Rasa panas dan perih masih dominan di sekitar mukaku. Ku amati pantulan cermin yang terpasang di dinding. Lebam membiru terlihat jelas. Di sudut kanan bibir, pelipis kiri, juga pipiku. Ayah, kenapa bisa begitu kejam. Padahal aku putra kandungnya sendiri. Sampai hati memukulku hingga babak belur begini. Dia, semakin terlihat sangat menyedihkan. Bukannya meminta maaf pada mamah. Tapi malah mencoba, merebut kembali apa yang bukan menjadi haknya. Semelarat apa dirimu sekarang?
"Drrrrrttttt," getaran gawai di atas nakas membuatku seketika tersadar. Bergegas aku segera mengambilnya. Siapa tahu ada pesan dari Nayla, eh, kenapa justeru malah teringat dia. Dasar aneh. Aku menggeleng-gelengkan kepala sendiri.
Tertera sebuah nama di layar gawai. Ali, salah satu teman kajianku. Aku menarik seutas garis senyuman. Rindu sekali rasanya. Terakhir bertemu teman-teman kajian sebulan yang lalu.
"Assalamualaykum," ucapku memberi salam.
"Wa alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab Ali dari seberang.
"Ada apa, Akhi?" Tanyaku.
"Antum, lusa ada acara nggak?" Dia balik bertanya. Aku berfikir sejenak, adakah agenda untuk dua hari ke depan nanti.
"Inshaa Allah kosong sore mah, tapi paginya sih biasa, Khi. Jadwal ke toko," jawabku. "Ada apa yah?" Tanyaku lagi, penasaran.
"Inshaa Allah, lusa Ana mau nikah. Pagi akad, siang sampai sorenya undangan walimah."
"Mashaa Allah, gak ada angin, gak ada hujan tau-tau udah sebar undangan gini," jawabku senang.
"Hahahaha, Antum mah bisa aja." Terdengar suara Ali tertawa di seberang sana. "Jangan lupa datang, yah?" Imbuhnya.
"Inshaa Allah."
💕💕💕💕💕
Detak jam di dinding beradu dengan langkah kaki. Entah berapa lama aku berjalan mondar-mandir mencari kunci mobil. Meja kamar bahkan sudah ku bongkar. Tapi kosong, tak ada kunci si putih di sana. Depan tivi, rak buku, celana sisa kemarin, sofa, kolong kasur. Semua sudah ku telusuri. Hasilnya tetap saja sama, kosong.
Kenapa juga aku bisa lupa menyimpan. Sudah hampir jam delapan dan aku masih belum berangkat juga. Mencari kunci sendiri tanpa bantuan mamah, kok yah makin pusing. Biasanya perempuan tuaku itu gesit, cepat menemukan barang yang biasa kucari. Termasuk kunci. Tapi mamah sejak jam enam pagi sudah berpesan mau ke rumah bibi. Di tambah tak membangunkanku terlebih dulu sebelum dia pergi. Ah, aku juga teledor. Selepas shalat subuh kembali tidur. Mana mimpi aneh lagi. Astaga, teringat kembali jadinya. Aku harus segera menemukan kunci! Kunci!
Lima belas menit sudah berlalu. Aku menyerah, karena bunyi jam dinding sudah mengingatkan tepat jam delapan. Menimbang perjalanan ke toko, jika arus sedang tidak macet bisa memakan waktu setengah jam. Bagaimana kalau macet? Kondisi jalanan kota Bandung yang tak pernah sepi. Pastilah aku terlambat ke toko hari ini.
[Gas, maaf euy, hari ini datang telat.] Aku mengirim pesan kepada Bagas. Kemudian menyambar jaket, juga masker penutup wajah. Aku akan berangkat dengan motor saja hari ini. Jarang-jarang bukan seperti ini.
💕💕💕💕💕
Aku sengaja tak membuka masker begitu tiba di toko. Karena lebam-lebam di muka masih jelas terlihat, aku tak ingin menimbulkan berbagai praduga dari karyawan.
"Pagi, Pak!" Sapa Bayu begitu melihatku datang. Aku mengangkat tangan sebelah. Menjawab sapaannya. Apanya yang pagi, udah hanpir tengah hari begini.
Aku langsung berjalan menuju kantor Bagas. Bagaimanapun juga, dia adalah atasanku. Setidaknya, aku berniat meminta maaf karena telat. Telat yang teramat sangat. Karena beberapa kali harus mengalami insiden di jalan raya. Motor mogok gak mau jalan. Terpaksa dorong sampai bengkel. Itupun antrinya sekian jam. Begitu sampai di pertigaan mau ke arah toko, mendadak saja ban ikutan bocor. Walah, apes!
Langkahku tertahan saat hendak membuka pintu kantor Bagas. Gagang pintu bergerak, pastilah ada yang hendak keluar dari dalam sana. Aku mundur selangkah.
"Ceklek!" Bagas muncul dari balik daun pintu. Ia terperanjat saat melihatku tepat di hadapannya.
"Lho, ngapain, Van?" tanyanya.
"Sorry euy, telat banget," ujarku sambil mengulurkan tangan, menyalaminya.
"Kamu gak baca pesanku? Balik pulang, gih!" titahnya.
"Kok pulang?"
"Iyah, Mamah udah cerita kok. Hari ini libur aja dulu, tuh muka masih bengkak gitu!" Ia menunjuk pelipis ku.
"Udah, nggak papa kok," selaku.
"Jangan gini ah, kayak sama siapa aja, udah, balik sekarang. Istirahat dulu," ujarnya lagi. "Lusa harus ganteng lagi, ada pemotretan produk baru," tambahnya.
Astaga, Bagas juga menyadari bahwa aku ganteng. Bikin makin kepedean aja.
💕💕💕💕💕
Mengendarai sepeda motor di siang hari, rasanya sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan mengendarai mobil. Debu juga asap sangat kental terasa. Belum lagi terik matahari yang menyengat. Untung saja aku menggunakan jaket juga celana panjang. Setidaknya melindungi kulit dari sengatan matahari yang sedang terik-teriknya.
Sepanjang jalan pikiranku melayang-layang. Terbayang wajah Nayla dalam mimpi yang terasa begitu nyata. Setelah pertemuan bersama keluarga kemarin, aku tak lagi menyuruhnya untuk datang ke rumah. Selain mamah tak memintanya, aku juga mencoba menghindar. Karena setiap ada dia, rasanya ada sejenis perasaan yang menginginkan lebih. Tapi, entahlah. Aku tak ingin semakin terjebak dalam perasaan.
Hatiku berkata ingin segera pulang. Merebahkan punggung juga mengoles salep di mukaku yang lebam. Agar saat sesi pemotretan nanti luka-luka ini tak terlihat alias samar. Tapi, motorku justeru membawaku berlainan arah. Menelusuri gang, yang biasa Nayla menghilang saat aku mengantarnya pulang. Astaga, aku kenapa jadi tidak sinkron begini.
Motorku melaju pelan, memasuki sebuah gang yang lumayan sempit. Aku penasaran di mana gadis itu tinggal. Juga kegiatan apa yang biasa ia lakukan saat siang hari begini.
Sepanjang jalan tampak kiri kanan berjajar rapi rumah-rumah warga. Ada beberapa perempuan yang sedang berkumpul, pastilah sedang menggosipkan tetangga yang lainnya. Ada pula anak-anak kecil yang bermain di luar. Tertawa riang, bermain bersama sekawanan. Suasana kampung begitu terasa.
Apa yang ku cari tak juga kunjung ku dapatkan. Gadis itu tak tampak batang hidungnya. Di ujung gang ini ternyata jalan buntu. Mungkinkah dia sedang tidur siang. Ah, bodohnya aku, kenapa juga sibuk mencari-cari dia. Seperti sedang kurang kerjaan saja.
Aku memutar balik motor. Kembali hendak berjalan keluar gang. Tapi kemudian, aku berhenti saat melihat dari kejauhan. Dia yang kucari, berjalan tergesa dari sebuah rumah. Membawa beberapa susun piring di kedua tangannya.
Aku melihat rumah itu. Yang kupikir adalah rumah Nayla. Bangunan semi permanen, juga paling kecil di antara bangunan rumah yang sempat kulihat-lihat tadi selama menelusuri gang.
Aku mengikutinya dari belakang. Tentunya dengan jarak yang tidak terlalu dekat, juga tidak terlalu jauh. Semoga dia tidak menyadari, bahwa aku berada di sini.
💕💕💕💕💕
"Bungkus weh," seruku dengan mencoba menekan suara. Semoga dia tidak mengenalinya.
"Sabaraha, A?" Ia bertanya.
Aku mengangkat dua jari. Sebagai kode bahwa aku memesan dua. Iyah, di sinilah aku sekarang. Berpura-pura sebagai pembelinya. Setelah benar-benar menutupi identitas diri. Dengan masker, topi, juga jaket yang di tarik hingga ke atas leher. Akhirnya, dia tidak sadar juga. Bahwa pembeli ini adalah aku.
Dia sungguh tampak berbeda. Pakaian yang dikenakan biasa saja, tak sama seperti saat aku membawanya ke rumah. Bahkan saat ini, terkesan pakaiannya begitu lusuh. Tapi tak menghilangkan aura kecantikan alaminya. Dan satu lagi yang membuatku tergelitik, ia masih menggunakan kerudungnya. Ku kira saat kerumahku saja ia benar menutup auratnya.
Nayla, si penjual batagor. Masih sempatnya dia berdagang. Bukankah uang dariku sudah banyak? juga dari hasil menjual diri, harusnya ia tak payah bersusah begini. Kenapa tampak kontras sekali. Ataukah dia menyembunyikan pekerjaannya dari keluarganya selama ini? Astaga, kenapa aku yang jadi berfikir macam-macam. Juga semakin penasaran.
💕💕💕💕💕
"Tumben beli batagor, Van?" tanya mamah saat kami sedang berada di meja makan.
"Pengen aja," jawabku asal.
"Besok masih libur kan?" tanyanya lagi.
"Kenapa, Mah?" tanyaku sambil menyuap batagor ke dalam mulut. Enak.
"Kamu ini gimana, lusa katanya mau ada undangan walimah?"
"Oh, itu. Iyah, nanti pulang dari toko Devan mau langsung ke sana." Jawabku gamblang.
"Mamah nggak di ajak?"
"Mamah mau ikut? Nggak usah lah, Mah. Ini pernikahan sederhana kok," ucapku.
Diam
Hening
Lalu keluar argumen mamah. Dan berujung aku yang mengalah. Ya Tuhan, mamah selalu bisa memaksaku. Tapi tak masalah, asal dia bahagia.
💕💕💕💕💕
Terjebak di dalam sebuah butik. Seolah menjadi pesakitan, dengan tentengan belanja di tangan kiri dan kanan. Pagi ini, Mamah memintaku menemaninya belanja di butik langganan. Katanya mau beli seragam buat ke walimahan Ali. Sekalian beli kado buat kedua mempelai nanti. Mamah juga memaksa mengajak Nayla, katanya dia juga harus ikut. Astaga, menikah saja belum.
Perasaan dari tadi sudah mengelilingi butik berkali-kali. Menuju tempat yang sama juga pilihan baju yang itu-itu saja. Kakiku rasanya mau lepas. Entahlah, kenapa perempuan bisa betah berlama-lama di tempat seperti ini. Meski sudah berputar dan mengelilingi berkali-kali. Tetap aja mereka tak kunjung menyudahinya.
Akhirnya aku manut dan pasrah. Padahal Bagas memberiku izin agar bisa istirahat. Tapi, mamah justeru memanfaatkan situasi. Aku bisa apa?
💕💕💕💕💕
"Mamah sama Nay duluan yah, tuh di seberang jalan rumah makan langganan!" Mamah menunjuk seberang jalan. Aku menatap sekilas. Ada banner yang terpampang di sana. Soto Surabaya Haji Karim. Langganan mamah setiap kali aku mengantarnya ke butik.
"Oke, hati-hati menyebrangnya," jawabku sambil memasukkan belanjaan ke dalam mobil.
Mamah tersenyum, kemudian berjalan cepat menggenggam tangan Nayla. Ah, pemandangan itu, kenapa aku menjadi terharu. Seperti dia benar calon isteriku.
Aku menatap lekat punggung Nayla yang semakin jauh melangkah. Dia kenapa bisa berubah-rubah. Adakah ia berkepribadian ganda? Untuk saat ini, tak tampak sama sekali bahwa dia perempuan penghibur. Bahkan selama ia berbicara bersama mamah, ia layaknya gadis pada umumnya. Sopan juga lembut. Lalu saat kemarin ku saksikan sebagai penjual batagor. Dia tampak sangat sederhana. Dengan pakaian yang ala kadarnya. Lalu, saat dulu dia frustasi bahkan hampir bunuh diri. Dia bahkan tak menutup auratnya. Dan di club malam itu, ah, entahlah. Aku bingung memikirkannya. Setidaknya, untuk saat ini, dia bisa melakukan sandiwaranya dengan baik.
Aku tersenyum sendiri, kemudian berjalan perlahan mengikuti langkah mamah dan Nayla yang sudah jauh di depan.
Detik berikutnya, mendadak saja mukaku kebas. Aku terkesiap. Mendengar suara decit rem yang melengking nyaring. Lalu suara hantaman benda terdengar keras. Nafasku tersengal, sekejap berlari menuju tempat kejadian.
Nayla, Mamah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments