di perjalanan kemarin baru sekarang terasa.

Masih dengan keadaan acak-acakan dan baju sisa kemarin. Aku bergegas menuju dapur, rasa haus ditenggorokan menuntut untuk dibasahi.

Kuperhatikan setiap sudut-sudut rumah. Tempat sebesar ini dibeli dari hasil keringat mamahku juga. Tapi dengan wanita lain kau menikmatinya! Kembali hatiku terasa sakit.

Sepi, tak kudengar suara orang di rumah. Mungkin sudah pergi bekerja. Dan perempuan itu, paling juga ke salon atau bersama teman-teman sosialitanya. Dasar orang baru kaya! umpatku lagi dalam hati.

Kudengar suara berisik dari arah dapur. Suara air mengalir, juga suara orang sedang memasak. Kuintip dari balik pintu dapur.

Degh,

Rani sedang memasak disana? sendirian?

Meski sudah berusaha mengendalikan hati, tapi sesak ini tak kunjung juga pergi.

"Ehm..." aku berdehem mencoba mengalihkan perhatiannya. Kulihat ia terhentak kaget. Kuberanikan diri mencoba mendekat ke arahnya.

"Lagi masak?" tanyaku kaku. Sial, kenapa jadi canggung begini.

Dia menoleh. Aku memberinya sebaris senyuman hangat. Dia memandangku, lama, bahkan tanpa berkedip. Kulihat manik hitam itu, menelisik kedalamannya. Mencari jawaban apakah dia sedang merasakan hal yang sama sepertiku?

"Hey" aku menjentikkan jari jemari. Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Eh, iyah! Lagi masak," jawabnya terbata. Ingin sekali kubertanya. Rani, apa kabarmu? Rani apa kau baik-baik saja? Rani, aku rindu.

"Maaf,,," Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Mendadak semua tercekat di tenggorokan.

Dia diam, mengacuhkanku. Bahkan kembali berkutat dengan pekerjaannya.

"Maaf," ucapku lagi.

"Untuk apa?" suaranya bergetar. Dia seperti ingin menangis.

"Maaf, sudah terlambat datang." Aku mencoba sejajar berdiri di sampingnya.

"Ck!"

"Maaf."

"Sudahlah, nggak penting," ia mendengkus kesal.

"Sungguh, aku menyesal, Rani. Pliss dengerin dulu penjelasanku!" ternyata dugaanku benar, selama ini ia salah faham denganku.

"Nggak perlu ada penjelasan. Lagian yang lalu sudah berakhir. Tak ada hubungan lagi di antara kita. Yang ada hanyalah sebatas IPAR!" Rani menjerit, suaranya masih saja bergetar.

Tidak bisa, terserah apapun yang terjadi nanti. Setidaknya dia harus tau kebenarannya.

"Tapi, bagiku masih penting." Aku meraih kedua pundaknya. Membalik kasar, mendekatkan mukaku padanya. Melihat kedua bola mata itu, menelusuri setiap inci wajahnya. Paras indah itu harusnya milikku! Rani milikku! Pandanganku nyalang, hatiku terbakar, membayangkan orang lain menikmati wajah itu. Cengkeramanku semakin erat. Dia gemetaran, kedua matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa kau takut? Raniku belum berubah, masih ada rasa di sana."

* * * * *

Sudah berkali kumencoba, mencari berkas-berkas yang Ayah sembunyikan. Bahkan laci kamarnya tak ada satupun yang berisi surat-surat.

Aku mengacak rambut kasar. Bingung, aku harus bagaimana? sangat sulit mencari surat rumah itu. Juga deposit Mamah yang telah Ayah bekukan sebelumnya. Atau, mungkin sudah di pindah tangan? Argghhh, kepalaku terasa mau pecah!

"Dddrrrtttttttt drrrrrtttt..." gawai bergetar. Kulirik sekilas, ada nama Rani tertera di sana. Bukan sebuah pesan atau panggilan. Melainkan pengingat, jika malam ini usianya telah bertambah.

Entahlah, setiap aku mengingatnya, yang ada hanya rasa sakit. Tapi saat memandangnya, justeru itu obat yang mujarab. Bagaimana mungkin hati bisa seperti ini.

Kulihat cincin dalam genggaman. Mamah, maafkan jika ternyata aku tak bisa membawanya padamu. Hatiku sangat menginginkannya, tapi bukankah merebut milik orang lain itu juga menyakitkan? meninggalkan luka yang teramat dalam? jika mamah saja di khianati pasangan hingga seperti ini, lantas apa aku tega mengambil yang bukan milikku? apa bedanya aku dengan pria sialan itu!

Tesss... sebuah titik air menetes dari sudut mataku.

Duhai, kenapa aku seperti ini. Urusan hati mengapa begitu rumit. Semuanya harus berakhir. Cukup sampai disini.

* * * * *

Aku mengendap pelan. Mengikuti langkah Rani masuk ke dalam dapur. Dia belum juga menyadari, jika aku menguntitnya meski lewat tengah malam seperti ini.

"Hmmmppph," Aku membekap mulutnya. Merengkuh tubuh Rani dari belakang. Memeluk erat hingga lupa bahwa telah melanggar batas-batas agama. Biarkan, untuk sekali ini saja. Dan untuk terakhir kalinya. Sebelum kukubur semua tentangnya.

"Kenapa kau seperti ini? kenapa kau tidak bisa menungguku sedikit saja lebih lama? kenapa kau tak membalas setiap surat-suratku?Kenapa..." Suaraku parau, dadaku sesak, berusaha untuk tak lagi mengungkitnya, berusaha ikhlas atas kebahagiaannya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi, ikhlas. Aku akan belajar ikhlas." Ucapku untuk yang terakhir kalinya. Tak lupa kuselipkan cincin pemberian Mamah.

* * * * *

Dari bawah anak tangga kumelihat. Dia dan suaminya sangatlah bahagia. Izinkanku mengubur semua, rasa cinta milikmu yang tak berhasil kugenggam. Aku akan belajar ikhlas, bukankah itu inti permata nurani? sebab keikhlasan adalah nilai yang paling tinggi. Aku tersenyum sekilas, karena dengan sedikit senyuman akan dapat menyembunyikan begitu banyak rasa sakit.

"Mamah, dia telah menjadi menantumu. Meski bukan dari darah dagingmu."

Terpopuler

Comments

Fitri Nurzanah

Fitri Nurzanah

ibu c Rahma nikah m bapak y Devan
sedangkan c Rahma nikah m pacar y c Devan
juga kalo gitu ibu m ank sama aja bahagia d atas
derita org tapi mereka mlh bahagia g adil
emang buat c Devan moga Devan dapat ganti perempuan yg lebih baik

2020-05-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!