"Hosh...hosh..hosh!! Mas Rahman, dia...di ugd." Devan ngos-ngosan. Suara terbata dan ekspresi kepanikannya seperti memberi firasat buruk.
"Mas Rahman, kenapa?" Aku tanpa berfikir panjang melangkahkan kaki keluar. Khawatir dengan keadaan mas Rahman.
Bukankah tadi dia baik-baik saja? Bukankah Devan tadi pamit pulang kerumah?
Ah entahlah, yang terpenting aku bisa memastikan keadaan mas Rahman. Sungguh, aku tak ingin terjadi apa-apa padanya.
Grab!
"Dek," suara seseorang dan tarikan tangannya menghentikanku.
"Mas Rahman?"
"Mau kemana? Kenapa terburu-buru?" Mas Rahman kebingungan. Apalagi aku?
"Mas nggak kenapa-kenapa kan? Mas baik-baik aja kan?" Aku memegang muka mas Rahman. Mengecek suhu badan juga keadaannya.
"Mas nggak kenapa-napa kok. Dari tadi nungguin di sini sambil lihat ikan tuh." Mas Rahman menunjuk kolam kecil di pinggir pintu ruangan Mawar, dimana kamar Malika berada.
"Tadi Devan bilang..." Aku tak bisa lagi berkata-kata. Melihat mas Rahman baik-baik saja. Membuatku sangat bahagia. Dan tanpa sadar memeluk erat suamiku itu di tempat umum. Dengan air mata yang membanjiri kedua pipi.
"Dek, diliatin orang." Mas Rahman mencoba melepaskan pelukan.
"Ada apa dek, katanya tadi mau ngomong penting sama Malika? Kenapa sekarang ditinggal keluar?" Mas Rahman kembali bertanya.
"Tadi kata Devan, mas Rahman di ugd," jawabku singkat.
"Ugd?"
"Iyah ihh ugd."
Mas Rahman bingung. Aku juga bingung. Sepertinya kami butuh penjelasan Devan.
"Tadi mas ketemu sama Devan. Dia balik lagi. katanya ada barang yang ketinggalan."
"Ish, ayo Mas. Aku butuh penjelasan. Maksudnya apa coba!" rutukku kesal. Sambil berjalan tergesa masuk kembali ke ruangan Malika.
Belum juga kami memasuki kamar inap, kulihat Devan berjalan keluar.
"Devan!" Aku berteriak. Bahkan terkesan sedikit membentak. Rasanya ingin mengomel padanya.
"Apa-apaan coba?" Tanyaku penuh emosi. Nyaris saja meledak-ledak jika tidak ditahan tangan mas Rahman.
"Sorry," ucapnya datar sambil melangkah pergi.
What? setelah sempat membuatku nyaris jantungan. Dia cuman bilang sorry? Aku bahkan belum mendapat penjelasan. Dan dia sudah menghilang di balik kerumunan orang yang berjalan.
"Sudah, ayo, dek."
Mas Rahman membukakan pintu. Menyuruhku agar masuk lebih dulu. Dia mengekoriku di belakang.
Kulihat Kedua mata Malika sembab. Sepertinya dia habis menangis. Dia juga diam. Tak lagi membahas yang tadi sempat di sampaikan.
"Mbak," panggilnya pelan.
"Iyah?"
"Maaf."
* * * * *
Terkadang ada sesuatu yang tidak kita ketahui pada masanya akan terkuak dengan sendirinya. Dan terkadang pula, masa lalu yang sudah terkubur tak perlu lagi kembali di buka. Sebab jika sudah menyangkut masalah hati, akan banyak goresan yang terluka.
Hidup itu berjalan ke depan. Bukan mengekor ke belakang. Takdir hidup juga sudah di gariskan. Jika Allah berkehendak, maka itu adalah ketetapan yang terbaik bagi kita.
Beruntung, aku memiliki suami yang senantiasa mengingatkan kebaikan. Meski yang namanya manusia, tak luput pasti ada kesalahan.
Mas Rahman, pria yang Allah gariskan menjadi pendamping hidup. Mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya. Meski semua masih berproses. Apalagi hati yang harus bisa menyesuaikan diri.
Cinta untuk mas Rahman. Semakin tumbuh berkembang bersama benih-benih yang telah tertanam. Ikatan suci pernikahan, tak perlulah runtuh hanya karena godaan mantan.
Pada akhirnya aku tahu, jika dulu Devan mengirimkanku surat. Tapi kemudian tertahan karena ada hati yang terluka di sana. Mbah kakung tanpa sengaja mendengar Devan berucap, jika dia hanya ingin bermain-main denganku. Meski niatnya kemudian tulus tapi Allah telah memberi jalannya sendiri. Hingga surat-surat itu tak pernah sampai ke tanganku.
Lalu jika sudah terkuak apakah akan merubah keadaan? menghancur luluh lantahkan pondasi rumah tangga yang berlandaskan iman, yang dibangun dengan janji suci pernikahan.
Ketahuilah, perselingkuhan hanya akan terjadi jika yang menggoda dan yang tergoda sama-sama dalam kubangan yang sama. Karena itulah mengingat setiap kebaikan pasangan adalah cara terbaik menjaga keutuhan rumah tangga.
* * * * *
"Bundaaa..." suara gadis kecil memecah keheningan malam.
Dia masih saja takut dengan yang namanya kegelapan. Padahal usianya sudah menginjak lima tahun. Dan dari kecil sudah dibiasakan tidur malam dalam keadaan lampu padam.
"Duh, ini anak selalu saja begitu setiap Ayah sama Bundanya lagi duaan," kudengar mas Rahman mengeluh kelakuan putrinya.
Aku beringsut menuruni ranjang, menuju kamar gadisku yang berada di sebelah. Setelah terlebih dahulu membenahi rambut dan pakaian.
"Cinta mau bobok sama Ayah," ujar putri kecilku begitu kubawa masuk kedalam kamar.
"Tapi kan kemaren udah seminggu bobok sama Ayah," mas Rahman mencoba memberi penjelasan.
Cinta masih menggeleng. Ia tak mau pisah dari Ayahnya. Semakin erat memeluk dalam dekapan mas Rahman.
Mas Rahman menatapku seolah memohon bantuan. Tatapannya sendu, berharap aku mau membujuk Cinta agar tidur dikamarnya. Aku meledek, menikmati ekspresinya.
"Mas, perangnya libur dulu yah," Ujarku sambil tertawa jahat pada mas Rahman.
Sepertinya dia kembali frustasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Nur Kholifah
kok tau2 sdh pny anak umur 5 thn ya.
lompatnya jauh bgt
2020-12-31
0