Derap langkahnya terdengar menjauh. Aku tanpa sadar, luruh jatuh di depan pintu kulkas. Tersedu, menikmati gejolak dalam dada yang bergemuruh.
Menangis dalam diam. Sakit di hati tercabik begitu dalam.
Rasa haus yang tak kunjung dibasahi, mendadak hilang. Berganti dengan rasa yang entahlah, sulit untuk digambarkan.
"Dia, bahkan ingat dengan ulang tahunku." Aku membungkam mulutku dengan kedua tangan sendiri. Setelah menyadari, ada sepasang mata sedang menatapku penuh curiga.
"Rani?"
"Mas Rahman?" Aku menelan saliva. Apa tadi dia melihatku bersama Devan? Batinku khawatir.
Mas Rahman tergesa menghampiriku. Ia lalu membantu berdiri.
"Kamu kenapa?" Tanyanya khawatir.
"A...aku, haus, Mas," jawabku setengah terbata.
"Kok nangis?" Ia memandang lekat ke dua mataku. Kemudian mengusap sisa air yang tertinggal.
"Mas, huhuhu..." aku meraih pinggul mas Rahman. Memeluknya erat, membenamkan muka di kedua dadanya yang bidang. Menangis sejadi-jadinya.
"Dek, kamu kenapa?" Kudengar suaranya sedikit panik.
Aku tak peduli. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah ketenangan darinya.
"Ada apa, dek? Tenang yah, mas selalu ada buat adek," ucapnya mencoba menenangkanku. Bisa kurasakan jemari mas Rahman mengusap-usap punggungku.
Ia lalu melepaskan pelukan. Mendudukkanku di kursi dapur. Mengambilkan segelas air, untuk kemudian ku teguk sampai habis.
Ia menyeret kursi, membaliknya dan duduk menghadapku.
"Kenapa nggak ngebangunin mas?" Tanyanya dengan masih memandang lekat.
"Tadi tidurnya lelap banget, mau bangunin tapi nggak tega," ucapku lirih.
"Ouh nggak tega?" Ia menarik hidungku gemas.
"Udah yuk, balik lagi ke kamar." ajak mas Rahman seraya menarik tanganku.
"Nanti, mas." Tolakku halus.
"Emang kenapa? Masih haus?" Tanyanya memastikan.
"Enggak, ehm... tapi kesemutan," ujarku sambil mengusap betis kanan. Setidaknya menunggu beberapa menit dulu agar bisa kembali berjalan.
Ia lalu celingukan. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Seolah mencari sesuatu. Apa ada maling? Tanyaku dalam hati.
Mas Rahman kemudian menundukkan kepalanya. Mengulurkan tangan kiri di bawah lutut ku. Selanjutnya tangan kanan meraih punggung.
"Mau apa, mas?" Tanyaku panik.
"Jangan berisik," ucapnya pelan.
Hah? Dia menggendongku?
"Mas, turunin. Kalo ada yang liat gimana!" Ujarku sambil menengok kiri kanan. Takut kalau ada yang melihat.
"Emang siapa yang mau liat malam-malam gini?" Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman.
"Pegangan, biar nggak jatuh." Perintahnya kemudian.
Aku melingkarkan kedua tangan di leher mas Rahman. Mengamati ekspresinya menggendongku. Lucu juga.
Suamiku ini, meski sebulan lebih telah menikah. Masih bisa kudengar degup jantungnya yang berdetak tak beraturan.
"Keliatannya kecil, tapi kok yah berat juga," ujarnya meledek sambil terus berjalan.
"Ish, kangmas!" Aku menepuk pundak belakangnya. Apa aku gendutan?
"Kangmas?" Ia berhenti, kedua alisnya beradu. Saling bertaut seperti sepasang kekasih yang melepas rindu.
"Boleh juga," ucapnya lagi. Kemudian mendekatkan mukanya padaku. Sangat dekat dan mencuri sesuatu disana.
"Mas!" Aku mengerjap, dia masih saja, senang dengan yang namanya tiba-tiba.
"Kan sudah halal." Ia kembali berjalan. Menatap lurus ke depan dan tersenyum menang.
Saat kami di puncak tangga. Dari balik punggung mas Rahman, aku melihat Devan berdiri mendongak ke atas. Memandang lurus kepadaku. Dengan memberi satu garis senyuman.
"Udah turun disini aja, mas." Pintaku begitu kami sampai di depan pintu.
"Ceklek." Mas Rahman membukanya, tak menggubris ucapanku. Dia lalu memandang lekat. Kemudian berbisik, "Dek, mas kangen."
"Ehh..."
* * * * *
Hari berlanjut di iringi berbagai kesibukan yang memadat. Dia, benar menjaga ucapannya. Tak pernah lagi menggangguku, bahkan terkesan cuek jika tanpa sengaja bertemu. Meski ada perasaan lega, tapi juga ada sedikit sungkan padanya.
"Hufft..."
Hari ini aku mengurung diri di kamar. Karena Ibu mertua sedang pergi, ditambah di rumah hanya tinggal berdua dengan Devan.
Aku tak ingin munafik, saat berdua saja dengannya, masih terasa ada desiran halus dalam dada. Meski dia tak lagi menggangguku. Tapi yang namanya hati, entahlah. Mungkin karena dulu aku terlalu mengharap lebih.
Senyumannya tadi pagi. Saat ia di bawah anak tangga dan melihatku bersama mas Rahman. Entah mengapa membuat hatiku tercubit, sakit.
"Aaaargh!" Aku menutup muka dengan bantal. Seharian berbaring di kamar saja, rasanya lumayan membosankan.
Mas Rahman juga, kalau sudah bekerja jarang sekali mengirimiku pesan. Terkadang ada sisi dimana seorang istri sangat butuh diperhatikan. Meski hanya sebaris pesan.
Mencoba terpejam, tapi masih jam sembilan pagi. Gelisah, ingin shalat dhuha tapi tamuku datang sejak jam enam pagi tadi.
Akhirnya aku beringsut menuruni ranjang. Berjalan santai menghampiri laci meja rias. Teringat sebuah benda yang belum juga kubuka. Benda pemberian Devan.
Entah mengapa, perhatian kecil seperti ini saja membuatku selalu terbayang. Dan hati ini, seolah kembali memberi pengharapan lebih. Sungguh tidak sinkron antara hati dan pikiran!
Ku amati benda di tanganku ini. Sebuah kotak kecil dengan balutan kain berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat pita emas yang melingkar.
"Benda ini." Pikiranku menerawang, teringat akan sesuatu. Ingin membukanya, tapi ada perasaan takut juga.
Takut jika kemudian memori lama kembali teringat. Tapi, ini juga hadiah.
Buka?
Enggak?
Buka?
Enggak?
Buka!
"Ctak," sebuah benda mungil berkilau di sana. Cincin emas dengan ukiran hati sepasang, bermata putih di setiap pinggiran.
Cincin ini, pemberian mamah Devan yang dulu sempat kutolak. Kembali ada rasa sakit yang mendera.
Memori melesat pada empat tahun silam. Di sebuah ruangan, ada mbah kakung, Devan, dan juga kedua orang tuanya. Saat itu mereka menjadi saksi ucapan Devan. Jika ia serius ingin menjalin hubungan denganku.
"Aku belum siap," kataku mencoba menolak meski hati berkata ingin menerima. Ah, munafiknya aku!
Tampak gurat kecewa di wajah Mamah Devan.
"Nikahi aku setelah selesai kuliah nanti. Dan mas Devan sudah lebih sedikit dewasa." Aku mencoba berkompromi. Bukan menjalin hubungan.
"Cincin ini, nanti yah kalau benar sudah mau nikah." Ucapku pada mamah Devan.
Pemuda itu tersenyum girang. Bahkan ia lupa bahwa kondisi badannya belum benar pulih. Kenangan itu, sempat membuatku terbang melayang. Andai dulu tak melibatkan hati, mungkin tak sampai sesakit ini.
Aku kembali terisak.
"Kenapa kau tidak pernah membalas surat-suratku?" Suara Devan kembali terngiang.
Surat? Surat yang mana? Aku mengusap kedua mataku yang basah.
"Bukannya kamu yang nggak ngasih penjelasan? Setahun lebih nggak ada kabar! Menghilang bagai di telan bumi! Dan kini datang sebagai iparku!!" Aku berteriak menatap cermin. Bayangan wajah Devan terlihat jelas di sana.
Degh,
Otakku kembali berfikir. Apakah aku egois selama ini? Dia juga tak pernah memberi penjelasan kenapa dia menghilang.
"Drrrrttttt...drrrrrtttttt..." gawai bergetar membuyarkan bermacam fikiran.
Kulihat nama ibu yang memanggil.
"Hallo assalamualaykum," sapaku duluan.
"Wa alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab ibu dari seberang.
"Nduk," terdengar suara ibu sedikit terisak.
"Iyah ibu, ada apa?"
"Ibu ada di desa. Rumah bibimu." Jawabnya kembali seperti menahan suara tangis.
"Ibu kenapa menangis?" Aku mulai panik. Hatiku memberi sinyal seperti ada yang tidak beres.
"Bibi sama Malika kecelakaan nduk,"
"Hah, apa? Trus gimana sekarang?"
"Bibi meninggal, Malika kritis di rumah sakit." Suara ibu terbata. Ada serak juga disana.
"Tut...tut...tut..."
"Hallo, ibu.. hallo?"
Tak ada jawaban. Sambungan terputus.
"Mas Rahman, cepatlah pulang."
* * * * *
Mobil fortuner putih milik Devan membelah kegelapan malam. Arus kendaraan yang tidak terlalu padat, membuat mobil melaju begitu mulus tanpa hambatan.
Sesekali kedua mata kami bertemu, dari balik kaca depan kemudi.
Mas Rahman pulang terlambat, katanya dia nanti akan menyusulku kerumah sakit. Tapi aku menolak jika harus berdua dalam mobil dengan Devan. Karena bukan mahram.
Akhirnya rela berangkat malam-malam. Dan mas Rahman terlelap dalam pangkuanku sepanjang perjalanan. Dia kelelahan.
"Kerumah sakit apa langsung ke desa?" Tanya Devan membuka suara.
"Kerumah sakit dulu. Memastikan keadaan Malika." Jawabku seperlunya.
Duhai, kenapa hatiku menjadi begini. Sejak dua tahun terakhir memang aku tak bertemu dengan Malika. Juga ibu tak pernah mengajakku ke rumah mbah Kakung. Setelah Mbah meninggal, sempat terjadi cekcok antar keluarga. Hanya karena harta warisan, saudarapun bisa bermusuhan.
Aku menghela nafas perlahan. Mobil ini membuatku sesak, ada sebaris kenangan yang tersimpan.
Mobil menepi menuju halaman parkir rumah sakit soetomo. Aku langsung menuju resepsionis, meminta informasi terkait kamar inap Malika. Sepanjang jalan mas Rahman menggenggam tanganku. Memberiku semangat agar aku kuat.
Ada sebuah hubungan kasih sayang yang terbentuk karena terbiasa bersama-sama. Aku dan Malika sudah seperti saudara sendiri. Dari kecil kami memang tinggal bersama. Dia sudah kuanggap seperti adik kandung sendiri. Sungguh, aku sangat khawatir padanya. Bagaimana jika dia tau, Bibi telah berpulang? Allah, kuatkanlah dia.
Mas Rahman menemaniku masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Devan, menunggu di bangku depan ruangan.
Bangsal malika terletak di ujung, dia sendirian. Tergolek lemah dengan perban melilit kaki dan kepalanya.
"Malika?" Aku menatapnya. Dia ternyata belum tidur.
"Rani?" Sahutnya tak percaya. Tak lama kemudian tangisnya pecah saat aku tiba di sampingnya.
Aku menoleh ke arah mas Rahman. Dia lalu mengangguk dan berlalu meninggalkan ruangan.
"Rani, ibu? Ibu...?" Suaranya terbata. Ia masih dengan tangisnya. Semakin terdengar pilu juga tidak tega.
Aku mencoba menenangkan. Lama ia tergugu. Sampai akhirnya dia terlelap dalam tangisan. Malika, sungguh malang. Dalam kondisi seperti ini, tak satupun sodara di desa yang mau menemaninya. Sibuk mengurus pemakaman bibi. Dan acara hari-hari setelahnya. Kadang aku merasa heran, mereka yang ditmpa kehilangan harus mengeluarkan banyak uang untuk sekedar kirim doa bagi sang mayit. Berhari-hari sampai akhirnya meninggalkan hutang. Sedih, miris, tapi mereka menganggapnya sebagai tradisi. Oh, ayolah harusnya yang kehilangan yang butuh di beri banyak santunan.
Setelah Malika terlelap aku berjalan meninggalkan ruangan. Sepertinya aku harus menginap sampai ada saudara yang meggantikan.
Kulihat mas Rahman sedang tiduran di bangku tunggu. Sedangkan Devan, berdiri bersandar dinding rumah sakit. Ia memasang headset di kedua telinganya. Sesekali mengusap layar gawai.
"Mas," panggilku pada mas Rahman. Dia gelagapan. Seperti seorang maling yang ketahuan.
"Iyah, kenapa dek?" Tanyanya.
"Aku nginep disini dulu yah, Malika sendirian. Kasihan." Ucapku meminta izin.
"Tapi, besok mas harus berangkat pagi-pagi." Jawabnya tidak enak.
"Nggak papa, Mas pulang dulu yah sama Devan. Besok kesini lagi," tawarku.
Mas Rahman menoleh ke arah Devan, lelaki itu masih saja sibuk dengan gawainya.
"Kenapa, Mas?" Tanyanya polos. Ish, pura-pura ketusku dalam hati.
"Mas mau minta tolong, Devan anterin mas pulang. Terus balik kesini nemenin mbak Rani." Terang mas Rahman.
Hah?
"Mas!" Aku sedikit membentak. Bagaimana mungkin mas Rahman menyuruh Devan menemaniku. Mendingan juga sendiri.
"Nggak usah ih, aku sendiri aja yah," rengekku meyakinkan.
"Dek," panggilnya seraya meraih genggaman tanganku.
"Mas nggak mau Rani disini sendirian. Toh Devan juga sodara Mas. Mas percaya dia bisa jagain Rani."
Degh
Kenapa mendadak aku takut mas Rahman pergi. Dan kalimatnya, mengapa juga harus seperti itu. Seolah hendak pergi jauh.
"Besok pulang kerja, mas janji langsung kesini," ucapnya kemudian mengelus puncak hijabku pelan.
Aku mengangguk pasrah. Bagaimanapun aku juga tidak bisa meninggalkan Malika. Bagaimana kalau besok dokter yang meriksa datang nanyain keluarganya.
"Setuju, Van?" Tanya mas Rahman pada Devan. Sepertinya dari tadi juga dia menyimak.
Ia lalu menggabungkan telunjuk juga jempolnya. Membentuk bulatan sempurna.
"Ok!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Mela Rosmela
hatikuuu..
2020-04-13
0