Langit malam tampak cerah, bertabur bintang dengan rembulan pucat yang menggantung di sana.
Dari balik jendela bilik kamar, Devan memandang Rani sedang berdiri di dekat pagar rumah. Menatap ke atas langit. Kedua manik hitam gadis itu, memandang jauh ke dalam kegelapan malam. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Untuk sesaat, Devan merasa sakit di sekujur tubuhnya seketika memudar. Ketika melihat Rani terpejam dengan garis melengkung yang membentuk sabit di bibirnya. Kerudung kuningnya meliuk-liuk di terpa angin malam. Memberi kesan elok bagi siapa yang memandang.
Pemandangan yang indah itu mampu meringankan sedikit rasa sakitnya, setelah dua hari lalu Devan terjatuh, saat ia memanjat pohon mangga di depan rumah singgah.
Karena cedera dan luka serius yang di alaminya cukup parah, ia terpaksa di rawat di rumah Mbah Karjo, yang merupakan dukun pijit sekaligus mbah kakungnya Rani.
Sebenarnya Beni sudah membujuk Devan untuk kembali ke kota. Agar ia mendapat perawatan yang terbaik demi kesembuhannya. Namun Devan menolak. Ia memilih di rawat di rumah mbah Karjo saja. Selain ia bisa lebih dekat mengenal Rani, ia juga lebih nyaman di sini.
Terbayang sudah jika ia kembali ke kota. Kedua orang tuanya yang sama-sama gila bekerja.
* * * * *
"Adudududuh, sakit mbah." Devan merintih, kaki kanannya sedang di urut mbah Karjo.
"Pemuda kota memang jarang dipijit yo, Le?" Tanya si Mbah sambil terus mengurut kaki Devan yang sakit.
Devan meringis menahan sakit. Ia bahkan hampir menangis. Tanpa sadar tangannya yang juga cedera mengepal sendiri. Menepuk-nepuk dinding ruangan bilik mbah Karjo. Dengan kedua mata yang terpejam.
"Sakitiiit, mbah!" Devan memekik, tak tahan rasanya.
"Weleh, orang cuman di pijit dikit aja kok," Mbah karjo kemudian tergelak, ia melihat Devan lucu.
Devan tidak menyadari, di ambang pintu ruangan ada Rani yang sedang menahan senyuman.
"Dasar orang kota," ujar Rani seraya meletakkan air putih di atas meja kecil samping dipan dimana Devan terbaring.
Seketika Devan menoleh ke arah sumber suara.
'Astaga, dia disini. Mana belum mandi, acak-acakan gini, badan bau lagi!' Devan membatin. Ia merasa pesona ketampanannya hilang.
"Assalamualaykum Rani," sapa Devan dengan salam. Ia lalu tersenyum, meski menahan sakit yang teramat sangat.
Rani menoleh, memandang pemuda yang mengucap salam padanya. Keningnya berkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
"Jawab, tho cah ayu," Mbah Karjo mengingatkan Rani.
"Eh, wa alaykumussalam warahmatullah," Jawabnya kemudian berlalu meninggalkan ruangan.
Meski hanya sekedar ucapan salam. Saat kedua pandangan itu bertemu, ada listrik tak kasat mata yang menyetrum di hati keduanya. Mengalirkan desiran halus, yang kemudian berpuncak menjadi debaran. Ibarat magnet yang kekuatannya sama-sama kuat. Kedua sisi itu saling tarik menarik. Menunjukkan sifat alaminya.
"Mbah," seru Devan ketika Rani sudah pergi.
"Iyah?"
"Dia?" Seolah paham, mbah Karjo menoleh fokus ke arah Devan. Di hentikkannya pijitan di kaki yang biru-biru lebam.
"Oh, nak Rani?"
Kikuk, Devan salah tingkah mendapat tatapan dari mbah Karjo.
"Dia cucu mbah dari anak nomer dua," papar si mbah kemudian.
"Orang tuanya?"
"Masih ada, Le. Mereka di Surabaya."
"Surabaya?" Itu artinya satu kota denganku? Sambung Devan dalam hati.
"Iyah, Surabaya. Kedua orang tuanya memilih tinggal di kota, tapi Rani ndak mau ninggalin mbah," ucap lelaki tua itu seraya menyeka sudut-sudut matanya yang mulai berair.
"Dia gadis yang baik," ujar mbah Karjo.
'Tapi galak!' Seru Devan dalam hati.
"Di sini, mbah kesepian Le. Cuman Rani yang nemenin mbah," mbah Karjo mulai menerawang. Lelaki tua itu seperti merasa nyaman, mengobrol berdua dengan Devan.
Dan di sisi yang sama, Devan pun merasakan hal yang sama. Ia nyaman berbincang dengan lelaki sepuh itu. Ia seolah mendapat banyak perhatian, yang tidak ia dapatkan dari kedua orang tuanya.
Mereka lalu tertawa bersama, membahas sesuatu yang lucu. Devan dan mbah Karjo bertukar cerita. Bagaimana kehidupan Devan selama di kota, dan bagaimana pula kehidupan mbah Karjo sebelum ini.
Devan mengangguk memahami. Sedikit banyak ia mendapat informasi, tentang gadis yang selama ini di kaguminya. Rani.
* * * * *
Rumah besar mbah Karjo di isi beberapa orang. Ada mbah Karjo, kedua orang tua Malika yang merupakan bibi dan paman Rani, Bagas sang adik lelaki Malika, Malika dan juga Rani.
Dan kini harus menampung satu orang lagi yaitu Devan. Yang ruangannya sedikit terpisah dari Rumah utama. Berupa satu ruangan seperti kamar yang terbuat dari kayu bambu. Tempat biasa mbah Karjo mengurut warga yang membutuhkan bantuannya.
Rani, gadis yang memilih tinggal untuk merawat mbah Kakungnya. Karena sejauh Devan memperhatikan, kedua orang tua Malika jarang di rumah, keduanya sibuk menggarap ladang dan juga perkebunan. Tak jarang mereka tidur di rumah sewa di areal perkebunan.
Sedangkan Malika, gadis yang sering bangun terlambat. Malas mengerjakan pekerjaan rumah. Kini semakin sering bersolek saat mengetahui Devan di rawat di rumah mbah Kakungnya.
* * * * *
"Mas," suara panggilan lembut membuyarkan lamunan Devan.
"Iyah?" Tanyanya pada gadis yang berdiri di depan pintu bilik ruangan.
"Ini, kata mbah Kakung harus di minum," gadis itu menyodorkan segelas susu berwarna kuning kepada Devan.
"Ini apa, Malika?"
"Itu susu kunyit, Mas. Biar lukanya cepet sembuh dari dalam," terang Malika.
"Oh, iyah. Taruh di atas meja aja. Makasih yah," Devan tersenyum. Membuat gadis itu salah tingkah.
"Tapi, kata mbah Kakung Malika harus liat Mas Devan minum. Harus langsung dihabiskan," ucapnya lagi malu-malu.
"Iyah, tapi," Devan mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Lalu bersandar di dinding ruangan.
"Biar Malika bantu, Mas," sahut Malika cepat.
Lalu meminumkan segelas susu kunyit bercampur madu kepada Devan.
Gadis itu bersemu merah, ada debaran di dalam dadanya yang membuncah. Di satu sisi ia merasa gugup dan di satu sisinya lagi ia merasa senang. Ada dua rasa dalam satu keadaan.
"Glek, huweeekkk..." Devan tersedak. Ia tidak siap menerima cairan yang rasanya aneh itu. Ia memuntahkan ke badannya sendiri. Kedua alisnya bertaut, melipat muka yang merasa tidak nyaman.
"Duh, maaf yah. Aku nggak bisa minum beginian," Nyaris Devan menyembur Malika tadi, beruntung kepalanya langsung menunduk. Susu yang termuntahkan mengenai perban di perutnya.
Sigap Malika menghindar.
"Iyah, Mas nggak papa," ujar Malika seraya mengelap tumpahan susu kunyit di badan Devan.
"Ini harus di ganti perbannya, Malika panggilin mbak Rani dulu," ujarnya kemudian berlalu membawa gelas yang masih tersisa sedikit susu kunyit di dalamnya.
"Rani?artinya bisa berduaan barang sebentar disini," gumam Devan pelan.
Tak selang beberapa saat kemudian, Rani datang dengan beberapa barang di tangannya. Seperti perban, gunting, kapas, cairan pembersih luka juga obat tetes.
"Ehm, maaf Mas." Rani mencoba membangunkan Devan yang sedang tidur sambil bersandar.
Baru juga sebentar Malika keluar dari kamar. Begitu Rani masuk, Devan pura-pura tertidur.
"Mas," panggil Rani lagi. Devan lalu mengerjapkan kedua matanya pelan.
"Maaf, ini perbannya sudah harus diganti," ucap Rani datar. Lalu ia menarik meja kecil agar lebih dekat kepada posisi dia mengganti perban.
Kemudian Rani duduk di pinggir dipan. Saling berhadapan.
"Maaf, tadi saya buka pintunya lebar. Biar ndak timbul fitnah. Jendelanya juga saya buka," kata Rani menjelaskan.
Perlahan ia lalu membuka ikatan perban di tangan Devan. Di susul menguliti perban yang lain di bagian perut dan punggung.
Ia, meski sudah terbiasa membantu mbah Kakungnya merawat orang yang cedera di tempat ini. Tetap saja, ada rasa yang berbeda kala ia harus merawat Devan, sang pemuda kota.
"Rani," ucap Devan lembut. Setelah beberapa menit waktunya ia habiskan menikmati pemandangan di depannya itu. Wajah cantik Rani yang begitu fokus mengerjakan pergantian perban.
"Iyah?" Tanya Rani sambil tetap fokus pada pekerjaannya.
"Nikah, yuk?" Ujar Devan setelah sebelumnya ia mencoba menetralkan debaran di hatinya.
"Hah?" Rani memandang Devan. Kedua alisnya bertaut.
"Iyah, kita Nikah yuk?" Ajak Devan lagi.
Rani tersenyum geli, ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Untuk sejenak tadi ia sempat menghentikan tangannya mengelap bagian tubuh Devan yang luka.
"Perasaan lukanya ndak nyampe kepala, kok yah jadi ngelantur," ujar Rani lalu menyiapkan kapas dan obat tetesnya.
"Aku serius," Devan kembali meyakinkan. Ia tidak sedang bercanda.
"Kamu nggak mau pacaran, kan? Kalo gitu kita nikah, yuk?" Tanya Devan lagi. Mengulang pertanyaan yang sama.
Ia meski sering bermain-main dengan perasaan wanita, tak pernah sampai mengajak kepada hubungan yang lebih serius yakni pernikahan.
"Kamu masih ragu? Atau berfikir masalah pekerjaanku nanti?"
Devan masih saja meyakinkan. Ia tidak sedang bercanda.
"Udah selesai," ujar Rani acuh.
"Apanya?"
"Perbannya."
"Rani, aku serius." Devan setengah berteriak.
"Dih, nikah saja sama yang lain," ketus Rani menanggapi. Ia mengumpulkan bekas perban yang kotor lalu memasukkannya ke kantong kresek warna hitam.
"Rani!"
"Hm."
"Rani!" Devan gemas di acuhkan, sebelum gadis itu pergi. Tangan kirinya meraih tangan Rani.
"Mas," gadis itu mrnghardik. Devan tetap menggenggam.
Keduanya lalu saling pandang. Nafas seakan tercekat, di iringi debar-debar kencang dalam dada.
"Bagaimana mungkin baru kenal saya sebentar, masnya terus-terusan ngajakin nikah, sudah jangan bercanda. Pernikahan bukan buat bahan candaan." Rani menepis kasar tangan Devan. Ia lalu beranjak pergi.
* * * * *
Sekeras apapun Rani mengajarkan hatinya, agar tak selalu berdendang setiap berada di dekat Devan. Tetap saja, gemuruh di dalam sana tak juga kunjung sirna.
Ia berusaha meminimalisir pertemuan atau bahkan telah berusaha untuk menjaga pandangan.
Alih-alih ia bisa mendiamkan hati, justru terpampang dengan jelas bayangan wajah pemuda yang bernama Devan itu.
Kadang ia jadi tidak sadar, sulit membedakan antara bayangan dengan kenyataan.
"Nikah, yuk." Atau "Mau nggak nikah sama aku?"
Kedua pertanyaan yang sering ia dengar dari mulut Devan. Pikirannya selalu saja melayang pada pemuda itu.
Rani memeras pakaian yang baru di cucinya dengan sangat keras. Hingga air menetes-netes menciprat ke gamis dan kerudung yang ia kenakan. Sesaat setelah ia melihat, pemuda yang dari tadi melintas di benaknya itu tertawa renyah bersama Malika, sepupu Rani.
Bagaimana mungkin pemuda itu mengajakku menikah tetapi tertawa bersama gadis lain? gumam Rani dalam hati.
Ia lalu melanjutkan pekerjaannya menjemur pakaian. Selanjutnya memilih pergi dari melihat pemandangan yang menyakitkan hati.
Lama ia di dapur, membersihkan serakan bekas makan mbah Kakung.
"Rani!" tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya, membuat Rani terhenyak kaget.
Baru saja ia berbalik dari dapur hendak menuju kamar. Tiba-tiba sudah melihat Devan di depan pintu dapur. Ia bahkan tidak tau jika Devan mengikutinya ke dalam rumah.
"Ngapain kesini?" Rani kesal. Perbuatan Devan sudah sangat lancang. Masuk rumah tanpa izin.
"Lha, mau ambil air kok, kenapa? Nggak boleh?"
"Dih, alesan," jawab Rani ketus.
Ia memilih tak meladeni pemuda itu. Setelah ingat bahwa Devan masih tinggal bersama di rumah mbah Kakungnya.
Gemas ia lalu memutar bola mata, menatap jengah pada Devan dan meninggalkannya sendiri.
"Rani," Devan memanggilnya lagi dengan nada yang dipelankan. Mendadak ada desiran halus dalam hati Rani. Ia menghentikan langkah kakinya.
"Aku selalu serius sama ucapanku, untuk menikah nggak pernah ada yang namanya bercanda," ujar Devan kemudian.
Rani tak menjawab. Ia masih melanjutkan langkahnya.
"Nanti sore orang tuaku kesini, mereka jadi saksi ucapanku!" Teriak Devan setelah Rani berjalan semakin menjauh.
Gadis itu seketika menoleh, ia mengernyitkan dahinya.
"Apa, aku hendak dilamar?"
-Flashback off-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
ikka fahri
semangat kaka ☺
2020-05-01
0
Silda delita
aku hadirr ka smgtt
2020-04-11
1