Sesuai kesepakatan kemarin. Gadis itu, yang akhirnya memperkenalkan diri bernama Nayla, resmi menjadi calon isteri pura-puraku. Bahkan feenya sudah kuberikan di awal. Semoga saja dia tidak ingkar. Karena bayaran yang dimintanya tergolong mahal. Dia matre sekali.
Oh, Mamah. Maafkan anakmu ini. Setidaknya untuk sesaat saja, aku bisa bernafas lega. Meski kutahu, semua ini salah.
"Jadi, kapan gadis itu mau kerumah?" Mamah membuka suara. Setelah sejak tadi aku mencoba mengacuhkan setiap pertanyaannya. Ayolah, kenapa terburu-buru menyuruhku menikah.
"Nanti sore," jawabku santai sembari memainkan game cacing yang sedang gendut-gendutnya, gemas.
"Baguslah." Kudengar suara Mamah sedikit lega. Tangannya membelai lembut rambut kepalaku.
"Emang kenapa, Mah?" Aku merubah posisi. Memilih membangunkan kepala dari pangkuan mamah. Duduk tepat di sampingnya. Bukan karena cacingku kalah, tapi sepertinya mamah hendak bicara serius.
Sebenarnya tadi cacingku sudah mencapai bobot dua juta, dia juga sedang berpesta menikmati kematian cacing-cacing kecil yang terbelit dalam lingkaran tubuhnya. Tapi sorot mata perempuan tuaku itu mengisyaratkan sesuatu. Jadi biarlah, cacing itu kurelakan mati lebih dulu.
"Masmu mau kesini," desahnya. Sejenak aku berfikir, tanggapan apa yang baiknya akan ku sampaikan.
"Oh bagus dong, Mas Rahman sama Mbak Rani mau kesini. Sekalian kenalin sama calon isteri Devan," timpalku akhirnya penuh semangat. Berpura-pura membohongi diri, karena seperti ada sesuatu yang nylekit di dalam hati, setiap mendengar nama gadisku itu, harus dibumbui dengan embel-embel "Mbak" di depannya.
Mamah menatapku lekat. Kedua manik hitamnya yang teduh, masih mengisyaratkan keraguan di sana. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
Yah, setelah kepergianku dari Surabaya, ternyata tak serta merta mampu menghempaskan memori yang ada. Kenangan pahit masih mendominasi, meninggalkan luka yang teramat dalam. Hingga bekas itu tetap tertawan, dalam hati yang kelam.
Kabar terakhir, kudengar Mas Rahman juga isteri dan anaknya itu memilih hidup mandiri. Tak lagi tinggal bersama lelaki keparat juga perempuan gatalnya.
Aku dan mamah masih menjalin hubungan baik dengan Mas Rahman. Meski ada sisi hati yang terluka, tapi aku bisa mendapatkan kembali hak mamahku juga atas usahanya. Menyedihkan bukan aku ini? entah memang baik dari dalam hati atau sekedar berpura-pura karena jelas teringat akan jasa Mas Rahman selama ini.
"Mamah masih nggak percaya sama Devan? Lihat putramu sekarang. Sudah tidak ada lagi bayangan masa lalu." Aku mencoba meyakinkan mamah. Kugenggam kedua tangannya yang terlihat mulai keriput. Mamah, masih saja menganggapku tak bisa move on. Padahal memang sebenarnya aku belum bisa move on. Hanya berpura-pura bahwa berhasil move on. Ah, embuhlah. Bingung!
Kedua mata mamah mulai berembun. Bening air sebentar lagi pasti akan keluar dari sana. Please, jangan menangis. Aku sudah bahagia asal bersama mamah.
"Atau, Mamah mau, Devan menikah pas ada Mbak Rani di sini?"
Ah, sial! Aku keceplosan. Kenapa memberi harapan yang jauh dari angan-angan. Bahkan kalimat ini, justeru melesat begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Hanya demi, agar tak meluncur air mata milik mamah.
Dan benar saja. Kulihat mata mamah membulat sempurna. Kaget bercampur bahagia sepertinya. Di anggukannya kepala itu berkali-kali. Betapa dia sangat senang mendengarnya. Bahkan binar bahagia, sudah terbaca jelas di kedua matanya.
Astaga! Aku, dan kupu-kupu malam itu?! Tidaaaakkkk!
Andai bisa kembali kutarik kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku. Tapi sama saja, seperti memberi hantaman keras di dalam hati mamah.
💕💕💕💕💕
"Assalamualaykum, Mas." Suara seseorang memaksaku mendongak ke atas. Setelah cukup lama menunggu, berkutat dengan game cacingku.
Mataku melebar, demi melihat siapa yang kini di depanku. Seorang gadis berkerudung biru muda. Dengan bros bunga yang terbuat dari kain, seperti yang sering kulihat di kamar mamah.
Gadis itu berwajah bulat, memiliki dagu yang lancip dengan hidung kecil serta kedua bola mata cokelat yang jernih. Kelopaknya dinaungi alis yang tak terlalu tebal, tapi sangat tersusun rapi. Bibirnya mungil berwarna merah muda alami. Sesuai perjanjian, aku melarangnya berdandan.
Dia menarik segaris senyuman, menunjukkan baris giginya yang putih juga bergingsul di sebelah kiri. Sama sepertiku. Kulit mukanya bersih, ciri khas gadis parahyangan. Kenapa, dia begitu cantik? Dan Astaga! dia si gadis kupu-kupu malam itu? Kenapa aku baru menyadarinya?
"Mas," pangilnya lagi. Berhasil membuyarkan pikiran yang sempat melayang. Semoga dia tidak menyadari, jika sedari tadi aku menilai pahatan yang terukir di wajahnya.
Dia terlihat sangat berbeda sekali dari kemarin. Atau mungkin, baru sekarang aku benar-benar memperhatikan wajahnya. Kenapa juga, jantungku mulai berdetak tak karuan seperti ini. Pada dia, gadis kupu-kupu malam yang pasti sering disentuh lelaki. Mendadak juga, ada perasaan jijik menghampiri.
"Iyah, maaf. Ayo masuk cepat, " ujarku sambil membuka pintu mobil untuknya. Aku bahkan lupa belum menjawab salam darinya tadi.
💕💕💕💕💕
Denting sendok dan garpu beradu. Mamah menikmati makanannya, begitupun Nayla. Mereka berdua, meski pertama kali bertemu kenapa juga seolah ada chemistry yang terbangun di sana. Sikap Mamah sangat terbuka padanya, membuatku merasa tidak nyaman. Ada dua perasaan yang tergabung dalam satu keadaan. Pertama, lega karena mamah percaya bahwa Nayla adalah calon isteriku. Kedua, khawatir karena aku tahu yang kulakukan ini adalah sebuah kesalahan.
Bagaimana jika mamah tahu kebenarannya? Terlebih jika tahu bahwa gadis itu adalah perempuan penghibur.
"Jadi, kapan kalian menikah?" Mamah membuka suara. "Jangan lama-lama ditunda, ndak baik," sambungnya lagi.
Aku menatap Nayla, gadis itu tentu tak akan berani menjawab.
"Secepatnya!" Jawabku tegas.
"Uhukkk." Nayla terbatuk. Ia memandangiku dengan tatapan penuh tanya. Aku memberinya kode agar ia diam saat mamah menuangkan segelas air untuknya.
Mungkin gadis itu kaget. Karena ini di luar kesepakatan kami. Bahkan aku hanya menjanjikannya hanya selama seminggu menjadi calon isteri pura-puraku.
Aku kembali memberinya isyarat, berkedip-kedip agar dia paham. "Iyah, Mah. Secepatnya," ujar Nayla menanggapi.
Biarlah, nanti bisa kuatur bagaimana kedepannya. Tidak mungkin dalam waktu dekat ini kami akan menikah. Nanti saat waktunya tiba, kembali aku akan berkelit, mencari alasan baru agar kami tak sampai melakukan acara sakral itu.
💕💕💕💕💕
Sebuah hubungan yang di awali dengan ketidak jujuran, pasti akan berdampak buruk. Hubunganku dengan Nayla tidak baik-baik saja. Maksudnya, hubungan sandiwara kami tidak benar-benar baik. Mamah terlalu bahagia, hingga memberi kabar pada keluarga besar yang di Bandung bahwa aku akan menikah. Parahnya lagi, gadis itu menolak melanjutkan sandiwaranya. Mungkin juga karena mamah terlalu mendesak, agar Nayla menunjukkan identitasnya. Dimana gadis itu tinggal, siapa orang tuanya, latar belakangnya, pendidikannya. Pemikiranku sih begitu, tapi semoga saja tidak.
Nayla masih merenung. Ia enggan menyuap makanan di depannya, lebih memilih memainkan sendok juga garpu yang teronggok di sebelahnya.
"Ayolah, sebentar saja, besok ada Uwa juga Bibi kerumah." Aku mencoba membujuk.
"Tapi, maaf. Ini terlalu jauh," keluhnya dengan kening berkerut.
"Apa kamu nggak nyaman?" tanyaku memastikan. Mengingat sebelum pulang dari rumah kemarin, mamah mengorek banyak informasi pribadinya.
"Aku nggak bisa, Mas. Ini di luar kesepakatan kita," ujarnya.
"Maksudnya?"
"Aku ngerasa berdosa, Mas. Terlebih sama Mamah Mas Devan," jelasnya sambil menatap lurus kepadaku. Aku mencoba menelisik, menyelami manik coklat kedua matanya. Apakah ia sedang berpura-pura, atau benar tulus dari dalam hatinya.
Sialnya, pandanganku justeru seakan terkunci. Terperangkap di dalam sana, dengan debaran halus dalam dada yang perlahan mengiringi tak tau diri.
"Apa? Dosa?" Aku menarik garis senyum ke kiri. Menggelengkan kepala berulang. Ternyata dia masih memiliki nurani. Bukankah menjual diri jauh lebih berdosa dari ini?
"Daripada kamu menjual diri?" sindirku menghakimi.
Mata Nayla melebar, kedua alisnya bertaut. Nanar ia memandang ke arahku. Kedua matanya pun mulai berembun. Ia lalu menggigit bibir bawah, menahan agar air di matanya tak jatuh. Ah, kenapa aku jadi ikutan sedih?
"Aku memang menjual diri, tapi jangan di hina juga, Mas!" Nayla membentak dengan suara bergetar. Ia lalu berdiri, berjalan tergesa meninggalkanku di dalam cafe. Tempat dimana kami sudah janjian, untuk melanjutkan bagaimana nasib sandiwara kedepan. Tapi ternyata malah berakhir seperti ini.
Adakah kalimatku yang salah? Bukankah pekerjaannya memang seperti itu, harusnya ia sudah terbiasa.
"Nay, tunggu!" teriakku sambil berlari mengejarnya. Bisa makin runyam kalau dia tidak mau melanjutkan sandiwara ini. Setidaknya sampai Iparku nanti datang. Sudah tiga tahun tak bersua. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa move on darinya. Ayolah, demi mantan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Sharie Hime
mulutmu minta kusambeli devan!!!!!
2020-04-09
0