Rumah Sakit

Berkali kumelirik gawai, sudah jam satu malam tapi tak satupun pesan masuk dari mas Rahman. Apakah dia sudah tidur? Tapi kenapa tidak memberi kabar begitu tiba dirumah? Perasaanku juga mendadak gelisah. Kenapa aku merasa mas Rahman kurang perhatian dalam hal komunikasi.

Kulihat sekeliling ruangan. Sedikit merinding karena memang ini sudah lewat tengah malam. Bersyukur karena setidaknya ruangan ini tidak terlalu sepi, ada beberapa pasien dan penunggu yang masih terjaga.

Mataku terasa berat, tapi jika tidur dengan posisi duduk, aku tidak terbiasa dengan hal itu.

Kenapa juga lupa tidak membawa alas tikar untuk sekedar rebahan di bawah. Akhirnya aku mencoba tidur di atas kursi saja, dengan melipat kedua tangan di bangsal Malika. Menundukkan kepala, mencoba terpejam di antara kedua tangan.

Tapi, belum lama kedua mata terpejam. Kurasa semua isi dalam ruangan seolah berputar. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera, di susul mual entah apa sebabnya. Aku kembali mengambil posisi duduk sempurna, memijit dahi perlahan. Berharap rasa pusing sedikit menghilang.

"Krrrrieeeeet," terdengar pintu ruangan terbuka. Aku menoleh, mendapati Devan berjalan dari sana.

Ia masih dengan ciri khasnya. Memakai jaket tebal berwarna coklat dengan penutup di kepalanya. Tak lupa headset terpasang di kedua telinga. Entah, lagu apa yang sedang di putarnya. Dia juga membawa sesuatu, sebuah kresek hitam yang cukup besar.

Kulihat Malika masih terlelap. Mungkin karena pengaruh obat, dia tidak terbangun sama sekali.

Devan memandangku sekilas. Begitu datar tanpa ekspresi. Ia lalu tanpa meminta izin, mengamparkan sebuah kasur lantai di samping bawah bangsal Malika. Juga mengeluarkan beberapa lembar selimut dan sebuah bantal. Ia melakukannya sendiri, dengan masih tanpa bersuara.

"Beres," ucapnya setelah selesai merapikan.

"Tidurlah, aku menunggu di luar." Ucapnya lagi tanpa melirik atau memandang ke arahku. Dia berubah menjadi sangat dingin.

"Terima kasih."

* * * * *

Terpisah jarak dan waktu ternyata meninggalkan rasa rindu yang berjejak dalam hati. Meski baru semalam tak bertemu dengan mas Rahman, rasanya gelisah ini berkepanjangan.

[Mas, udah berangkat?] Ku kirim pesan pada mas Rahman lewat aplikasi berwarna hijau di gawaiku. Sudah jam tujuh, pasti udah nyampe kantor suamiku itu.

[Udah dek.] Kulihat pesan balasan dari mas Rahman.

Kenapa cuman gini doang, ish!

Kesal!

Mas Rahman selalu saja begitu. Tidak dirumah atau di rumah sakit. Kalau sudah bekerja selalu saja abai memberi kabar, sekadar basa-basi gitu kan bisa! Gerutuku dalam hati.

Karena ruangan Malika sedang dibersihkan. Jadi semua penunggu di minta untuk meningalkan ruangan. Perutku juga sudah melilit, meronta minta di penuhi haknya.

Akhirnya aku memilih terdampar saja di sini, di kantin rumah sakit bersama Devan.

Menghabiskan semangkuk soto ayam. Dengan sambal dan jeruk nipis yang melimpah. Selain lapar, soto memang makanan favoritku. Ditambah kondisi sedang datang bulan seperti ini. Yang namanya sambal, seolah menjadi penetral situasi.

"Mau nambah?"

"Hah?"

"Iyah, mau nambah nggak?" Suara lelaki di depanku ini mulai sedikit ditekan.

Aku hampir saja lupa. Bahwa Devan juga ikut bersamaku. Kukira ia tidak memperhatikan. Bukankah sedari tadi ia sibuk dengan laptopnya.

"Nggak, udah kenyang." Jawabku singkat.

"Oh, ok!" Sahutnya juga tak kalah singkat.

Dia secepat itukah berubah. Tidak lagi mengganggu rasanya ada yang kurang.

Kulihat dia kembali sibuk dengan laptopnya. mengacuhkanku lagi. Dan menjadi sangat dingin.

* * * * *

Aku dan Devan berjalan beriringan. Dia lebih dulu melangkah di depanku. Mengamati punggungnya berjalan, seperti ada rasa yang kembali berdesir. Ia ternyata benar berubah. Bukan lagi Devan yang ku kenal seperti dulu. Dia sudah dewasa.

Membangun bisnis sendiri dari angka nol. Berupa toko online dan offline yang sudah memiliki cabang. Dia, bahkan cara berfikirnya pun sudah sangat matang. Aku meski hanya melihatnya sekilas. Tapi ada perasaan kagum padanya saat ini.

Tadi secara tidak sengaja, saat ia pamit ke kamar mandi. Aku sengaja melihat-lihat layar laptopnya. Penasaran dengan kegiatan apa saja yang di lakoninnya selama ini. Kenapa ia begitu sibuk dengan gawai juga laptopnya.

Benarlah, mengapa ia memberiku cincin kenangan itu. Dia memenuhi janjinya. Dan tepat di saat semua sudah terlambat.

Devan...

Devan...

Devan...

Bisakah kau mendengar suara hatiku?

Deg,

Langkahnya terhenti. Nyaris saja kepalaku terbentur dengan punggungnya. Ia kemudian berbalik. Menatapku lekat, ada tatapan kecewa disana.

"Raniiiiiii!!" Suara seseorang berteriak memanggilku. Tepat ketika aku dan Devan hendak memasuki pintu utama rumah sakit. Devan kemudian mengambil jalan berlawanan. Ada sedikit rasa sakit, saat ia berjalan melewatiku.

"Mas Rahman?" Tanyaku kaget bebarengan dengan langkah Devan yang bergerak menjauh.

Aku masih terperangah. Melihat mas Rahman datang menghampiri dengan sebuah bucket bunga mawar putih di tangannya. Apakah dia tidak bekerja?

"Kejutan," ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku. Kedua matanya berbinar, seperti bahagia melihatku terperangah tak percaya. Dia berhasil mengejutkanku.

"Mas nggak kerja?" Tanyaku seketika. Bukankah hari ini dia harus berangkat pagi-pagi ke kantor?

"Mas ambil cuti dua hari. Biar bisa nemenin Rani disini." Papar mas Rahman dengan masih memberi senyuman.

Aku mengangguk memahami. Dia lalu memberikan bucket bunga mawar putih kepadaku.

"Lho, yang sakit kan Malika. Kok ngasihnya ke aku?" tanyaku heran.

"Mas emang ngasih buat Rani kok." Jawabnya singkat.

Apa ini tanda sebagai hadiah ulang tahunku?Kenapa sekarang baru di kasih? artinya mas Rahman ngasih hadiahnya terlambat.

"Kenapa?nggak suka?" Ia mengernyitkan dahi. Mungkin melihat gurat kecewa di wajahku.

"Enggak mas, cuman kenapa telat. Dan harus di sini. Ini kan rumah sakit." Jawabku masih kecewa.

Kenapa tidak seperti Devan yang memberiku pas tanggalnya. Dia juga ngasih cincin, mas Rahman kenapa cuman bunga aja. Rutukku dalam hati, membandingkan antara Devan dengan mas Rahman.

"Dek, apanya yang telat?" suara mas Rahman membuyarkan lamunanku.

"Astaghfirullah, iyah mas, enggak kok. Iyah makasih banyak bunganya." Ucapku sambil memberikan senyum termanis yang aku punya.

Kadang kebaikan yang banyak bisa terlupakan hanya karena sedikit kesalahan.

* * * * *

Aku bersama mas Rahman masuk ke dalam ruangan Malika. Sedangkan Devan, ia pulang ke rumah. Ada keperluan mendadak katanya.

Oke, artinya untuk dua hari kedepan aku hanya akan ditemani mas Rahman.

"Dia siapa?" Malika menunjuk ke arah mas Rahman begitu kami tiba di dalam.

"Oh, ini suamiku. Namanya mas Rahman." Aku memperkenalkan.

Mas Rahman memberi senyum. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada sebagai pengganti salam.

Malika menatap ragu. Seperti tidak percaya aku telah menikah.

"Mbak Rani beneran udah menikah?" Tanyanya lagi masih tidak percaya.

"Iyah. Bukannya udah di undang yah sekeluarga? Tapi ngga ada yang dateng. Padahal pada nungguin." Ujarku lirih. Mengingatnya juga kembali sedih.

"Iyah, maaf. Waktu itu..." suara Malika menggantung.

"Emm, bisa minta waktunya sebentar nggak?" Nanar Malika memandang. Mungkin ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

"Iyah, kenapa?" Tanyaku membolehkan.

"Maaf tapi berdua aja bisa?" Malika memberi kode dengan pipi yang menggembung, menunjuk ke arah mas Rahman.

Aku menatap mas Rahman. Suamiku itu masih juga belum ngeh.

"Oh iyah hehehe." Mas Rahman baru saja menanggapi. Dia pun berlalu pergi keluar ruangan.

"Mbak bener itu suaminya? Ganteng juga yah. Hehehe." Malika terkekeh.

"Hust! Jadi pingin ngobrol berdua cuman buat muji mas Rahman?"

"Bukan mbak, hahahaha." Dia tertawa. Alhamdulillah, akhirnya dia bisa tertawa juga.

"Trus?" Tanyaku mencoba fokus kembali.

"Bisa tidak, hubungan yang sudah rusak kembali di perbaiki?" Pertanyaan yang di ajukan Malika begitu absurd.

"Maksudnya?" Aku mengernyit, bingung.

"Mbak, maafin aku yah." Malika terisak. Ia kenapa tiba-tiba menangis.Aku mengusap punggungnya, harusnya dia tidak banyak berfikir aneh-aneh. Fokus pada kesehatannya dulu.

"Udah jangan mikir macem-macem. Malika kan masih sakit." Ujarku menenangkan.

Ia menggelengkan kepala. Dan tangisannya semakin pecah.

"Harusnya, aku ngasih tau sebelum mbak menikah." Malika mencoba menjelaskan. Sedangkan aku sendiri masih belum faham kemana arah percakapan kami ini.

"Mbak, inget nggak sama mas Devan?" Ia menatap ke arahku. Kukira Malika sudah tau jika pemuda itu sekarang menjadi iparku.

"Dia setahun terakhir ini..."

"Raniiiiii!" Suara teriakan dari luar pintu menghentikan ucapan Malika.

"Mas Devan?" Terbelalak tak percaya. Malika menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Hosh..hosh..hosh!! Mas Rahman, dia... di ugd." Devan ngos-ngosan. Suara terbata dan ekspresi ke panikannya. Seperti memberi firasat buruk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!